Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di atas kapal uap itu, selama berbulan-bulan, suara kentongan bambu tersebut terus-menerus riuh memenuhi telinga Tjalie Robinson. Ibunda Tjalie, Fela Robinson, lahir di sebuah desa nun jauh di Tulungagung, Jawa Timur. Bunyi kentongan itu terus mengikuti Tjalie, lelaki Indo-Belanda yang selama tiga bulan berlayar di atas kapal uap bersama rombongan kaum Indisch yang terpaksa pulang ke Belanda pada 1950 sebagai akibat dari kemerdekaan Indonesia. Suara kentongan itulah yang kemudian memberinya inspirasi.
Lantas lahirlah kata "Tong Tong" yang kelak menjadi nama resmi Tong Tong Fair and Festival, yang dikenal sebagai pasar malam dan festival kaum Indo-Belanda terbesar di Eropa, bahkan dunia.
Tahun ini Tong Tong Fair and Festival dimulai pada 27 Mei sore, ketika matahari Den Haag belum menggelincir. Meski sudah petang, sinarnya terburai-burai menyiram sekumpulan tenda putih yang tampak seperti kepulauan di atas lapangan Malieveld seluas 36 hektare itu. Hari itu pembukaan festival terasa semakin hangat oleh ratusan pengunjung yang antre membeli tiket seharga 13,5 euro per orang untuk bisa menikmati puluhan program yang tersedia sejak siang hingga malam hari, terus-menerus. Pada usianya yang ke-57 ini, Festival Tong Tong sudah melebar menjadi tiga program besar: Fair (pasar), yang menjual berbagai barang dari Indonesia; Food, warung-warung di bawah tenda yang menjual aneka makanan dari berbagai daerah Indonesia; dan Festival, yang terdiri atas program-program seni, sastra, pertunjukan, serta pameran Indo-Belanda, Belanda, dan Indonesia.
Jika memasuki kawasan Tong Tong Fair di Malieveld, kita seperti memasuki sebuah perayaan keragaman di tengah Den Haag yang "begitu Belanda", "begitu Eropa". Gerbang tenda dibuka, kita melihat sebuah replika teras rumah arsitektur Hindia Belanda, lengkap dengan jendela-jendela besar bercat hijau dan langit yang tinggi. Lantas terdengar musik yang akrab dari sebuah masa lalu: keroncong, gamelan, bahkan rock Indo yang memiliki entakan dan ritme yang berbeda dengan rock Barat yang selama ini lebih dikenal. Para pe-ngunjung bukan hanya warga Indo-Belanda, melainkan juga orang Belanda yang lama menetap di Indonesia dan harus "kembali" ke Belanda pada 1950 setelah perang selesai. Selain itu, tentu saja anak-cucu keluarga Indo-Eropa yang bahkan belum pernah ke Indonesia ikut berbondong-bondong untuk mempelajari nenek moyang mereka. Orang tua atau kakek-nenek mereka lazimnya mengajak anak-cucu-cicit seperti memasuki lorong waktu: tari-tarian dari berbagai penjuru Indonesia, angklung, pencak silat, dan, oh, aroma sate kambing serta durian yang memenuhi tenda belakang.
"Saya datang terutama untuk makanannya," demikian kata Sonja Mackenzie, yang menggunakan kursi roda yang didorong anaknya. "Spekkoek (kue lapis legit) yang dijual di sini enak sekali," ia melanjutkan. Sonja mengaku, selain karena makanan, ia "berjanji bertemu dengan kawan-kawan yang masih tersisa".
Tapi apakah Tong Tong Fair sekadar sebuah mesin waktu untuk mengelus-elus masa lalu seperti halnya kecintaan kita kepada benda antik? Tentu saja tidak. Ini bukan hanya ajang mengenang, melainkan juga sebuah pernyataan identitas.
Pada 1950-an, secara bertahap warga Belanda-baik Belanda maupun Indo-Belanda-yang merasa tercerabut dari Hindia Belanda merasa bahwa Belanda yang berudara dingin itu bukan tanah air yang mereka kenal. Meski mereka belajar beradaptasi, seperti yang dipamerkan tahun lalu di Nationaal Archief Den Haag, bagaimana mereka diberi "kursus" cara hidup di Belanda, sebuah negara empat musim yang berbeda gaya hidup, kuliner, serta bahasa dan perilaku penduduknya.
Para wartawan dan penulis keturunan Indo menyatakan dalam tulisan-tulisan mereka bagaimana uniknya kultur yang dimiliki para keturunan Indo-Belanda. Adapun salah satu penulis dan wartawan yang terkemuka bernama Tjalie Robinson, yang lahir dengan nama Jan Boon. Ia putra Cornelis Boon, sersan Koninklijke Nederlandsch Indische Leger (KNIL) dari Belanda. Sedangkan ibu Tjalie, Fela Robinson, diperkirakan keturunan Skotlandia dan Jawa.
Di kemudian hari, Tjalie dikenal sebagai ikon komunitas keturunan Indo-Belanda yang juga memiliki nama alias Vincent Mahieu, yang melahirkan buku Tjies dan Tjoek, yang di Indonesia diterjemahkan oleh H.B. Jassin.
"Pemerintah Belanda saat itu memaksa warga Indo untuk berasimilasi total," kata Leslie Boon, cucu Tjalie yang kini juga menjadi salah satu programmer Tong Tong Fair and Festival. "Motonya adalah integreren ja, assimileren nee, yang berarti: integrasi ya, tapi mereka tidak mau berasimilasi." Tjalie menyatakan secara terbuka dan melalui tulisannya tentang keunikan kaum Indo-Belanda yang berada di antara dua alam: Indonesia dan Belanda.
Ia menyamakan keturunan Indo-Belanda seperti kura-kura, yang unik, karena hidup di darat dan lautan. "Just as I do not find the turtle inferior, although he is neither fish nor fowl, I do not think the Indo inferior," demikian tulis Tjalie di dalam majalah Tong Tong edisi 1 Juni 1970.
Sejak 1958, Tjalie sudah menerbitkan majalah berjudul Tong Tong. Dengan penuh semangat ia mendorong dan bahkan memaksa warga Indo menyumbang cerita dan kenangan mereka tentang Hindia untuk generasi berikutnya. Ia menolak seluruh kultur Indo-Belanda dileburkan begitu saja ke dalam kebudayaan Belanda. Tekanan masyarakat Belanda terhadap warga Indo-Belanda untuk berasimilasi itu dilawan dan melahirkan kelompok yang disebut Indies Cultural Circle setahun kemudian.
Pada 1959, untuk pertama kali, kelompok Indo-Belanda menyelenggarakan Pasar Malam Tong Tong di Haagse Dierentuin, gedung kebun binatang Den Haag. Pasar itu menyajikan pertunjukan tari-tarian dan makanan fusion Indonesia dan Belanda. Pasar malam yang semula mengadakan acara pertunjukan musik keroncong, tari-tarian dari berbagai daerah di Indonesia, dan berbagai pameran serta menjual pelbagai makanan ini, di luar dugaan, sukses dan mengundang banyak peminat karena memberikan suasana gezellig, nyaman dan menyenangkan, sekaligus menjadi sarana pertemuan keluarga dan teman dekat sembari menikmati atmosfer Indisch yang dalam keseharian sudah sukar mereka peroleh. Apalagi makanan Indonesia dan musik keroncong itu membuat mereka semakin yakin kultur Indo-Belanda memang tidak ada duanya-unik.
Karena suksesnya tahun awal berdirinya Pasar Malam Tong Tong, mereka semua memutuskan mengadakan pesta ini kembali tahun-tahun berikutnya. "Saya ingat waktu itu, tahun 1967, pernah diajak ke Pasar Malam Tong Tong. Menarik. Terutama atribut-atribut yang dipakai pengunjungnya. Ada yang memakai blangkon dan sarung, atau peci dengan lambang Garuda. Yang lain dengan seragam militer Belanda, dan semua tanda jasa serta bintang dipasang pula," ujar Ringgas Simandjuntak, 72 tahun, penduduk Amsterdam pensiunan pegawai pos.
Menyadari Pasar Malam Tong Tong juga membutuhkan acara yang serius yang memperlihatkan sejarah, pada akhir 1960-an, kurasi Tong Tong mulai menyajikan pameran tentang berbagai penulis Indisch terkemuka, seperti Multatuli dan Louis Couperus.
Pada 1970-an, hubungan Indonesia dan Belanda, yang semula dingin sejak kemerdekaan Indonesia, mulai membaik. Duta Besar Indonesia hampir selalu membuka acara. "Bahkan, di masa Joop Ave menjadi Direktur Jenderal Pariwisata, pemerintah Indonesia pasti menyediakan dana untuk pengiriman kelompok musik dan tari dari berbagai daerah," kata Leslie.
Dengan sendirinya, kebudayaan Indonesia semakin memperoleh porsi besar dalam Pasar Malam Tong Tong. Pada 1976, Pasar Malam memindahkan lokasinya ke Houtrust. Sejalan dengan itu, generasi baru kaum Indo yang lahir kemudian-umumnya lahir di Belanda-sudah mulai tak mengenal soal Hindia Belanda, apalagi tentang Indonesia kontemporer. Tjalie Robinson, yang kala itu lebih berperan sebagai penasihat, menulis, "Ini saatnya lagu kita tak lagi dinyanyikan." Demikian tertulis dalam De Pasar Malam van Tong Tong een Indische onderneming yang disusun Florine Koning pada 2008.
Sayang sekali, pada 1974, Tjalie Robinson wafat. Sebagian anak dari ketiga istrinya, menantu, dan cucu-cucunya tetap meneruskan warisan Tjalie dan generasinya. Pasar Malam semakin dikembangkan dengan berbagai acara yang serius. Ada beberapa program diskusi serta pameran foto dan buku yang berhubungan dengan sejarah Indo-Belanda, misalnya bagaimana warga ini pulang ke negara "asal", yaitu Belanda, yang sesungguhnya belum pernah mereka sentuh.
Tapi dua genre musik yang sangat intim dengan kultur Indo-Belanda tak pernah absen: keroncong (dalam ejaan bahasa Belanda ditulis krontjong) dan indorock, sebuah subgenre dari musik rock yang berkembang dari berbagai band Indo-Belanda sejak 1950-an. Sedangkan makanan Hindia Belanda yang biasa dikenal adalah rijsttafel, yang sebetulnya terdiri atas nasi dan lauk-pauk, yang dijual di berbagai tenda warung makanan, yang menjadi salah satu bagian yang penuh sesak oleh pengunjung.
"Pengunjung tahunan biasanya mencapai 100 ribu untuk dua minggu," ujar Leslie Boon. "Ada satu saat, ketika Tong Tong ke-50, pengunjung kami pernah mencapai 133 ribu."
Pada 1980-an, karya sastra Indisch sudah mulai dipentaskan, seperti karya Beb Vuyk-di Indonesia bukunya, Sebuah Rumah Nun di Sana, diterbitkan Pustaka Jaya-Marion Bloem, yang karyanya dalam bahasa Indonesia akan diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia, dan Margaretha Fergusson.
Pada 1985, salah satu cucu Tjalie, Siem Boon, masuk kepengurusan Yayasan Tong Tong. Adalah Siem yang kemudian menjajaki formulasi baru. Ia ingin kebudayaan Indo menjadi karakter Tong Tong, tapi merupakan hal yang logis jika Indonesia mendapat peran di dalamnya tanpa mengorbankan karakterisasi Indisch. Tema-tema Indonesia dalam diskusi, pameran, dan lokakarya ditampilkan, tapi diupayakan sebisa mungkin dikaitkan dengan tema-tema Indo-Belanda. Menurut Siem Boon, perspektif masa depan kebudayaan Indo sesungguhnya dimulai beberapa tahun yang lalu karena perhatian besar yang muncul dari generasi kedua Indo dan juga tumbuhnya kesadaran identitas dari generasi pertama. Mereka sadar bahwa kebudayaan Indo tumbuh menjadi kebudayaan yang "bukan Barat" dan ini adalah sebuah definisi ulang sebuah identitas yang sebetulnya lanjutan dari visi Tjalie di masa hidupnya. Salah satu definisi ulang itu adalah kebudayaan Indo-Belanda kini mulai terasa menjadi bagian dari kebudayaan imigran internasional.
Lapangan Malieveld yang luas akhirnya menjadi "rumah" bagi Tong Tong pada 1988. Sejak itulah diskusi dan pertunjukan sastra memperoleh teaternya sendiri.
Tentu saja festival ini pernah mengalami gerunjal di masa Orde Baru. Pemerintah Indonesia, lewat Kedutaan Besar Den Haag, kritis terhadap program-program Tong Tong. Bahkan, pada 1996, pemerintah Indonesia melakukan pemboikotan karena salah satu programnya adalah penayangan film dokumenter tentang Pramoedya Ananta Toer dan penjualan buku-buku karya Pramoedya. Duta Besar RI Johannes Berchmans Soedarmanto Kadarisman mendesak Ellen Derksen, menantu Tjalie Robinson saat itu, menghapuskan beberapa program, termasuk tiga kegiatan dari Moluks Historisch Museum (Museum Sejarah Maluku) dan satu kegiatan tentang Papua. Ellen menolak. Selanjutnya, Kadarisman mengatakan, ia mendapat kabar bahwa Departemen Dalam Negeri RI menyurati semua gubernur untuk melarang bekerja sama dengan Pasar Malam Besar di Den Haag. "Justru oleh kejadian itu nama kami di Indonesia menjadi besar. Dan untuk pertama kalinya TTF mengisi halaman utama koran-koran terkenal di Belanda," kata Ellen.
Adapun sejak reformasi di Indonesia, hubungan Tong Tong Fair dengan pemerintah Indonesia semakin mesra. "Hubungan kami dengan pemerintah terus bertahan. Kedutaan Indonesia kini rutin datang mengunjungi kami. Ibu Dubes Retno (yang kini menjadi Menteri Luar Negeri) tahun lalu juga datang," ujar Leslie.
Pada 2009, nama Pasar Malam secara resmi diubah menjadi Tong Tong Fair and Festival.
"Karakter Tong Tong Fair adalah menawarkan pelbagai program kepada publik sesuai dengan minatnya," demikian Florine Koning, sejarawan lulusan Universitas Leiden, kepada Tempo.
Tong Tong Fair tetap menyajikan hiburan panggung dan pasar yang ramai yang menjual makanan dan benda-benda seni, tapi kini festival itu juga menekankan lokakarya serta diskusi serius yang lebih banyak, yang mengundang berbagai seniman dan penulis dari Indonesia dan para ahli atau sejarawan Indo-Belanda dari negara Eropa. Salah satu pameran dan diskusi yang bagus dan tajam adalah pameran sekumpulan film arsip amatir Hindia Belanda, tahun lalu, yang dikuratori seniman Hungaria, Péter Forgács. Meski film-film pendek itu buatan keluarga sipil di masa kolonial, bukan film dokumenter resmi, justru "keseharian" yang terlihat dalam film-film yang ditayangkan berulang-ulang itu, disertai pembacaan berbagai surat pribadi di zamannya, menjadi montase yang menarik, yang tak mungkin kita peroleh dalam buku sejarah resmi. Untuk sastra tahun ini, Tong Tong mengundang penulis Iksaka Banu, yang baru saja mendapat Khatulistiwa Literary Award 2014, untuk berdiskusi di beberapa panel tentang kumpulan cerpennya, Semua untuk Hindia. Semua panel Iksaka Banu penuh oleh pengunjung. Cerita-cerita Iksaka yang rata-rata menampilkan orang Belanda yang simpatik dan kritis terhadap kolonialisme itu menarik perhatian.
"Saya terharu. Buku Semua untuk Hindia ludes. Para pengunjung, dari yang muda hingga oma-oma, antre minta tanda tangan," kata Iksaka kepada Tempo. "Seorang opa bercerita dengan mata berkaca-kaca tentang pengalamannya di internir kamp Cideng."
Penulis terkemuka Indo-Belanda, Marion Bloem, yang mengaku sudah mengenal festival ini sejak berusia 14 tahun, adalah sastrawan yang rutin datang. "Semula saya datang bersama orang tua saya, ketika namanya masih Pasar Malam." Tapi, pada 1980-an, Marion hadir di festival ini sebagai sineas dokumenter dan penulis terkemuka. Marion mengakui, di masa kanak-kanaknya, dia mengira festival itu seperti sekadar nostalgia untuk orang tuanya. Setelah dewasa, dan membuat film dokumenter berjudul My Parents Country, Marion menemukan banyak hal yang menarik tentang sejarah dan asal-usul orang tuanya. Maka Marion mulai memahami apa yang dicari dalam acara seperti itu. Marion, penulis buku Geen gewoon Indisch meisje ("Bukan Gadis Indisch Biasa"), juga menyadari bagaimana Pasar Malam tidak hanya berganti nama, tapi secara perlahan bermetamorfosis menjadi acara kebudayaan yang semakin kuat dan serius dengan tetap mempertahankan hiburan dan kuliner. "Sastra, selain musik dan sejarah, terasa semakin memiliki peran besar dari tahun ke tahun," ujar Marion kepada Tempo, "membuat festival ini semakin menarik untuk saya dan generasi saya."
Kurasi acara dalam festival kini bahkan melebar ke topik-topik yang sama sekali tak ada hubungannya dengan Indo-Belanda. Misalnya, tahun ini Tong Tong menyajikan beberapa acara diskusi bersama kelompok International People's Tribunal 1965, gerakan yang dilakukan sekumpulan aktivis, seniman, dan intelektual, yang antara lain mengupayakan agar peristiwa pembunuhan massal pada 1965 dan setelahnya diakui oleh dunia internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa. "Kami memberikan wadah untuk semua pihak," kata Leslie Boon.
Hal lain yang mengagumkan sebetulnya adalah festival ini selama ini secara finansial bisa berdiri sendiri. "Kami mengadakan subsidi silang," ujar Leslie. "Selain pengunjung membayar tiket masuk, kami mendapatkan uang masuk dari penyewaan booth." Dengan demikian, acara-acara diskusi bisa dibiayai. Tentu saja ada beberapa sponsor untuk setiap narasumber yang diundang, terutama untuk akomodasi selama di Belanda. Tapi secara umum Festival Tong Tong adalah festival yang sangat mandiri secara finansial.
Mungkin Tjalie Robinson tidak sampai membayangkan bahwa warisan pasar malamnya akan menjadi sebesar dan sehebat ini. Namun, yang jelas, dia pasti akan ikut bangga bahwa "kura-kura" yang dia umpamakan sebagai kaum Indo-Belanda tidak hanya hidup di darat atau berenang di laut, tapi juga bahkan bisa terbang di udara.
Leila S. Chudori, Lea Pamungkas (den Haag, Belanda)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo