Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA April 2002, majalah Tempo menulis soal Pantai Indah Kapuk. Inilah perumahan di Jakarta Utara yang banyak dituding sebagai penyebab banjir di sebagian ruas jalan tol menuju Bandara Soekarno-Hatta. Ditulis dalam rubrik Investigasi, artikel itu dibuka dengan judul menyentak: ”Janji-janji Ciputra”.
Dibangun pada 1992, Pantai Indah Kapuk merupakan wujud mimpi besar sang taipan. Di lahan 830 hektare di dekat laut itu, rencananya akan dibangun 10 ribu rumah mewah, 10 hotel, 10 gedung perkantoran, 10 kondominium, 1.000 apartemen, serta lapangan golf, taman laut, marina, dan hutan lindung.
Agar tak mendatangkan banjir—karena dibangun sebagian di atas hutan lindung dan kawasan yang mestinya tanpa bangunan—manajemen Pantai Indah Kapuk mendatangkan konsultan dari Belanda. Pompa-pompa penyedot dipasang untuk menguras genangan jika musim hujan tiba.
Habitat satwa akan diperbaiki. Sanctuary burung-burung akan dibangun, juga danau untuk ikan air payau. Hutan lindung tak bakal dirusak, malah diperluas hingga 100 hektare—dua kali luas sebelumnya. Di awal tulisan dikutiplah janji Ciputra itu:
”Monyet tak akan berkurang. Saya akan lebih banyak menanam bakau, ketapang.... Jika kelak kerusakan lingkungan terbukti, saya siap dihadapkan ke meja hijau. Saya mempertaruhkan segalanya: nama baik, moral, bank guarantee.”
Investigasi Tempo menunjukkan janji itu hampa belaka. Banjir menggenangi jalan tol beberapa tahun setelah Pantai Indah Kapuk dibangun. Beton-beton penahan ombak memang menyuburkan bakau di muara sungai. Tapi, akibatnya, mulut muara jadi menyempit hingga menahan air yang mestinya meluncur ke laut.
Dimintai konfirmasi, Ciputra tutup mulut. ”Tanya saja Budi Nurwono,” katanya. Budi adalah Direktur PT Mandara Permai, pengelola Pantai Indah Kapuk. Tak menyerah, tim investigasi Tempo kembali mengirim seorang reporter untuk menemui ”Pak Ci”—demikian Ciputra biasa disapa. Kali ini, ia mau sedikit ngomong.
Wawancara itu menjadi penutup liputan investigasi. Redaktur Arif Zulkifli menuliskan wawancara satu halaman itu. Artikel disunting oleh Dwi Setyo Irawanto, ketika itu redaktur pelaksana. Oleh Dwi Setyo, pengantar wawancara diperbaiki. Di belakang nama Ciputra ditambahi keterangan: komisaris PT Tempo Inti Media (penerbit majalah ini).
Penggarapan proyek investigasi Pantai Indah Kapuk melaju zonder kendala—meski melibatkan komisaris Tempo sendiri. ”Tak ada intervensi sama sekali,” kata Arif Zulkifli, kini redaktur eksekutif. Keputusan menambahkan kalimat ”komisaris PT Tempo Inti Media (penerbit majalah ini)” di belakang nama Ciputra diambil tanpa sempritan manajemen.
Ada kabar, setelah artikel itu terbit, selama beberapa lama Ciputra tak muncul di rapat komisaris. Untuk pertama kali, Ciputra juga tak nongol dalam perayaan ulang tahun Tempo—sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Ia ngambek. ”Ya, ketika itu saya memang kesal,” katanya. ”Kesal kepada Tempo, anak saya sendiri.”
AKAR independensi Tempo bisa dilacak dalam pengantar edisi pertama Tempo, Maret 1971. Ketika itu, Goenawan Mohamad menulis:
Asas jurnalisme kami bukanlah asas jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya bahwa kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya bahwa tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melengkapinya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme majalah ini bukanlah jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba.
Menjalankan prinsip itu, Tempo rebah-bangun. Di era Orde Baru—masa paling sulit bagi pers yang mencoba kritis dan tak memihak—kesulitan bersikap independen dialami karena pers diperintahkan menulis cerita versi pemerintah. Fakta sebenarnya, jika merugikan penguasa, tak boleh muncul.
Pelbagai cara dilakukan Tempo untuk mengatasi itu. Janet Steele, guru besar Universitas George Washington, Amerika Serikat, yang pernah meneliti Tempo, menulis bahwa salah satu caranya adalah menggunakan kata ”konon” sebagai ganti ”it is reported”. Kata ini memang mengaburkan fakta yang sebenarnya, tapi setidaknya tak menghapus fakta itu sama sekali. ”Konon” juga berperan dalam melindungi narasumber.
Independensi juga diterapkan ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden. Bertahun-tahun menjadi kolumnis tetap majalah Tempo—makan, minum, bermalam, dan berkelakar bersama—ketika jadi presiden, Gus Dur tak lepas dari kritik keras majalah ini. Tiga kali Tempo menurunkan laporan utama yang mengkritik Gus Dur, yang ketika itu dituding terlibat skandal Bulog. Tapi, alih-alih berang, Gus Dur malah hadir dalam resepsi temu kolumnis sekaligus peluncuran buku Melawan Melalui Lelucon: Kumpulan Kolom Abdurrahman Wahid di Tempo.
BENARKAH Tempo tak memihak? Sebetulnya tidak juga. Dalam sejumlah isu, pemihakan Tempo terlihat jelas. Katakanlah soal Ahmadiyah. Dalam isu yang satu ini, Tempo menganggap semua warga negara berhak memilih keyakinannya. Karena itu, meski sebagian umat Islam menyatakan Ahmadiyah sesat dan dianjurkan keluar dari Islam—karena mengakui ada nabi selain Muhammad—Tempo konsisten menyatakan Ahmadiyah berhak menyebut diri sebagai bagian dari Islam.
Pembelaan yang sama dilakukan terhadap Lia Eden, bekas perancang bunga yang belakangan menyatakan diri sebagai Bunda Maria dan Malaikat Jibril. Dalam rapat redaksi ketika kasus Lia Eden muncul, beberapa awak redaksi mempertanyakan bagaimana menyikapi ”absurditas” agama Lia ini. ”Saya ingat,” kata Arif Zulkifli, ”kami memutuskan membela Lia bukan karena keyakinannya, tapi karena kami percaya bahwa setiap orang punya hak untuk punya keyakinan.”
Salah satu institusi yang membahas sikap Tempo itu adalah Rapat Opini. Itu adalah pertemuan para redaktur, dari anggota magang redaktur pelaksana (biasa disebut M3) hingga pemimpin redaksi. Juga hadir jajaran redaktur senior dan konsultan ahli. Sesekali kami mengundang ahli politik atau ekonomi.
Digelar tiap Rabu siang, dalam rapat itulah setiap argumen diuji. Yang salah juga bisa dikoreksi. Sebutlah misalnya polemik soal gaji Presiden. Dalam satu kesempatan, Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan telah tujuh tahun tak naik gaji. Pidato itu kemudian mengundang kritik. Presiden dianggap tak sensitif karena minta naik gaji. Sejumlah politikus DPR membuat aksi mengumpulkan koin untuk Presiden.
Dalam Rapat Opini, isu ini dibahas. Tak benar bahwa Presiden minta naik gaji karena faktanya ia hanya menyebutkan gajinya sudah tujuh tahun tak naik. Mengkritik Presiden boleh-boleh saja. Tapi, soal aksi ”Koin untuk Presiden”, Tempo menilai itu menghina institusi Kepala Negara.
Pilihan sikap ini tak membuat Tempo lunak kepada pemerintah. Dalam isu kekerasan kepada warga Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, posisi Tempo adalah menggugat pemerintah yang tak memberikan perlindungan kepada kelompok minoritas itu—sesuatu yang sesungguhnya diamanatkan konstitusi.
Dalam artikel Opini berjudul ”Ahmadiyah tanpa Negara”, majalah Tempo edisi 14-20 Februari 2011 menulis: Pemerintah Yudhoyono tak boleh mengorbankan konstitusi demi kepentingan politik praktisnya. Selain menindak tegas pelaku pembunuhan di Cikeusik, Presiden harus memastikan kabinetnya sanggup menjamin hak kaum minoritas seperti Jemaat Ahmadiyah.
Tulisan itu ditutup dengan semacam rasa geram: Bila seorang presiden sudah tak sanggup menghormati konstitusi negerinya, sekuat-kuatnya rakyat perlu mengupayakan impeachment baginya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo