Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tarik-ulur, atau perjumpaan, atau dialog, antara tradisi dan modern hingga kontemporer dalam dunia tari adalah cerita lama. Menarik bahwa hal itu masih perlu ditampilkan secara khusus. Helatari Salihara 2015, festival tari yang pertama kali digelar di Salihara, Jakarta Selatan, pada 30 Mei-7 Juni lalu, bahkan mengusung tema "Tari Baru dari Khazanah Tradisi Nusantara".
Menilik kecenderungan bentuk pertunjukan yang sering dipentaskan di Salihara, pemilihan tema "Tari Baru dari Khazanah Tradisi Nusantara" sebenarnya agak mengejutkan. Sejauh yang saya amati, Salihara cenderung "menyukai" bentuk seni kontemporer.
Tony Prabowo, kurator Helatari, mengoreksi kesan ini. Ia mengakui segmen tradisi porsinya memang tak terlalu besar atau jarang dihadirkan di Salihara, tapi bukannya tidak pernah sama sekali. Bagi Tony, dialog atau perjumpaan atau tarik-ulur antara tradisi dan kebaruan akan selalu relevan dan punya daya tarik. Yang modern, bahkan kontemporer, dalam seni tari di Indonesia-dan ini juga terjadi di negara Asia lainnya-masih sering memperlihatkan keterkaitan yang kuat dengan apa yang lazim disebut "kanon" karya tradisional. Sardono W. Kusumo, misalnya, pernah mengatakan, "Saat membuat hal baru (sekalipun), saya selalu merawat yang lama dan tua di belakang pikiran saya."
Tradisi agaknya memang begitu liat hingga tidak mudah dilepaskan dalam perjalanan tari di Indonesia. Tema "Tari Baru dari Khazanah Tradisi Nusantara" sendiri menyiratkan keyakinan itu. Meskipun dengan tambahan bahwa tradisi itu menjadi bahan atau dasar bagi bentuk-bentuk baru dan segar. Festival kecil ini, "mengutamakan pencarian unsur kebaruan dari tiap topik tradisi yang ditampilkan para koreografer," kata Tony.
Dengan tiang pancang itulah Helatari menghadirkan empat pertunjukan dari empat koreografer, yaitu Indra Zubir, Atilah Soeryadjaya, Benny Krisnawardi, dan Otniel Tasman.
Indra Zubir sebagai penampil pertama menghadirkan Buai. Buai-buai sendiri, menurut Indra Zubir, telah lama ditinggalkan para penggubah tari, bahkan tak sepopuler gerak silat yang banyak diambil dalam tarian Minang (juga dipakai Indra kali ini). Motif gerakan buai-buai begitu sederhana bahkan cenderung monoton. Untuk menghadirkan dinamisme, Indra mengambil gerak shuffle untuk dikombinasikan dengan pola gerak buai-buai khas Minang. Judul Buai ia pilih untuk menggambarkan kehidupan manusia Minang sejak lahir, dewasa, merantau, hingga mereguk sukses yang tak lepas dari buaian/asuhan serta doa seorang ibu terhadap anaknya.
Pertunjukan Buai terlihat berusaha keras menemukan dan memperlihatkan kebaruan. Tapi alur cerita (tradisi) dengan plot linier yang kelewat menonjol, dilengkapi pengucapan-pengucapan dalam bahasa Minang, menenggelamkan eksperimen Indra Zubir yang memasukkan gerak shuffle. Cukup menarik untuk memperlihatkan dinamisme gerak, tapi tak cukup maksimal untuk menampakkan "kebaruan".
Penampilan kedua diisi oleh Permata Jawa karya Atilah Soeryadjaya, yang dibagi menjadi tiga bagian: macapatan (sastra), ansambel gamelan dan musik cangkeman (musik), serta Samparan Matah Ati (tari). Macapat dalam Permata Jawa menukil Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV yang ditembangkan dua orang laki-laki dan dua orang perempuan yang duduk di atas selembar tikar di tengah panggung yang redup.
Bagian kedua Permata Jawa dirancang sebagai sebentuk jembatan antara tradisi dan modernitas. Blacius Subono menjadi penata musik dalam ansambel gamelan dan musik cangkeman yang agresif dan nyablak ini. Cukilan dari repertoar besar Matah Ati dihadirkan sebagai penutup. Penonton dimanjakan dengan keindahan gerak para penari perempuan yang berusaha menjadi sosok kuat di hadapan cinta yang rawan dan gentingnya perlawanan terhadap Belanda.
Pada dasarnya Permata Jawa memperlihatkan ketakziman yang kukuh terhadap tradisi. Kebaruan, yang dicoba didesakkan melalui ansambel gamelan dan musik cangkeman di bagian kedua, tenggelam oleh bagian macapat yang sepenuhnya tradisional. Bagian penutup bahkan menghadirkan epos lama yang dibungkus ornamen-ornamen modern. Tradisi dalam Permata Jawa tak hanya menjadi sebuah konstruksi, melainkan juga relik yang kepadanya Atilla berdiri dengan sikap mengapurancang.
Koreografer Benny Krisnawardi dari Komunitas Seni Sigma Dance Theatre menampilkan Menuai Senja. Empat bagian dalam karya pertunjukan ini mengurai tentang pergumulan manusia yang merambat tua secara fisik dan psikis. Sigma Dance Theatre, yang berlatar belakang budaya Minangkabau, juga mencoba menggunakan elemen-elemen tradisi untuk menghadirkan manusia modern yang menghadapi (ke)tua(an) sebagai problem eksistensial: penuh kegelisahan, permenungan, dan nostalgia.
Oneil Dance Community, dengan Otniel Tasman sebagai pentolannya, kembali hadir masih dengan lengger Banyumasan. Lengger merupakan akronim dari leng dan jengger, artinya perempuan yang ternyata laki-laki.
Lengger Laut karya Otniel yang dipentaskan di Helatari 2015 berkisah tentang lengger lanang terakhir di Banyumas, yakni Dariah. Dibawakan enam orang penari laki-laki, Otniel berusaha menginterpretasikan kemeriahan serta kepedihan yang melintasi kehidupan Dariah dalam konteks kekinian. Tak hanya menghadirkan kesenian lengger di panggung elite, Otniel memiliki misi untuk terus merawat tradisi lengger lanang sembari mengenalkan bentuk baru pertunjukan lengger yang ditarikan oleh para pria crossgender.
Empat karya itulah yang disodori tantangan untuk mencari dan menemukan kebaruan dengan menjelajahi dan berpijak pada "khazanah tradisi Nusantara".
Penonton memang dimanjakan oleh bahasa tubuh, ornamen gerak dan suara, juga aksesori yang digunakan dalam setiap karya. Sayangnya, kebanyakan masih terlihat sibuk dengan corak. Yang berlatar belakang Minang masih memerlukan kostum khas Minang untuk menunjukkan keminangannya. Yang mengusung Jawa terlalu berhati-hati memuja keraton. Dan di dalam yang ngapak Banyumasan banyak unsur overact, sehingga bagian yang syahdu sering tertutup keriuhan tak perlu.
Tiap karya masih terpaku dalam zona nyaman akan ornamen khasnya masing-masing. Jangankan menciptakan chaos, dinamika pertunjukan rata-rata berlangsung lambat. Tak ada semangat bermaju-maju dalam konsep dan kebaruan wacana. Masing-masing menjadi paling unggul dalam lingkarannya sendiri-sendiri.
Tari-tarian tradisi Nusantara pada perhelatan ini masih berjibaku dengan semangat keguyuban: mengajak orang beramai-ramai merasakan mitos dan epos yang dibumbui "warna lokal". Umumnya mereka menari dalam plot linear, sarat narasi, dan sibuk bercerita. Tentu tak ada yang salah dengan sebuah karya naratif-linear apabila karya tersebut ditampilkan dengan kedalaman yang baik. Di sinilah, menurut saya, kedalaman nilai-nilai tradisi dalam Helatari akhirnya tidak hadir karena ketiadaan wacana atau tafsir baru.
Saya teringat TAO Dance Theatre yang tampil dalam Indonesian Dance Festival 2014 berjudul "2". Memaksimalkan tubuh kepenarian pada titik ekstremnya, TAO Dance Theatre melakukan eksperimen-eksperimen minimalis, menekan hasrat story-telling, menahan diri untuk tak mengatakan tentang semua hal, tidak berpretensi untuk merepresentasikan apa pun. Karena itu, karya Tao Ye, koreografer Tao Dance Theatre, menjadi puitik, tanpa perlu banyak berkata-kata. Padahal Tao Ye sejak kecil mempelajari tari klasik Cina yang sarat dengan gerakan kungfu, ilmu bela diri khas Cina. Tak jauh berbeda dengan latar belakang para koreografer dalam Helatari yang sedari kecil juga telah mempelajari tari klasik/tari asal daerah masing-masing.
Sebenarnya kata "tradisi" berakar pada "tradere" yang berarti "pertukaran". Tak ada kegelisahan akan pertukaran dan perubahan dalam "tradisi" yang diucapkan berkali-kali oleh mereka yang mendaku sebagai seniman yang berangkat dari tradisi.
Hal ini bahkan tak dibahas dalam sesi diskusi Helatari pada Jumat, 5 Juni 2015, mengenai "Tradisi dan Modernitas dalam Tari Indonesia". Diskusi nyaris menjadi klise karena tak henti-hentinya mengkonfrontasi tradisi dan modernitas seperti pertentangan antara laki-laki dan perempuan, yang desa dan yang kota, dikotomi antara yang komunal dan individual.
Tradisi dipelihara tapi tetap harus terbuka, kata salah satu pembicara. Ini terdengar seperti sudah menjadi pakem dalam setiap wejangan. Ya, tradisi memang harus bersikap terbuka-tanpa beban untuk memelihara dan melestarikan. Walhasil, tak ada hal abstrak dan puitik keluar dari kematangan teknik para penari dalam Helatari. Saya kira Helatari yang pertama kali ini tak menjadi festival pendobrak, cukup sebuah festival yang ikut meramaikan saja.
Galuh Pangestri, Pemerhati Tari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo