Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menjahit Tiga Cerita dari Jakarta

Skenario Lucky dan Ucu menyuguhkan benang merah yang menarik dan berhasil mempertautkan tiga fragmen cerita berbeda. Lokasi menjadi titik pertautan dalam selamat pagi, malam.

29 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di masa lalu, sinema Indonesia memiliki seorang maestro satire bernama Nya Abbas Akup. Sasaran utama Nya Abbas adalah tokoh-tokoh yang berpacu untuk menggapai simbol-simbol mobilitas sosial khas Indonesia 1980-an: rumah susun, mobil pribadi, gedung perkantoran, dan pembantu rumah tangga. Sialnya, isi kantong tak selalu mencukupi, isi kepala juga belum terlalu mumpuni, tapi gengsi keburu tinggi—kondisi yang tak asing dengan warga Indonesia sejak dulu, yang belum berubah hingga kini. Walhasil, terjadilah komedi serba salah, salah tingkah, dan salah kaprah. Kita tertawa melihat mereka. Pada saat yang sama, entah sadar entah tidak, kita turut menertawai kelalaian kita berbenah untuk zaman yang terus berubah.

Naskah Selamat Pagi, Malam garapan Lucky Kuswandi dan Ucu Agustin turut mengusung semangat serupa. Komedi sekaligus satire dengan drama yang menembak tata hidup warga Jakarta atau penghuni kota besar Indonesia. Semua itu dimulai dengan pengalaman pertama sutradara dan penulis Lucky Kuswandi sembilan tahun silam, ketika dia baru saja kembali dari Amerika Serikat. "Saya ke sebuah kafe yang menyajikan menu chicken soft roll dengan harga yang sangat mahal. Kita semua tahu itu sebetulnya sama saja dengan lumpia," kata Lucky kepada Tempo. Dia semakin takjub karena yang melayani lebih bersedia menyebut semua isi menu menggunakan istilah bahasa Inggris. "Saya jadi tertarik dengan identitas Kota Jakarta yang membingungkan itu," ujar Lucky.

Maka, bersama Ucu Agustin, ia melukiskan kehidupan orang-orang Jakarta yang kian terjajah oleh perangkat genggam mutakhir, media sosial, dan tuntutan untuk tampil di dunia maya. Mereka memetakan kehidupan sosial Jakarta dalam tiga cerita yang berbaur: pusat kebugaran, bistro kuliner eksotis, dan sebuah bar. Ketiga cerita kemudian mengakhiri cerita di tempat yang sama: Lone Star Hotel, sebuah hotel mesum, remang-remang, dan penuh kepedihan. Dengan kisah itu, skenario duo Lucky dan Ucu dianggap berhasil menyajikan peristiwa dari berbagai penduduk Jakarta yang lumrah terjadi dalam keseharian kota besar.

Lucky dan Ucu cukup cermat untuk tidak membingkai Selamat Pagi, Malam dari satu perspektif karena, dalam kehidupan nyata, pengalaman kehidupan urban tidak pernah tunggal. Ia hadir dalam sekat-sekat menembus kelas ekonomi, ras, agama, hingga selera politik. Ragam itulah yang ditampilkan Lucky dan Ucu dalam tiga garis cerita Selamat Pagi, Malam. Ada Indri, penjaga pusat kebugaran yang ingin bisa makan enak meski kerjanya pas-pasan. Ada Anggi dan Naomi, sepasang kekasih lulusan Amerika yang mencoba mencipta ulang New York pada suatu malam di Jakarta. Ada Ci Surya, janda perlente yang mengendus jejak perselingkuhan suami (yang baru saja meninggal) dengan seorang penyanyi bar kelas bawah. Mereka tidak saling kenal, tidak juga tatap muka sampai akhir cerita, tapi semuanya sama-sama berteduh dari penatnya ingar-bingar Jakarta ke sebuah hotel, entah untuk sekadar merasakan seks bersama orang yang asing, entah untuk mengenang masa lalu….

Bagi Lucky pribadi, Selamat Pagi, Malam menandai pertumbuhan dirinya sebagai seorang penenun cerita. Sebelumnya, dalam film Madame X, Lucky turut mencoba menuturkan fenomena sosial dalam kemasan komedi satire. Lucky membuat sebuah potret represi LGBT—lesbian, gay, biseksual, dan transgender—Indonesia sebagai kisah tempur: rezim militan versus superhero transgender, mayoritas yang culas versus minoritas yang tertindas. Sayangnya, Madame X terlalu asyik dengan dirinya sendiri—dengan humor dan bahasa gaul khas kelompok LGBT. Wacana Madame X yang sesungguhnya penting hanya bisa didengar, dan lebih pentingnya dipahami, oleh kelompok yang ingin dibela, sehingga khalayak ramai belum tentu memahaminya.

Naskah dan film Selamat Pagi, Malam tidak terjebak pada perkara serupa. Naskah film terasa berpijak pada pengalaman serta penuturan yang beragam. Ia bisa berbicara bagi banyak orang, baik pada tataran intelektual maupun emosional.

Bagi perfilman Indonesia, film Selamat Pagi, Malam adalah angin segar bagi film komedi pascareformasi. Rasanya sudah lama sekali kita tidak tertawa secara sehat. Terakhir kali mungkin Nagabonar Jadi 2—dan Arisan!? Beberapa tahun ini, komedi di layar kaca dan layar perak kita seperti terbentur pada komedi fisik dan mesum, seakan-akan tidak ada cara lain untuk membangun humor. Selamat Pagi, Malam menunjukkan bahwa lucu tidak melulu harus imbesil, bahwa komedi juga bisa relevan secara sosial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus