Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kandas Asmara Terenggut Kuasa
Ilik Sundari mengilhami Amir Hamzah untuk membuat puisi romantis. Kisah cinta mereka terpisahkan kuasa keluarga.
SABAN pagi Amir Hamzah melihat gadis itu menaiki sepeda dari arah stasiun menuju Algemene Middelbare School (AMS) Surakarta. Kendati hatinya bertanya-tanya siapa dia, Amir tak punya nyali untuk bertegur sapa. Amir hanya sanggup memandangi bayangan gadis tinggi semampai berwajah bulat itu dari kamar sewaan di dekat Stasiun Balapan.
Sampailah di suatu pagi pada 1927, ketika Amir menguatkan hati untuk bertanya. Teguran Amir pendek saja karena dia tak cakap berbahasa Jawa. Rasa penasarannya bersambut. Ilik Sundari namanya. Dia putri Raden Mas Kusumodihardjo, ahli agama keturunan Kesultanan Surakarta. "Setelah itu, mereka acap bersepeda bersama," kata Nurhayati Sri Hardini alias Nh. Dini, pertengahan Juli lalu.
Dini menuliskan kisah cinta Amir dengan Ilik dalam buku Amir Hamzah: Pangeran dari Seberang. Untuk menulis buku itu, ia bertemu dengan Tengku Tahura, putri tunggal Amir dari pernikahan dengan Tengku Kamaliah, pada pertengahan 1980-an. Tahura mendengar kisah cinta Ilik dan ayahnya dari sang ibunda. "Tahura masih berusia 30-an waktu saya temui," ujar Dini.
Dia juga mewawancarai dua sahabat Amir di AMS, Achdiat Karta Mihardja dan Sutan Takdir Alisjahbana. Menurut Dini, Ilik jua yang banyak mengilhami lahirnya puisi-puisi cinta Amir. Setelah perkenalan itu, Amir dan Ilik kerap belajar bersama. Amir mengajari Ilik bahasa Arab. Sebaliknya, Ilik mengajari Amir bahasa Jawa dan Sanskerta. Pertukaran bahasa pun berkembang menjadi pertukaran rasa seperti tecermin pada puisi ini:
Bagai padi rebah tak jadi
Lemah gemulai dituntun angin langkah kecil
Berkebaya lurik bertapih Sala berkasut tinggi
Dalam puisi yang sama, Amir berseru:
Teja!
Sebagai perahu berselisih malam
Sekali berpandangan bertukar senyum
Naik murup duta berahi
"Siapa teja, cahaya, itu? Siapa lagi kalau bukan Ilik Sundari," tutur Dini.
Bagi kalangan penyair, penggunaan kosakata Jawa itu mengejutkan. Sebab, menurut sastrawan Sapardi Djoko Damono, Amir termasuk orang yang konvensional dalam berbahasa. Acuannya, kata Sapardi, selalu bahasa Melayu klasik.
Hari-hari Amir menjadi berwarna dengan kehadiran Ilik. Di mana ada Ilik, di situ ada Amir. Mereka selalu mencari cara agar bisa berdua. Ya, belajar bersama, menghadiri perundingan rapat pergerakan, atau bertamasya ke keraton.
Ilik juga yang memupus lara Amir, yang meninggalkan tanah kelahirannya dengan hati terluka. Di sana, pujaan hati Amir kala remaja, seorang gadis Langkat bernama Aja Bun, tak membalas cintanya. Lebih menyakitkan lagi, Aja Bun belakangan menikah dengan saudara kandung Amir.
Amir menuangkan kehadiran orang baru di hatinya dalam sebuah puisi.
Dengan mengelopaknya bunga ini,
layulah bunga lampau, kekasihku.
Bunga sunting hatiku,
dalam masa mengembara menandai dikau.
Kekasihku!
Inikah bunga sejati yang tiadakan layu?
Amir tak menyimpan sendiri sukacitanya. Kepada kakaknya, Tengku Nyot Amirudin, dan istrinya, Tengku Noyah, dia berbagi cerita tentang seorang gadis Jawa yang mengisi hari-harinya. "Disertai sebuah gambar, dari kekasih yang sedang mekar," tulis Lah Husny dalam Berdarah Kisah dan Kasih Pudjangga Amir Hamzah. Amir percaya cintanya kepada Ilik bakal berakhir bahagia. "Sundari merupakan cinta untuk ditingkatkan naik bahtera," ujar Lah Husny. Tengku Nyot pun amat terkesan oleh gambaran Ilik Sundari.
Meski berbeda latar belakang, cinta Amir dan Ilik menemukan jalan untuk menyatu. Jalan pertama terbuka pada tahun ketiga Amir bersekolah. Adik Ilik Sundari memasuki tahun pertama di AMS Surakarta. Dia mengagumi Amir dan karya-karyanya. Dengan alasan hendak bertemu dengan sang adik, Amir leluasa bertandang ke kediaman Kusumodihardjo.
Jalan kedua adalah pementasan sandiwara Siti Nurbaya. Armijn Pane, karib Amir, kala itu hendak menggubah buku karangan Marah Rusli tersebut menjadi naskah sandiwara. Pemilihan pemeran Siti Nurbaya dan Samsul Bahri menjadi perdebatan para siswa. Armijn ingin peran utama dimainkan siswa asal Sumatera. Alasannya masuk akal: soal logat dan bahasa. "Pemilihan peran tak semudah yang dibayangkan," kata Nh. Dini.
Amir marah ketika mendengar keinginan Armijn. Dia menganggap Armijn mengingkari semangat persatuan yang berkumandang lewat Sumpah Pemuda setahun sebelumnya. "Mengapa pemuda seperti Armijn tak memberi contoh," ucap Amir. Armijn mengambil jalan tengah. Ia menunjuk Ilik Sundari untuk memerankan Siti Nurbaya, sedangkan Amir diminta memerankan tokoh Samsul Bahri.
Sandiwara ini menjadi kesempatan Amir untuk mengutarakan rasa. Dua tahun bersama, keduanya tahu sama tahu apa yang mereka rasa. Tak ada kata cinta yang terucap. Tapi sukar bagi Amir untuk meredam gelora hatinya. Pada satu adegan, pemain lain memuji Amir dan Ilik yang bisa berakting layaknya sepasang kekasih. Amir tersipu-sipu. Pipinya memerah. "Sungguh mengagumkan permainan Amir itu. Bahkan lebih mengagumkan karena dia sering hanyut dalam inspirasi sehingga teksnya itu tak mencukupi lagi," ujar Achdiat seperti dikutip Abrar Yusrar dalam Amir Hamzah: Sebagai Manusia dan Penyair.
Di tengah kegembiraan bersama Ilik, kabar duka datang dari kampung halaman. Ibunda Amir, Tengku Mahjiwa, sakit keras. Amir bimbang. Ia menghadapi dilema: pulang kampung atau meneruskan ujian yang tinggal selangkah. Amir memilih jalan kedua.
Setelah lulus AMS, Amir mengutarakan rencana kepada Ilik. Amir akan pergi ke Batavia untuk mendaftar di Rechts Hoge School atau Sekolah Tinggi Hukum. Bersama dua kawannya, di Batavia, ia mencari pemondokan di Laan Hole, kini Jalan Agus Salim di kawasan Sabang. Setelah mendaftar sekolah, barulah Amir ke Langkat untuk berziarah ke makam sang bunda.
Selanjutnya, untuk pertama kali Amir dan Ilik menjalani hubungan jarak jauh, antara Batavia dan Surakarta. Mereka hanya bisa menumpahkan kerinduan lewat surat-menyurat. Tak sanggup menahan rindu bersekat jarak, Ilik memohon kepada ayahnya agar dipindahkan ke Hogere Kweekschool, Lembang. Ilik berdalih, ia ingin lebih dekat dengan kakak tirinya. Alasan yang sebenarnya, "Mereka lebih leluasa bersurat-suratan," kata Nh. Dini.
Kabar duka datang lagi dari tanah Sumatera. Pangeran Adil, ayah Amir, meninggal. Di tengah duka, hanya Ilik yang bisa menghibur hati Amir. Kala sekolah sedang anggal, Amir pun kabur dari Batavia untuk menemui Ilik di tanah Priangan. "Di sebuah kota kecil bernama Majalengka, mereka mempererat janji," ujar Dini.
Keluarga Raden Mas Kusumodihardjo rupanya mulai curiga kenapa pemuda Sumatera itu masih berkirim surat. Mula-mula sang ayah hanya memperingatkan Ilik melalui surat. Belakangan, ketika sekolah memasuki masa libur, titah ayahanda lebih keras lagi: Ilik harus pulang. Tapi Ilik berkeras tetap tinggal di Lembang. Dia menyangkal punya hubungan khusus dengan Amir. Ayahnya luluh. Ilik boleh tinggal di Lembang asalkan tak membalas lagi surat Amir.
Sementara itu, hidup Amir Hamzah kian suram saja. Kiriman uang dari kampung mulai tersendat. Honor mengajar di perguruan rakyat pun tak cukup. Pada satu waktu, Amir hampir putus harapan. Ia hendak pulang ke kampung halaman. Menjelang pergantian tahun, ada pesan dari Langkat agar Amir mengunjungi makam ayahanda. Sebelum pulang, diam-diam Amir menemui Ilik di Majalengka.
Di tanah kelahirannya, Amir menemui sang paman, Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah, yang juga pemimpin Kesultanan Langkat. Pamannya berpesan agar Amir tak terlalu aktif di pergerakan politik. Kisah kasihnya dengan Ilik pun disorot. Pesan sang paman disertai ancaman: jika Amir tak berubah sikap, tak ada yang bisa menjamin keselamatannya di Batavia. Amir menceritakan perbincangan dengan Sultan kepada Ilik melalui sepucuk surat.
Pada 1935, telegram dari Sultan Mahmud kembali mengguncang batin Amir. Isinya singkat. Amir diminta pulang karena hendak dikawinkan dengan putri tertua, Tengku Kamaliah. Dia gundah gulana. Sebab, di hatinya hanya ada Ilik. Amir pun berkeluh kesah kepada sepupunya, Tengku Burhan. "Aku berutang budi kepada Sultan," kata Amir. "Kau balaslah budi itu di lain waktu. Sekarang yang perlu adalah kau pikirkan dirimu sendiri," ujar Burhan.
Bertahun-tahun kemudian, Tengku Burhan menceritakan kisah itu kepada Nh. Dini.
Amir tak berani mengikuti saran abang sepupunya. Ia berangkat ke Lembang untuk berpamitan kepada Ilik. Tapi, menurut Dini, kala itu Amir tak berani jujur. Kepada Ilik, Amir tak bercerita akan dinikahkan dengan Kamaliah.
Di Langkat, Amir mematuhi titah Sultan Mahmud, memperistri Kamaliah. Hanya, Amir mematok syarat. Dia meminta waktu untuk menuntaskan ujian sarjana muda. Begitulah, setelah perikatan suci dengan Kamaliah, Amir bergegas kembali ke Batavia. Dia menulis surat untuk Ilik dan menceritakan semua yang terjadi. Hati Amir remuk redam.
Kasihkah hidup sebab dikau
Segala kuntum mengoyak kepak
Membunga cinta dalam hatiku
Mewangi sari dalam jantungku
Sambil menunggu ujian sarjana muda, Amir mengemasi seluruh barang di pemondokannya. Aneka buku dia titipkan kepada sahabatnya, Armijn Pane dan Achdiat Karta Mihardja.
Ketika Amir dibekap lara, Ilik muncul di hadapannya. Mereka menelusuri jejak cinta dari Majalengka hingga Surakarta. Kota tempat Ilik dan Amir pertama kali bersua, Surakarta, akhirnya menjadi saksi perpisahan dua raga yang direnggut kuasa.
Setiba di Batavia, Amir menjauhi keramaian. Dia mengurung diri di kamar pemondokan yang sunyi. Satu puisinya menggambarkan duka itu.
Hanyut aku, kekasihku!
Hanyut aku!
Ulurkan tanganmu, tolong aku.
Sunyinya sekelilingku!
Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati,
Tiada air menolak ngelak.
Dahagaku kasihmu, hauskan bisikmu,
Mati aku, sebabkan diammu.
Ketika waktunya tiba, Amir menemui Sutan Takdir Alisjahbana. Dia menyerahkan setumpuk sajak yang diberi nama "Nyanyi Sunyi". Amir berpesan, "Tolong simpankan untuk anak-istriku kelak."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo