Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Anda, maksimalkah usaha pemerintah dalam mengantisipasi kerusuhan di Ambon? (30 April - 07 Mei 2004 | ||
Ya | ||
6.75% | 28 | |
Tidak | ||
88,43% | 367 | |
Tidak tahu | ||
4,82% | 20 | |
Total | 100% | 934 |
Awal Mei, Ambon berangsur pulih. Pegawai yang masuk kantor semakin banyak. Lalu-lalang kendaraan semakin padat dan kota mulai beranjak ramai. Kota ini kembali menggeliat setelah lagi-lagi muncul kerusuhan di beberapa tempat, menyusul peringatan ulang tahun Republik Maluku Selatan di Ambon pada 25 April lalu.
Banyak orang yang terhenyak dengan insiden ini. Sebab, setelah pecah kerusuhan pada 1999, masyarakat Ambon dan Maluku sebenarnya sudah menikmati kedamaian. Dua komunitas sudah mulai membaur seperti sediakala. Pemerintah juga mencabut status darurat sipil pada September 2003.
Kerusuhan terbaru ini membuat iklim damai terkoyak. Tak kurang puluhan korban meninggal dunia. Sedangkan korban luka-luka, yang sebagian besar akibat timah panas yang diduga berasal dari para penembak gelap, mencapai ratusan. Belum lagi ratusan ribu jiwa yang kembali menjadi pengungsi.
Banyak kalangan menduga insiden ini dipicu oleh sikap polisi yang mengarak pendukung RMS dari Kudamati ke Polda Maluku. Tak mengherankan jika responden yang mengikuti polling ini menilai pemerintah tidak maksimal mengantisipasi peristiwa tahunan ini. ”Kebijakan pemerintah kita yang terkait dengan kasus Ambon sangat tidak adil dan lamban. Kenapa sudah tahu akan adanya HUT RMS, polisi tidak bisa mengantisipasinya?” kata Dodo, responden asal Cirebon, Jawa Barat.
Polisi memang bereaksi cepat. Kapolri lantas mencopot Kapolda Maluku. Namun, yang terpenting kemudian adalah mencegah agar kerusuhan tak meluas dan segera mengembalikan kedamaian di daerah bergolak ini. Jangan sampai peristiwa penembakan di Pulau Buru, 5 Mei lalu, merayap pelan ke daratan lainnya.
Indikator Pekan Ini: Kabar yang sudah santer terdengar itu akhirnya menjadi jelas. Ketua Umum Pengurus Besar NU, K.H. Hasyim Muzadi, resmi menjadi calon wakil presiden dalam pemilihan umum presiden, mendampingi Megawati Soekarnoputri. Pencalonan itu dideklarasikan di Jakarta pada 6 Mei lalu. Hanya, Hasyim mengaku tidak akan mundur dari jabatannya di PBNU. Tentu saja, sikap ini mengundang kritik dan kecaman. Cendekiawan Nurcholish Madjid menilai sikap ini jelas bertentangan dengan semangat NU yang ingin kembali ke khitah. ”Suatu ironi besar jika ketua umumnya melanggar khitah itu,” kata Cak Nur. Menurut Anda, perlukah Hasyim Muzadi mundur dari jabatannya sebagai Ketua PBNU? Maksimalkah? Kami tunggu pendapat Anda di www.tempointeraktif.com |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo