Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BOLA tendangan penalti yang melambung dan masuk bersarang di gawang lawan itu tak hanya menandakan kemenangan bagi Kesebelasan Maluku dalam film Cahaya dari Timur: Beta Maluku. Ini juga kemenangan mutlak bagi tim film itu. Tahun ini Cahaya dari Timur tak hanya mendapatkan penghargaan Festival Film Indonesia, tapi juga menjadi pilihan majalah Tempo.
Tentu, sekilas, film ini mirip film sepak bola yang diproduksi beberapa tahun lalu: Garuda di Dadaku dan Tendangan dari Langit.
Sebuah tim kecil dari daerah terpencil datang ke Ibu Kota untuk berkompetisi, berhadapan dengan tim besar berpengalaman. Kelompok underdog yang tidak diunggulkan sama sekali itu ternyata di luar dugaan bisa menang. Singkat kata, hikayat from zero to hero, dengan sejumput bumbu patriotisme dan nasionalisme, sudah menjadi resep film olahraga Hollywood yang juga diadopsi di Indonesia.
Tapi Cahaya dari Timur adalah film sepak bola yang berbeda. Film ini telah menciptakan plafon baru bagi film sepak bola di Indonesia. Selama dua setengah jam durasi film, sutradara Angga Dwimas Sasongko meramu pengalaman pribadi Sani Tawainella merintis sekolah sepak bola di lingkungannya pada pertengahan 2000-an menjadi sebuah potret sosial kehidupan beragama di Maluku. Sani adalah alumnus tim nasional di bawah usia 15 tahun (U-15) di Piala Pelajar Asia 1996. Dalam film ini, sepak bola tidak disederhanakan menjadi eskapisme massal, tidak digembar-gemborkan jadi perkara kibar bendera, tidak juga diromantisasi menjadi dosis inspirasi instan, tapi dipahami ulang sebagai indikator toleransi sosial, sebagai medium dialog untuk segala bentuk perbedaan dalam kehidupan bersama. Bukankah esensi dari permainan sepak bola adalah kesatuan dalam perbedaan?
Pilihan durasi film dua setengah jam ini patut jadi catatan sendiri. Film Indonesia lazimnya berdurasi satu setengah jam, disesuaikan dengan skema jam tayang bioskop di Tanah Air. Di bawah satu setengah jam, sebuah film bisa mendapat lima kali kesempatan putar sehari. Lebih dari itu, siap-siap jatah tayang dalam sehari akan tersunat. Tapi tampaknya ambisi para pembuat Cahaya dari Timur tidak sekadar berdagang. Angga dan kawan-kawan memilih menempuh jalan terjal, untuk menyajikan keutuhan perspektif, untuk menelusuri kenyataan dari hulu hingga hilir. Pendalaman itulah yang dilakoni tim film ini dengan cermat selama dua setengah jam.
Produser film ini, penyanyi Glenn Fredly dan Anggia Kharisma, mengatakan betapa mereka harus menunda-nunda syuting karena soal dana. "Untuk riset, karena itu tulang punggung cerita, kami patungan uang pribadi dulu," kata Glenn. Hingga akhirnya, menurut Glenn, belakangan ada donatur yang bersedia mengucurkan uang tanpa pamrih, bahkan tanpa harus menyebut nama perusahaan sebagai nama tim sepak bola dalam film.
Jadilah film ini disajikan pada 2014. Pertama-tama, kita disuguhi lanskap sosial Maluku pada awal 2000-an, saat terjadi konflik antara Desa Tulehu, yang bernapaskan Islam, dan warga Passo, yang bersenyawa dengan Kristen. Warga hantam warga, teman hantam teman, keluarga hantam keluarga. Lalu film ini mengantar kita pada ekor pertikaian itu. Situasi yang tak aman dan dendam yang masih membara yang diredam tapi bakal meletus kapan saja jika ada yang menyulut.
Pekerja musiman seperti Sani, kini jadi tukang ojek setelah malang-melintang sebagai pemain sepak bola, peduli terhadap situasi yang masih memanas ini. Anak-anak kampung di sekelilingnya mudah sekali terseret pertikaian orang-orang dewasa di sekitar mereka. Sani melatih anak-anak itu bermain sepak bola sebagai pengisi waktu luang agar mereka tidak ikut-ikutan berkelahi. Tentu maksud baik ini memakan korban dalam hidup pribadi Sani: waktu untuk mencari duit jadi terpangkas padahal dia sudah punya anak dan istri. Lebih parah lagi, partner Sani terus-menerus mendorong Sani agar mereka bisa mendirikan sebuah sekolah sepak bola, yang jelas membutuhkan dana.
Penuturan dari makro hingga mikro inilah yang menjadikan Cahaya dari Timur begitu berharga. Angga dan kawan-kawan sukses mengurai perkembangan kehidupan bersama di Maluku pascareformasi—dan bagaimana sepak bola berperan di dalamnya, secara personal ataupun sosial. Pencapaian ini tidaklah main-main untuk film sepak bola di Indonesia.
Dalam tataran yang lebih luas, Cahaya dari Timur merupakan satu dari sedikit film nasional yang bisa berbicara perkara Indonesia timur dengan lugas. Sejauh ini film-film kita tentang Indonesia timur cenderung masih terpaku pada perspektif pusat, seakan-akan masalah di pojok Nusantara sana baru sah disebut masalah apabila mendapat perhatian atau pengakuan dari tokoh-tokoh di Jakarta. Belum lagi kecenderungan film Indonesia yang sering menyamaratakan perkara Indonesia timur dengan penyelesaian dari Jakarta, seakan-akan kawan kita di sana tidak tahu cara untuk mandiri. Dalam Cahaya dari Timur, Ibu Kota hanya hadir sebagai lokasi pertandingan, sebagai situs geografis. Segala penyelesaian masalah datang dari dialog dan usaha bersama warga Maluku.
Tentu Cahaya dari Timur bukan karya yang sempurna. Beberapa bagian film sangat bisa diringkaskan, mengingat dalam beberapa kesempatan Cahaya dari Timur seperti mengulang adegan dan masalah yang sama. Untungnya, Angga dan kawan-kawan tidak sampai mengulang apa yang sudah-sudah. Tapi upaya tim Angga hingga bisa menyatukan tema olahraga sekaligus toleransi agama dengan pas adalah sebuah tendangan dahsyat ke langit. Inilah film pilihan kami untuk tahun 2014.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo