Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Labirin Retno

Koreografer muda Retno Sulistyorini menyajikan karya Labirin di Solo. Terlalu sadar bentuk.

22 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam leaflet pertunjukan Labirin, Retno Sulistyorini, penerima Hibah Kelola 2015, menyatakan: Jika dalam labirin banyak sekali jalan buntu dan memaksa kita berfikir menentukan arah mana lagi yang akan kita pilih, maka karya ini mencoba melakukan transformasi kebuntuan menjadi momen artistik yang diwakili oleh sebuah gerak atau bentuk.

Apa yang dinyatakan oleh koreografer muda Solo ini membawa konsekuensi logis tentang apakah tari yang ditampilkannya sekadar menyajikan kenikmatan sensibilitas indra, yang enak dilihat dan terasa manis, ataukah ada kebutuhan lain yang lebih mendalam.

Labirin yang dipentaskan Retno pada 9-10 Juni 2015 di Teater Arena Taman Budaya Solo itu bercerita tentang hidup yang memang tak pernah selurus garis yang ditarik dari satu titik ke titik lain. Dengan dukungan empat penari, Astri Kusuma Wardani, Agus Margiyanto, David Bimo, dan Adi Nugroho, Labirin diawali dengan bunyi dengungan selama beberapa menit yang ditata-edit oleh Muhammad Subhan dan Sigit Pratama. Ruang yang terasa polos dipadu dengan cahaya samar dengan penekanan cahaya silang diagonal berbentuk X, yang mungkin sebagai metafor suatu tanda tanya atau ruang pencarian.

Para penari mengawali pentas dalam grouping yang terasa ritmis, ringan, seperti langkah orang mencari jalan. Pada pertunjukan malam pertama, saya melihat koreografi sepanjang 32 menit itu tak terasa ekspresif dan terlalu sadar kepada bentuk. Berbeda dengan malam kedua, walaupun durasi lebih panjang beberapa menit, sajian Labirin terasa lebih energetik dan ekspresif. Penataan pola grouping tampak lebih kuat mendukung pola komposisi gerak.

Betapapun demikian, koreografi ini masih terlalu sadar untuk menyampaikan bentuk-bentuk artistik. Akibatnya, Labirin dengan iringan bebunyian yang menggedor dengan isian berbagai bunyi, dari suara motor yang menderu sampai lintasan pesawat serta berbagai suara lain, di antara sesekali suara lindap, tak cukup menciptakan refleksi yang lebih mendalam.

Saya melihat kebanyakan koreografer muda di Indonesia sering menyajikan tema memikat. Namun tema itu hanya menjadi seperti stempel tanpa makna, yang penyajiannya sama sekali tak menggetarkan bagian dalam diri kita. Jika kita meyakini "estetika subyektif" menjadi ukuran dan pertaruhan utama jalan kesenian, sesungguhnya pertaruhannya adalah pertaruhan eksplorasi kedalaman tari. Dan ini bisa kita rasakan dari aura penari dan energi koreografis.

Secara umum, kita banyak menemukan masalah di kalangan para koreografer muda dalam proses eksplorasi, antara lain persoalan riset dalam kaitan dengan perumusan wacana, juga kaitan antara wacana dan eksplorasi unsur teknikal, yang berakibat banyak karya mereka terasa datar.

Ditambah oleh proses kerja produksi antara penata musik dan penata panggung-cahaya, yang kerap kali hanya dalam waktu singkat, sehingga penataan ruang, cahaya, dan tari tak terasa saling mengisi. Dalam pentas di Teater Arena TBS, misalnya, banyak kasus penata bunyi terasa bermain sendiri, penata ruang-cahaya yang terpatok pada Teater Arena konsep pencahayaannya selalu sirkular, sedangkan pola grouping dan komposisi tari bersifat prosenium.

Membandingkan karya-karya Retno Sulistyorini yang terdahulu, Samparan: Moving Space (2007), Tubuh Bisu (2009), Ruang Dalam Tubuh (2010), dan Klise (2012), dengan Labirin, saya menganggap lebih menarik yang terdahulu. Saya punya kesan, keempat karya lamanya memiliki eksplorasi kuat yang didasarkan pada kemungkinan-kemungkinan tubuh dan ruang yang tidak hanya ingin dilihat secara artistik. Keempat karya lamanya lebih berani secara spekulatif melakukan kerja kolaboratif dengan berbagai elemen seni pertunjukan dan seni rupa serta musik.

Pada karya terdahulu, terasa ada sesuatu yang dicari Retno betapapun hal itu tak menemukan jalan keluar, tapi bisa menjadi bahan perbincangan, wacana, minimal menjadi vokabuler untuk proses selanjutnya. Saya kira ini penting karena, bila dikaitkan dengan program Hibah Kelola, eksplorasi bukanlah sekadar bertujuan mencapai suatu produk jadi. Kita perlu tari yang reflektif, di antara begitu banyak karya tari kemasan demi pariwisata dan "tari dalam rangka" ini dan itu, yang tak membuat lebih cerdas.

Halim H.d., Networker Kebudayaan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus