Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Membangun Kedamaian Melalui Sepak Bola

Angga memilih mengangkat persoalan di kawasan timur Indonesia dari kacamata penduduk Maluku.

29 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI ruang ganti, di depan teman-teman satu tim, Salembe berteriak lantang, "Kalau wasit kasih curang, biar saja. Kalau kita ditekel jatuh, berdiri lagi." Hari itu tim sepak bola Maluku, yang terbang ke Jakarta untuk mengikuti kompetisi nasional U-15 Indonesian Cup, tengah berduka. Semangat bertanding tim Maluku mendadak lenyap setelah tim lawan dari Jakarta mengalahkan mereka. Salembe dan teman-teman menganggap kekalahan itu terjadi lantaran wasit berpihak kepada lawan.

Bagi penonton, adegan itu mungkin sekadar bagian dari syarat sebuah film bertema olahraga. Bahwa ketika satu tim mengalami tekanan dan putus asa, pelatih atau rekan satu tim bakal bertindak sebagai pemberi motivasi. Tapi, bagi sutradara Angga Dwimas Sasongko, adegan di paruh akhir Cahaya dari Timur: Beta Maluku itu memiliki pesan yang lebih dalam. "Bahwa apa pun yang dilakukan pemerintah pusat tak usah membuat nelangsa. Berdiri lagi. Tunjukkan bahwa kita satu, bahwa kita orang yang tak gampang menyerah," kata Angga saat ditemui di kantor Visinema Pictures, perusahaan film yang ia dirikan pada 2008, di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.

Cahaya dari Timur bersumber dari kisah nyata Sani Tawainella, tukang ojek yang sepuluh hari menemani Angga berkeliling Ambon ketika ia membuat film dokumenter Garuda Muda pada 2007. Sani berbagi kisah hidupnya. Cerita itu kemudian disusun oleh Swastika Nohara dan M. Irfan Ramly menjadi naskah skenario. Seperti kisah Sani, film ini berkisah tentang seorang pemain tim nasional U-15 Indonesia di Piala Pelajar Asia 1996 yang gagal menjadi pemain profesional. Ketika konflik agama pecah di Ambon, Sani menyelamatkan anak-anak dengan mengajak mereka berlatih sepak bola.

Semula film ini memang mudah dianggap satu keranjang dengan film Garuda di Dadaku, Tendangan dari Langit, Hari Ini Pasti Menang, atau Garuda 19, yang menawarkan pola narasi yang serupa, yakni perjuangan karakter-karakter from zero to hero di ranah olahraga sepak bola. Tapi ada satu perbedaan penting yang membuat film Cahaya dari Timur istimewa. Sang sutradara mengirim pesan perdamaian dari tanah yang pernah luluh-lantak dihajar konflik. "Sebagai pembuat film, cerita hidup Sani adalah materi yang bagus untuk film. Bakal jadi sport drama yang keren banget," ujar Angga menceritakan kesannya saat mendengar cerita Sani pertama kali.

Tema persatuan, pluralisme, dan latar belakang konflik sosial yang memang kerap terjadi di negara ini sudah sering diangkat. Tapi, sebagai sutradara, Angga tahu betul bagaimana mengeksekusi naskah. Dengan cara bertutur yang lancar, sebagaimana diperlihatkan dalam Hari untuk Amanda, yang temanya lebih ringan, ia mampu berkisah dengan lancar dan tetap berfokus pada karakter Sani. Sepak bola dan konflik bisa menjadi problem dan solusi yang berimpitan. Secara estetika dan visual, film ini juga kuat. Inilah alasan mengapa Tempo memilih Angga sebagai sutradara terbaik tahun ini.

Sepuluh hari bergaul dengan Sani, Angga juga mendapat banyak pencerahan. Salah satunya bahwa konflik tak harus digambarkan secara dramatis, penuh darah, penderitaan, luka, dan kematian. Sutradara kelahiran Jakarta, 11 Januari 1985, ini lebih menitikberatkan proses perdamaian dan bagaimana menghadapi dendam yang masih tersisa di hati penduduk. Angga, yang sempat belajar ilmu politik di Universitas Indonesia, juga tak mau filmnya menguatkan stigma tentang masyarakat di kawasan Indonesia timur yang kerap digambarkan terbelakang dan miskin. "Saya justru ingin orang-orang di Indonesia timur yang menonton film ini punya kebanggaan baru bahwa mereka tak gampang menyerah," ucapnya.

Sejak awal, Angga menolak pendekatan Jakartasentris. Itulah mengapa dia akhirnya menggandeng Irfan Ramly (Ipang), blogger yang mengalami sendiri kerusuhan Ambon, untuk membantu Swastika Nohara menulis naskah.

Ipang, yang belum berpengalaman menulis skenario, diminta mengikut lokakarya penulisan skenario dengan Salman Aristo selama lima bulan. Setelah merasa siap, mulailah mereka menggarap skenario. "Menurut saya, sebagai sutradara, mengajak Ipang masuk ke tim penulisan adalah salah satu keputusan terbaik kami. Sebab, tanpa dia, tak mungkin naskah ini bisa memiliki energi dan sudut pandang yang sangat lokal," kata Angga.

Angga, yang membuat film pendek sejak di bangku sekolah menengah atas, mengaku amat mencintai proses pembuatan sebuah film. Ia pun tak malas menyediakan banyak waktu untuk melakukan riset, baik mencari tahu lewat Internet dan buku-buku maupun terjun langsung ke lapangan. Untuk film Cahaya dari Timur, misalnya, ia membutuhkan waktu dua tahun buat memahami persoalan. "Saya harus dekat dengan obyeknya dan problem dari topik itu sebelum membuat dengan obyek dan problem topik itu," ujarnya. Angga juga memberikan cukup banyak waktu kepada semua pemain yang terlibat agar bisa mendalami karakter secara maksimal. Apalagi ia banyak melibatkan pemain yang diambil dari penduduk setempat. "Semula mereka takut kepada kamera," katanya. Selama dua bulan, pemain yang kebanyakan anak-anak itu kemudian mendapat pelatihan akting.

Dengan berbekal riset dan persiapan yang matang, proses syuting selama satu setengah bulan yang berlangsung di kawasan Jazirah Salahutu, dari Passo, Suli, Tulehu, Liang, hingga Pena-Pena, bisa berjalan lancar. Angga mengaku tak menghadapi kendala berarti ketika mengarahkan para pemain. Tiap pemain sudah melebur dengan karakter masing-masing. Di bawah arahannya, aktor Chicco Jerikho mampu menunjukkan kematangan akting yang selama ini belum pernah dia tunjukkan lewat peran-perannya dalam sinetron. Begitu juga karakter lain. Salim "Salembe" Ohorella (Bebeto Leutually), Hari Zamhari "Jago" Lestaluhu (Aufa Assegaf), dan Alvin Tuasalamony (Burhanuddin Ohorella) sama sekali tak menunjukkan bahwa mereka sebelumnya amat gugup beraktng di depan kamera. Tahun ini agaknya tahun milik Angga dan tim Cahaya dari Timur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus