Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SURAT Syafei itu berjudul ”Kehilangan Rubrik Investigasi” (Tempo, 11 Mei 1999). Begini petikannya: ”Sungguh sangat mengasyikkan membaca rubrik Investigasi Tempo. Betapa tidak, Tempo, misalnya, pernah menurunkan tulisan tentang para cuak di Aceh yang dihabisi ’makhluk misterius’. Tak kalah serunya adalah cerita seputar sejumlah konglomerat bagi-bagi duit tabungan dan asuransi pegawai negeri alias Taspen.”
Ia pun berharap bila Tempo betul-betul ingin ”tak sekadar kembali”, sebaiknya, setiap edisi, Investigasi selalu hadir. ”Tolong pula Investigasi Tempo dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku.” Begitulah harapan Syafei, warga Membalong, Belitung.
Karena kami yakin banyak pembaca lain yang berkeinginan sama, tahun itu juga, Pusat Data dan Analisis Tempo menerbitkan buku kumpulan investigasi. Judul besarnya: Dari Skandal ke Skandal. Namun permintaan agar Investigasi terbit tiap bulan tak selalu dapat dipenuhi. Pada periode 1999-2010 akhir, Tempo menerbitkan sekitar 110 investigasi atau rata-rata satu setengah bulan sekali. Inilah sebagian Investigasi Tempo pascabredel kedua itu, yang merentang dari urusan dukun santet hingga Ferrari Pak Dubes.
Anatomi Kolusi Bob Hasan dan Cendana
Edisi: 3 Mei 1999
Bertahun-tahun menjadi simbol kesaktian bisnis, nama Bob Hasan kini menjadi ”kartu mati”. Bob Hasan adalah kisah bagaimana bisnis dan politik berselingkuh melahirkan anak haram yang paradoksal: kekaisaran bisnis yang begitu digdaya sekaligus begitu rapuh.
Tomy Winata: Anatomi Kolusi Pengusaha-Militer
Edisi: 6 Juni 1999
Taipan muda dan digdaya. Konglomerasi bisnisnya meluas pesat. Namun benarkah suksesnya itu berkat kedekatannya dengan sejumlah tokoh militer dan Keluarga Cendana? Betulkah ia salah satu tokoh ”Gang of Nine”—sekelompok orang yang menguasai bisnis remang-remang: dari judi, obat bius, hingga penyelundupan? Dan, setelah rezim berganti kini, sampai kapan dia bisa bertahan?
Menyingkap Tragedi 27 Juli
Edisi: 1 Agustus 1999
Kebrutalan dalam pengambilalihan kantor DPP PDI serta kerusuhan massa sesudahnya tak bisa dipisahkan dari format politik Orde Baru, yang melafalkan permainan ”menang-kalah” (zero-sum game) secara sempurna. Dan siapa nyana, itu justru menjadi awal kebangkrutan rezim Soeharto serta kemenangan bagi Megawati Soekarnoputri. Sebuah pelajaran sejarah yang penting.
BPPN: Raksasa dalam Labirin
Edisi: 26 September 1999
Badan Penyehatan Perbankan Nasional diharapkan menjadi dokter bedah bagi krisis moneter. Alih-alih menyembuhkan, ia ikut memuluskan penjarahan uang rakyat dan meludeskan kepercayaan terhadap kemampuan negeri ini untuk keluar dari kemelut ekonomi.
Skandal Kim Johanes Mulia
Edisi: 7 November 1999
Era Orde Baru adalah saat para petualang kerah putih lelap dalam bahagia. Kim Johanes Mulia Jiauw merupakan contoh telak betapa hukum bengkok dan hanya menuruti selera yang beruang dan berkuasa. Bagaimana pola bisnis pengusaha yang selalu punya cantolan pada orang istana kepresidenan ini?
Menghitung Rugi Setelah Megainvestasi
Edisi: 27 Februari 2000
Dua miliar dolar lebih ditanam di Balongan, sepuluh tahun silam, dengan sebuah cita-cita megah tentang ekspor minyak yang menjanjikan laba dan kemakmuran. Nyatanya, proyek ini justru menjadi sumber markup dan korupsi.
Melacak Jejak Pesta Rp 164 Triliun
Edisi: 19 Maret 2000
Penanganan skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia belum juga menampakkan titik terang, sedangkan jejak-jejak penyelewengan para bankir sudah kian terhapus.
Rajin Itu Pangkal Bodoh
Edisi: 5 November 2000
Buku-buku pelajaran dari pemerintah mengandung banyak kesalahan, dikerjakan dengan serampangan, bermutu rendah, dan menularkan cacat pengetahuan yang serius. Sekitar 12 juta murid sekolah lanjutan tingkat pertama—terutama yang miskin—menjadi korbannya. Padahal buku itu diterbitkan dengan biaya dari pinjaman Bank Dunia dan anggaran negara senilai Rp 1,4 triliun.
Dewa Penyembuh Haus Komisi
Edisi: 8 April 2001
Harga obat jadi sangat mahal, sebagian karena praktek kolusi pabrik farmasi dengan para dokter. Para pejabat berwenang mengaku tak bisa berbuat karena kesulitan memperoleh bukti. Bukti? Investigasi ini memperoleh sejumlah bukti itu.
Prajogo Pangestu dan Hutan Kita
Edisi: 17 Juni 2001
Konglomerat kayu Prajogo Pangestu akhirnya resmi berstatus tersangka dalam kasus dugaan penyelewengan dana reboisasi oleh PT Musi Hutan Persada miliknya. Tempo memperoleh sejumlah dokumen yang menunjukkan ketidakberesan bisnis perusahaan tersebut.
Jual Pasir Jual Tanah Air
Edisi: 14 Oktober 2001
Pasir laut adalah berkah sekaligus tragedi terbesar bagi Kepulauan Riau. Setengah tahun ini saja nilai pasir yang dikirim ke Singapura mencapai sekitar Rp 47 triliun—hampir 19 kali lipat anggaran belanja daerah itu. Diduga negara dirugikan Rp 2 triliun per tahun. Ini benar-benar usaha menjual Tanah Air dengan sistematis.
PIK: Janji-janji Kosong Ciputra
Edisi: 7 April 2002
Proyek Pantai Indah Kapuk (PIK) meluncur dengan garansi tak akan merusak lingkungan. Ciputra, penggagas dan pemilik proyek PIK, menjanjikan lahan pengganti dan pembangunan hutan lindung. Tapi, setelah hampir 20 tahun, janji-janji itu tidak dipenuhi. PIK adalah contoh bagaimana uang, ambisi, dan kekuasaan bersekutu di zaman Orde Baru.
Jika Pangeran Cendana Pelesir ke Cipinang
Edisi: 12 Mei 2002
Tommy Soeharto tahu betul apa artinya uang di negeri korup seperti Indonesia. Dengan uang yang dikeruk dari bisnis makmur semasa ayahnya berkuasa, dia bisa membeli hampir apa saja. Kenyamanan penjara, keadilan, dan loyalitas.
Kayu Haram dari Jantung Kalimantan
Edisi:27 Oktober 2002
Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah—salah satu kawasan hutan konservasi yang paling luas di Indonesia—terancam punah. Jutaan kubik kayu langka dicuri dari situ dan diperdagangkan secara ilegal. Bisnis haram ini berbiak secepat penyakit menular, sekaligus melahirkan seorang ”raja lokal” yang mampu membuat gemetar penebang liar hingga pejabat tertinggi di provinsi itu. ”Raja lokal” itu bernama Abdul Rasyid, seorang anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Fraksi Utusan Daerah.
Harmoko pada Suatu Masa
Edisi: 19 Januari 2003
Melejit dari seorang kartunis menjadi Ketua MPR, Harmoko adalah cerita tentang sukses. Sebagai Menteri Penerangan paling lama dalam kabinet Soeharto, dia punya wewenang luar biasa: menentukan hidup-mati media, menjadi tempat bergantung nasib puluhan ribu pekerja pers, dan mengontrol pemberitaan. Harmoko naik bersama Soeharto. Tapi dia terbukti lebih mahir menghadapi zaman ketimbang sang Patriarki. Soeharto runtuh, Orde Baru ambruk, para pejabatnya bergantian diseret ke pengadilan. Tapi tidak Harmoko.
Kaharudin Ongko: Di Antara Utang dan Doa
Edisi: 20 April 2003
Kaharudin Ongko adalah potret sempurna konglomerat negeri ini. Menjadikan banknya sebagai sapi perah, berutang triliunan rupiah ke negara, kabur tak berbekas, dan diam-diam membeli kembali asetnya dengan harga supermurah.
Dijual Orok Indonesia
Edisi: 29 Juni 2003
Di perbatasan Kalimantan-Sarawak, Malaysia, bayi-bayi Indonesia diselundupkan dan diperdagangkan. Kasusnya makin merebak. Modusnya pun kian menggila. Di rumah-rumah penampungan yang dijaga ketat, sejumlah tenaga kerja wanita disekap dalam keadaan hamil. Di sana mereka ”dibiakkan”. Secara paksa, bayi mereka direnggut dan dijual seharga ribuan ringgit.
Manipulasi di Jalur Ibadah
Edisi: 29 Februari 2004
Seberkas dokumen dikirim oleh Badan Pemeriksa Keuangan ke Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat—yang membidangi agama dan sumber daya manusia—beberapa pekan silam. Isinya adalah hasil audit BPK terhadap penyelenggaraan haji 2003 oleh Departemen Agama. Terjun dari nilai penyimpangan Rp 105 miliar (2001) dan Rp 165 miliar (2002), hasil audit itu mencatat sebuah ”prestasi”: angka penyelewengan pada musim haji 2003 ”cuma” Rp 27,09 miliar. Benarkah?
Tersandung Ladia Galaska
Edisi: 15 Agustus 2004
Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam saat itu, Abdullah Puteh, menjadi ”bintang” media massa nasional selama berpekan-pekan. Namanya dikaitkan dengan kasus korupsi pembelian helikopter dan genset bagi Provinsi Nanggroe Aceh. Komisi Pemberantasan Korupsi bahkan telah menetapkan Puteh sebagai tersangka kasus helikopter. Dan kini, isu Ladia Galaska datang menerpanya.
Memuntir Harga Minyak Impor
Edisi: 27 Maret 2005
Impor bahan bakar minyak ternyata mudah dimanipulasi: beli dengan harga Premium, jual dengan harga Pertamax. Berapa keuntungan yang bisa didulang pengusaha nakal dari praktek curang ini?
Anggaran Kembung PLN Jakarta
Edisi: 31 Juli 2005
Perusahaan Listrik Negara tersandung lagi. Audit internal oleh Satuan Pengawas Internal PLN menemukan dua kejanggalan dalam proyek pengendalian sistem informasi pelanggan di Jakarta dan Tangerang: ada kelemahan prosedur serta menimbulkan kerugian negara. Bernilai Rp 137 miliar, proyek Customer Information System ini diberikan—tanpa melalui tender—kepada PT Netway Utama. Bagaimana cerita di balik kejanggalan prosedur serta kerugian negara dalam proyek tersebut?
Akal Busyukus di Kemayoran
Edisi: 23 April 2006
Terlunta-lunta hampir tiga tahun, rencana pendirian Kota Baru Bandar Kemayoran adalah mimpi kosong yang dilambungkan pengusaha minim modal yang berselingkuh dengan kekuasaan. Bekas pejabat Sekretaris Negara dan putra mantan presiden ditengarai terlibat. Sebagai sapi perah dipilih Dana Pensiun Perkebunan—perusahaan yang dibangun di atas tetes keringat buruh kecil. Inilah kisah patgulipat bisnis yang licin dan berliku. Setiap pemain adalah Akal Busyukus—tokoh antagonis dalam komik Asterix yang terkenal itu.
Udin 1996-2006
Edisi: 3 September 2006
Sepuluh tahun berlalu dan cerita ini nyaris jadi barang lapuk. Wartawan Bernas, Fuad Mohammad Syafruddin, dibunuh dan pelakunya hingga kini bebas berkeliaran. Lebih dari sekadar peristiwa kriminal biasa, inilah cerita tentang politik tingkat tinggi. Pertarungan kepentingan antara Kepala Kepolisian RI dan Jaksa Agung; antara Panglima Kodam dan Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo.
Pejabat di Puncak, Banjir di Jakarta
Edisi: 27 Mei 2007
Di Bukit Citamiang, Puncak, mereka membangun pesanggrahan berstandar bintang lima: ada mantan pejabat, pengusaha, dan—terbanyak—para jenderal. Rumah-rumah rehat itu ternyata ditegakkan dengan menabrak aturan.
Curang di Tender Borang
Edisi: 14 Oktober 2007
Setumpuk dokumen menunjukkan ada sejumlah kejanggalan di balik tender pengadaan turbin pembangkit listrik Borang, Sumatera Selatan, tiga tahun lalu. Audit investigatif Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menyimpulkan negara dirugikan Rp 24 miliar. Siapa yang terlibat?
Jejaring Pungli di KBRI
Edisi: 9 Desember 2007
Lebih dari Rp 40 miliar dana pungutan liar pengurusan dokumen keimigrasian mengalir ke kantong para pejabat teras Kedutaan Besar RI di Malaysia. Mantan Kepala Polri dan bekas Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Rusdihardjo, ditengarai terlibat.
Zatapi dengan Sejumlah Tapi
Edisi: 30 Maret 2008
Zatapi sedang naik daun. Produk minyak mentah impor milik Gold Manor itu kini membuat Direksi Pertamina digempur. Setumpuk dokumen mengindikasikan sederet prosedur tender impor dilanggar. Penelusuran lapangan Tempo dari Cilacap hingga Singapura mengurai mata rantai para ”saudagar” minyak di balik perusahaan berbasis di British Virgin Islands itu.
Ferrari Tak Mampir di Thamrin
Edisi: 10 Agustus 2008
Berselubung fasilitas diplomatik, mobil-mobil supermewah—Bentley, Ferrari, Maserati, dan Rolls-Royce Phantom—diimpor tanpa pajak dan bea masuk selama berbilang tahun. Negara diperkirakan rugi Rp 248 miliar dalam lima tahun terakhir. Sejumlah pihak diduga terlibat: dari pejabat Departemen Luar Negeri, Departemen Keuangan, 33 kedutaan besar di Jakarta, dan seorang importir, Ali Muhamad.
Lambang dalam Pusaran Mafia Purbakala
Edisi: 5 Oktober 2008
Arkeolog Lambang Babar Purnomo tewas di selokan jalan lingkar luar utara Yogyakarta pada sebuah subuh di bulan Februari. Kematian pria 56 tahun itu memantik banyak pertanyaan. Ketika itu, Lambang sedang getol membongkar jaringan pencurian benda-benda purbakala, mulai fosil situs Sangiran sampai koleksi Museum Radya Pustaka, Surakarta. Para runner—makelar barang-barang kuno—ditengarai berada di balik pembunuhan itu.
Akal-akalan Biaya Admin Listrik
Edisi: 22 Maret 2009
Biaya administrasi pada pembayaran tagihan listrik online ditengarai penuh akal-akalan. Kutipan yang dimulai pada 2000 itu melabrak banyak aturan. Uang pelanggan Rp 42,5 miliar per bulan—setengah triliun rupiah per tahun—diduga jadi bancakan yayasan dan mitra PLN.
Panen Musim Gugur
Edisi: 17 Mei 2009
Aborsi ilegal menemukan lahan subur di Jakarta. Setiap tahun, sekitar 100 klinik gelap melayani 100 ribuan klien yang hendak melepas janin. Bisnis ini memutar duit hingga Rp 200 miliar per tahun: setara dengan penerimaan semua badan layanan kesehatan umum Jakarta Raya. Rantai kegiatannya bergerak dari bidan kampung hingga dokter ahli, dan melibatkan aparat keamanan.
Cara Asyik Menikmati Penjara
Edisi: 11 Januari 2010
Dari ketinggian gedung sebelah, kegiatan sehari-hari Artalyta Suryani bisa jelas terpantau. Pagi-pagi pengusaha 47 tahun asal Lampung itu mulai berkantor. Sopir sekaligus asisten pribadi, juga beberapa pelayan, siap menjalankan perintah. Bayi sepuluh bulan yang ia adopsi, dirawat seorang pengasuh, menemani sepanjang hari. Ini bukan di lantai 11 Wisma Sudirman, Jakarta, lokasi kantor beberapa perusahaan terpidana lima tahun dalam kasus penyuapan jaksa Urip Tri Gunawan itu. Ini Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Mafia di Gerbang KPK
Edisi: 14 Maret 2010
Ini kisah tentang sejumlah makelar perkara yang berupaya melilit para tersangka—bahkan calon tersangka—KPK. Mereka giat menebar janji bahwa kebebasan bisa diperjualbelikan bahkan di sebuah benteng antikorupsi. Bermodal info sahih hasil penyidikan, mereka menawarkan bantuan bertarif hingga Rp 20 miliar.
Rekening Gendut Perwira Polisi
Edisi: 4 Juli 2010
Sejumlah perwira tinggi polisi dilaporkan melakukan transaksi keuangan yang mencurigakan. Berasal dari sumber tak jelas, puluhan miliar digelontorkan ke rekening mereka. Ada yang menyetor kepada anak atau ajudan.
Tafsir Hibah Hadi Poernomo
Edisi: 27 Juni 2010
Tiga puluh enam tahun berkarier di Direktorat Jenderal Pajak, Hadi Poernomo mengumpulkan kekayaan sekitar Rp 38 miliar—lebih dari empat kali kekayaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dilaporkan ke KPK. Sebagian besar harta itu dilaporkan berasal dari hibah—hadiah pernikahan serta pemberian orang tua dan mertua—atas nama istrinya. Investigasi Tempo menemukan nilai aset Ketua BPK itu sejatinya jauh lebih besar. Harta ini tak tercantum dalam laporan kekayaan yang disetorkan Hadi ke KPK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo