Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jejak Pangeran Gang Pujangga
Bakat Amir Hamzah sebagai penyair sudah tampak sejak dia duduk di bangku sekolah. Revolusi sosial melahap semua peninggalan masa kecilnya.
KENING Ameliah Hariana berkerut ketika Tempo menyebut Gang Pujangga. Ia menyipitkan mata, kemudian berkata, "Bukan di sana. Rumah Atuk masih ada, enggak hancur." Cucu Amir Hamzah ini menyebut kakeknya dengan sebutan khas Melayu, dari kata "datuk". "Ayo, ikut ke sana!"
Siang itu, akhir Juli lalu, Tempo bertemu dengan Rina-sapaan akrab Ameliah-di halaman Masjid Azizi, Tanjung Pura, Kabupaten Langkat. Anak kedua Tahura-putri tunggal Amir Hamzah dengan Tengku Kamaliah-ini mengajak Tempo menyusuri jejak masa kecil Amir. Kabupaten yang berjarak dua jam perjalanan ke arah utara Kota Medan itu merupakan kampung halaman Amir Hamzah, sang penyair legendaris. Di sekitar masjid ini juga jasad pria kelahiran 28 Februari 1911 itu dimakamkan.
Sebelum menemui Rina, Tempo sebenarnya sudah lebih dulu berkeliling sejak pagi. Pemberhentian pertama adalah sebuah jalan setapak kecil bernama Gang Pujangga. Diberi nama "Pujangga" bukan karena di sana banyak penyair, melainkan karena, "Dulu Amir Hamzah tinggal di sekitar sini," kata Joe Abdillah, budayawan Binjai. Lelaki yang pernah bekerja sebagai penyuluh budaya di Balai Arkeologi Medan ini sering mengantar rombongan peneliti di Langkat. Pagi itu Joe yang membawa Tempo ke tempat tersebut untuk menyusuri jejak Amir.
Mulut gang itu persis berada di sisi kanan Jalan Lintas Banda Aceh, sekitar 200 meter sebelah utara Rumah Tahanan Kelas II Tanjung Pura. Meski Amir disebut pernah tinggal di situ, jangan bayangkan rumah penyair ini masih ada. Semua hunian di gang itu-juga lingkungan di sekitarnya-sudah terbuat dari bata dengan gaya modern. Jumlahnya sekitar 20 rumah.
Joe lalu menunjuk sederet batu hitam di ujung gang yang menjadi pembatas kali. Ia mengatakan puing tempat plang "Gang Pujangga" tercagak merupakan bekas gerbang rumah Amir Hamzah yang tersisa. "Lainnya sudah hancur dibakar massa saat revolusi sosial," kata Joe. Revolusi yang dimaksudkan Joe terjadi pada Maret 1946.
Berbeda dengan Joe, Rina keukeuh rumah kakeknya itu masih ada. Tapi bukan di Gang Pujangga. "Bangunannya masih utuh dari dulu sampai sekarang," kata perempuan 53 tahun yang berprofesi sebagai seniman teater ini. "Enak buat ngobrol."
TIDAK banyak buku yang mengulas masa kecil Amir Hamzah. Satu yang terang adalah cerita dari Saidi Husny. Pensiunan Angkatan Kepolisian Republik Indonesia ini merupakan teman sekolah Amir di Langkatsche School. Saidi satu tingkat di atas Amir.
Semasa masih duduk di Langkatsche School, sosok Amir sudah memikat hati banyak perempuan. "Tingginya semampai, lehernya jenjang, kulitnya kuning langsat. Bersih dan segar selalu. Suaranya merdu lembut," kata Saidi dalam bukunya, Kenangan Masa: Mengenang Pribadi Pudjangga Amir Hamzah. Buku ini diterbitkan pertama kali oleh CV Karya Purna pada 1969.
Langkatsche School adalah sekolah dasar berbahasa Belanda di Tanjung Pura. Amir masuk ke situ pada 1918 kala berusia tujuh tahun. Setahun setelah Amir masuk, sekolah tersebut berubah nama menjadi Hollandsch Inlandsche School (HIS).
Bangunan Langkatsche School masih ada hingga saat ini. Konstruksi sekolahnya didominasi kayu besi berkelir hijau. Sekarang gedung itu dipakai Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Tanjung Pura. "Dari dulu bentuk bangunannya seperti sekarang ini," kata Joe, "Model panggung." Sayang, tidak ada arsip Amir Hamzah sama sekali di sekolah ini. "Kami hanya tahu Amir Hamzah sekolah di sini, tapi catatan resmi tidak ada," ujar salah seorang pengurus SMP Negeri 1 Tanjung Pura, Hasanudin.
Saidi mengatakan sehari-hari Amir berjalan kaki ke sekolah. Jika diukur dari Gang Pujangga, jaraknya lebih-kurang satu kilometer ke arah utara. Lokasi sekolah ini tepat berada di pertemuan Jalan Lintas Banda Aceh dengan Jalan Pemuda.
Meski Joe Abdillah yakin Amir pernah tinggal di Gang Pujangga, sebenarnya dia tidak tahu persis lokasi rumah Amir di sana. Tak ada seorang pun yang tahu. Tengku Saridjat, sepupu Amir, mengatakan revolusi sosial sudah menghancurkan seluruh rumah keluarga Kesultanan Langkat, termasuk dua istana mereka. "Bekasnya sudah tidak ada," kata perempuan yang berselisih umur 20 tahun dengan Amir itu. Sekarang perempuan ini berusia 81 tahun. "Saya juga tidak ingat persis di sebelah mana," ujarnya.
Saridjat hanya ingat rumah Amir tepat bersebelahan dengan Istana Langkat Darussalam. Istana itu didirikan Sultan Abdul Aziz-kakek Amir Hamzah-pada 1890 dan dikenal sebagai satu di antara dua mahligai milik Langkat. Yang satu lagi adalah Istana Darul Aman, yang dibangun Sultan Musa 20 tahun sebelumnya.
Sekarang, di bekas Istana Darussalam, telah berdiri Sekolah Dasar Negeri 050729 Tanjung Pura. Lokasinya bersebelahan dengan Gang Pujangga. Satu-satunya penanda yang tersisa dari istana itu adalah undakan batu yang ada di belakang sekolah. Sedangkan di bekas Istana Darul Aman, berdiri Madrasah Aliyah Negeri 2 Tanjung Pura. Kedua sekolah ini hanya dipisahkan jalan raya. Sisa Darul Aman yang masih bisa dilihat adalah dua tiang pancang setinggi dua meter di belakang kantin madrasah aliyah.
Saidi, yang pensiun dari kepolisian pada Juli 1961, bercerita, ketika Amir duduk di kelas IV, banyak perempuan yang jatuh hati kepadanya. Salah satu yang paling menarik adalah seorang noni Belanda. Renee Neyhoff namanya. Tapi semua orang di sekolah memanggil dia Rina. Saidi mengatakan Rina tak sungkan menunjukkan kesukaannya kepada Amir. Kisah cinta monyet ini berakhir ketika noni ini pindah ke Medan pada 1922.
Saidi juga mengatakan Amir sudah menunjukkan minat pada sastra sejak duduk di sekolah dasar. "Amir sering bercengkerama dengan orang-orang tua," kata Saidi, yang ketika pensiun menjabat Kepala Seksi Keamanan Kejahatan Komisariat Sumatera Utara dengan pangkat terakhir komisaris. "Dia kerap bertanya soal sejarah, pantun, dan sastra Melayu lama."
Saidi menulis di bukunya bahwa pada suatu hari ia ingin mengganggu Amir. Dia sengaja mengendap-endap di belakang kawannya itu. Semula berniat iseng, Saidi malah terkesima menyimak bait demi bait yang ditulis Amir. Saking tersentuhnya oleh pantun itu, Saidi mengatakan masih teringat isinya sampai sekarang.
Mengail kepulai tuntung
Dapat seekor udang galah
Kalau nasib tidak beruntung
Apapun dibuat jadi salah
Amir, yang tahu sedang diintip, buru-buru menutup bukunya. Dengan cepat, dia memasukkan pantun tersebut ke tasnya dan melenggang ke kelas. "Janganlah begitu, Adikku, nanti saja kalau sudah siap," ujar Amir meminta karyanya tak dibaca diam-diam. Saidi mengatakan, meski dia lebih tua, Amir memang memanggilnya adik. Mungkin, kata Saidi, karena badannya yang lebih kecil daripada Amir.
Saban sore hari, menurut Saidi, anak-anak kecil di Langkat pergi ke sebuah rumah besar di belakang Masjid Azizi. Mereka menyebutnya Maktab Putih. Di sini tempat para bocah, termasuk Amir, mengaji. Jika diukur dari Gang Pujangga, jaraknya sekitar 500 meter menyeberang jalan. Kini bangunan itu pun sudah hancur. Sama seperti lingkungan rumah Amir, pelataran di belakang masjid juga sudah terisi rumah-rumah baru.
Abul Hasan, pengurus Badan Kesejahteraan Masjid Azizi, mengaku mendapat banyak kisah tentang sosok Amir dari kakek buyutnya. Abul masih terikat silsilah turun-temurun dengan pengurus Masjid Azizi di zaman Kesultanan Langkat masih berjaya. Menurut cerita-cerita itu, Amir merupakan murid yang cerdas. "Bacaan Al-Quran-nya juga bagus," ucapnya. Dari Gang Pujangga, jarak masjid ini sekitar 200 meter saja.
Amir lulus dari Langkatsche School pada 1924. Ia kemudian pindah ke Binjai dan tinggal di rumah ayahnya, Tengku Muhammad Adil, yang merupakan Pangeran Langkat Hulu. Bekas rumah Amir di sana adalah satu-satunya gedung yang bisa menunjukkan sisa kejayaan Kesultanan Langkat di kota itu. Dulu bernama Gedung Kerapatan Langkat, kini bangunan ini dipergunakan oleh Pengadilan Negeri Agama Kota Binjai. Di gedung inilah Amir "diculik" oleh pasukan revolusi sebelum dibunuh di Kwala Begumit pada Maret 1946.
Pada 1925, Saidi mengunjungi Amir di Binjai. Kala itu Saidi sudah bekerja sebagai controleur BB atau pengawas bupati-bupati pribumi. Amir, menurut Saidi, belum melanjutkan sekolah lagi. Ketika datang ke rumah itu, Saidi melihat di meja Amir banyak buku, seperti Sejarah Melayu karangan Tun Mahmud, Hikayat Panca Tanderan, dan Hikayat Hang Tuah.
Kepada Saidi, Amir mengaku akan bersekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs alias MULO, sekolah menengah pertama, di Medan. "Dia mengatakan ingin memperdalam sastra dan agama dulu di rumah," tuturnya.
Amir baru masuk MULO pada 1927. Belakangan, penyair Chairil Anwar juga bersekolah di tempat yang sama 14 tahun kemudian. Karena itu, bukan kebetulan, masyarakat Medan mengusulkan Amir Hamzah bersama Chairil Anwar untuk mendapat gelar pahlawan nasional di bidang sastra. Namun hanya Amir yang mendapat gelar itu pada 1975. Meski sempat dipakai SMP Negeri 1 Medan, sekarang yang tersisa dari bangunan bersejarah itu hanya lahan kosong.
Dua tahun bermukim di Medan, Amir kemudian pindah ke Christelijke MULO di Batavia. Sejak itu, ia banyak malang-melintang di Jawa. Amir baru kembali ke Langkat setelah Sultan Mahmud menyuruhnya menikah dengan Kamaliah.
DI tengah perjalanan, mobil yang dikendarai Rina sempat berhenti untuk bertanya kepada dua anak berseragam SMP. Yang ditanya kemudian mengarahkan Rina ke sebuah rumah panggung dua lantai bergaya Melayu lama. Luas halamannya setengah lapangan sepak bola. Di sisi kanan rumah ada bangunan tambahan dengan papan nama "Koperasi Nelayan Langkat".
Rina turun dari mobil dan menyalami empunya rumah yang sedang duduk di teras. "Ini rumah Atuk saat kecil," kata Rina dengan nada yakin. Lokasinya persis bersebelahan dengan Madrasah Aliyah Negeri 2 Tanjung Pura, yang dulu bekas Istana Darul Aman. Pemilik rumah bernama Okaliwa Udin. Dia mengatakan rumah tersebut milik buyutnya, Datuk Amar, sekretaris Sultan Mahmud. "Saya juga enggak tahu kenapa rumah ini tidak hancur saat revolusi sosial," kata pria 62 tahun ini.
Sultan Langkat saat ini, Azwar Abdul Jalil Rahmad Shah atau Tengku Azwar Aziz, tidak tahu siapa pemilik rumah yang ditunjukkan Rina. Jawaban Azwar saat ditunjukkan foto rumah ini adalah, "Tidak tahu ini rumah siapa." Ia melanjutkan, "Tapi besar banget, ya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo