Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bukan Kambing Hitam 'Award'

10 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

USAI rekap perhitungan suara pemilu, Wahyudin Noor Ali, Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, justru memikirkan kambing. Kambing hitam, seperti yang diperjualbelikan sejumlah partai yang kalah pemilu itu? Bukan! Benar-benar kambing sejati sebagai ajang syukuran sukses penyelenggaraan pemilu di wilayahnya.

Semula, sapi yang dipilih. Ini juga sapi sungguhan—bukan sapi dagangan partai yang berebut jabatan presiden dan wakilnya. "Namun, kalau hanya sapi, kok rasanya kurang (dana), ya?" kata Wahyudin. Alhasil, kambinglah pilihannya.

Tak jadi syukuran, KPU Award-lah yang digelar untuk menghargai lima calon anggota legislatif yang menghimpun suara terbanyak di Kabupaten Brebes. Mereka dianggap telah berusaha keras, meski tak semuanya mengumpulkan suara melewati bilangan pembagi pemilih (BPP) agar bisa menjadi anggota dewan. Kelima anggota KPU Brebes tadi sepakat award bukan berupa piagam atau piala, tapi berbentuk itu tadi…, kambing! Dari dana sesama anggota KPU—Wahyudin kejatahan terbanyak—mereka membeli lima kambing @ Rp 500 ribu. "Itung-itung amal, juga biar ada nuansa entertain-nya," katanya.

Muncul lima calon penerima: Slamet Abdullah Nury, Sukirso, H.A. Rofiq Abdullah, Farah Evi Sri Winarni (semuanya dari PKB), serta satu dari PDIP, M.A. Noval Nadjib. Kelimanya tak memenuhi BPP, namun—kecuali Rofiq—masuk jadi anggota dewan karena limpahan suara.

Penyerahan KPU Award berlangsung penuh ger-geran di Kantor KPU Brebes, Jalan M.T. Haryono, 21 April lalu. Acara selesai, tapi para penerima tak membawa pulang kambing hadiahnya. Ada yang diberikan pada konstituennya, ada pula yang disumbangkan ke karang taruna. Sedangkan kambing bagian Saleh dihadiahkannya kepada para wartawan.

"Meski tidak terpilih menjadi anggota DPRD, saya merasa dihargai," ujar Rofiq. "Bukan karena kambingnya, tapi karena penghargaan sportivitasnya."

'Serangan Fajar' dari 'Tokai'

PESTA yang dituju, "serangan fajar" yang menunggu. Bukan pelor yang keluar dari lubang senapan, namun rentetan "buangan" dari lubang pelepasan. Ardianto, penghuni Rumah Tahanan Maesa, Palu, Sulawesi Tengah, masih meringis dan tergelitik urat gelinya bila mengingatnya. "Saya sudah biasa di bawah tekanan kasus Poso, tapi dalam tekanan mencret, saya tak kuat," kata pemuda tersangka kasus penyerangan Desa Beteleme, Morowali, yang terjadi Oktober silam itu.

Awalnya, Selasa dua pekan lalu, pihak rumah tahanan mengadakan pesta peringatan ulang tahun hotel prodeo itu. Semua 198 penghuninya larut dalam pesta. Untuk sejenak, pengapnya penjara pun terlupakan. Mereka bergembira dengan jatah nasi bungkusnya. Ini kesempatan langka, sehingga lauk (agak) basi pun tak terlacak indra perasa.

Akhirnya, "serangan fajar" itu datang mendadak. Rabu dini hari, dari tengah malam sampai pagi, hampir semua tahanan merasakan sesuatu mendesak-desak dari perut, ingin keluar segera. Mereka terkena wabah mencret massal.

Masalahnya, WC yang tersedia di sana hanya 15. "Saya tak tahan rebutan dan ngantre WC, terpaksa berak di belakang kamar," kata Ardianto dengan tawa kecil bercampur senyum masam. Kamar tahanan yang pengap itu pun bertambah tak keruan "harum"-nya.

Di ruang tahanannya, ada sekitar 20 orang terjangkit gejala sejenis. Para pengantre WC, tanpa kecuali, memegang perut masing-masing, seperti hendak menahan semburan dari dalam. Balsem yang dioleskan di perut masing-masing tak juga meredam kocokan dalam.

Penderitaan Anto belum berakhir. Ketika ia bersama sembilan rekannya akan disidang di Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah, Rabu pagi itu, tanda-tanda isi perut ingin meledak kembali mereka rasakan. Selama di mobil tahanan menuju pengadilan, perasaan 10 orang ini tak keruan. Bukan memikirkan sidang, tapi menahan isi perut yang ingin moncrot.

Begitu sampai di pengadilan, Anto turun dari mobil, berlari mendahului para pengawal dan rekan-rekannya. Ia langsung ke kakus, setor, dan bergumam, "Segarrr…." Belum lama menikmati "kebebasan", terdengar rekan-rekannya berteriak dari luar. "To, cepat To, saya juga sudah tak tahan, ini sudah di lubang pantat...," teriak seorang rekannya, Aco. Setelah drama sebabak itu berakhir, sidang dimulai dengan bau balsem bercampur aroma tokai.

Bayangkan, kalau isi perut Anto dan kawan-kawan tumpah di depan para hakim dan jaksa, ada harapan mereka dituduh melecehkan pengadilan. Kalau ini "terbukti", hukumannya pasti bertambah berat.

Darlis Muhammad (Palu), Sohirin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus