Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di Bawah Bayang-bayang Panglima Besar

Soedirman menginspirasi politik militer. Mengamanatkan disiplin hidup, bukan kadaver.

12 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI bawah limasan yang disangga sepuluh tiang itu terbujur makam sang Panglima Besar. Terletak di bagian belakang Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Semaki, Yogyakarta, bukan hanya peristirahatan terakhir Jenderal Soedirman yang dinaungi atap. Juga dua makam di sebelah kanannya, Jenderal Oerip Soemohardjo serta Menteri Pembangunan dan Pemuda Kabinet Mohammad Hatta, Soepeno. Tepat di samping kiri Soedirman terbaring Siti Alfiah, sang istri.

Jenderal Oerip, Kepala Staf Umum Angkatan Perang Republik Indonesia pertama, yang paling awal disemayamkan di Semaki. Ia wafat pada 17 November 1948 dalam usia 55 tahun. Dua tahun kemudian, Pak Dirman, yang wafat pada 29 Januari 1950, dikebumikan di sana. Makam Soepeno dipindahkan dari Nganjuk, Jawa Timur, ke Semaki setahun setelah ia tewas dieksekusi Belanda pada 24 Februari 1949. Pada nisan Siti Alfiah tertulis ia wafat pada 22 Agustus 1997.

Bertahun-tahun setelah Soedirman berpulang, para peziarah terus mendatangi makam. Dari pihak keluarga, yang rutin menyekar adalah Muhammad Teguh, putra bungsu Soedirman. "Tiap Selasa Kliwon, sebulan sekali, Pak Teguh ke sini untuk berdoa," kata Haryadi, salah seorang penjaga makam. Yang juga rutin menyambangi makam Soedirman—dan Oerip—adalah anggota TNI. Menurut Haryadi, sejumlah perwira setidaknya menyadran saban 5 Oktober—Hari TNI.

Puluhan tahun lalu, kedua makam itu menjadi lokasi perdamaian dua kubu tentara Angkatan Darat. Terbelah sejak Peristiwa 17 Oktober 1952, TNI menyelenggarakan konferensi di Yogyakarta. Pertemuan dimulai pada 17 Februari 1955, dihadiri 280 perwira. Di akhir pertemuan pada 25 Februari, yang dihadiri Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, mereka berziarah ke makam Soedirman dan Oerip.

Dalam bukunya, Perkembangan Militer­ dalam Politik Indonesia 1945-1966, Yahya A. Muhaimin menulis, di makam itu para perwira bersumpah setia. Kelak, hasil persamuhan di Yogyakarta dikenal dengan sebutan "Piagam Yogya" atau "Piagam Kewuhan Angkatan Darat". Isinya, antara­ lain, menyatakan bahwa tentara akan mempertahankan persatuan dan profesionalisme, serta tak akan membiarkan politik merongrong militer. Peristiwa 17 Oktober 1952 yang memecah mereka dianggap tak pernah ada.

Peristiwa 17 Oktober bermula dari rencana pemimpin tentara, terutama dua perwira yang pernah mengecap pendidikan militer Belanda, Kepala Staf Angkatan Darat Kolonel Abdul Haris Nasution, dan Kepala Staf Angkatan Perang RI Kolonel T.B. Simatupang, untuk membentuk tentara yang profesional. Lantaran anggaran terbatas, Angkatan Darat memutuskan mengurangi jumlah personel. Demobilisasi rencananya dilakukan hingga akhir 1953, sehingga jumlah tentara tinggal 120 ribu dari 200 ribu.

Namun rencana Nasution dan Simatupang ditentang sejumlah tentara, terutama perwira bekas Pembela Tanah Air (Peta) dan laskar. Pada awal Juli 1952, se­orang perwira bekas Peta bernama Kolonel Bambang Supeno mendesak Sukarno agar Nasution diganti. Supeno adalah bekas Ketua Akademi Militer Candradimuka di Bandung, yang ditutup Nasution. Setelah menemui Presiden, Supeno menyurati Menteri Pertahanan dan parlemen, yang menyatakan ia tak percaya kepada pemimpin Angkatan Darat.

Pada 17 Juli, Nasution memecat Supeno. Namun surat Supeno telanjur diterima parlemen, yang kemudian menggelar serangkaian rapat untuk membahas persoalan di tubuh Angkatan Darat. Bola liar akhirnya mengarah pada usul bahwa parlemen bisa meminta pemerintah mengganti pemimpin militer. Campur tangan yang terlalu jauh ini membuat kesal pimpinan Angkatan Darat. Pada 17 Oktober 1952, tentara memobilisasi rakyat untuk berunjuk rasa di depan Istana, meminta Presiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara.

Sukarno menggambarkan suasana pagi itu dalam buku otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, karya Cindy Adams: "Dua buah tank, empat kendaraan lapis baja, dan ribuan orang menyerbu memasuki gerbang Istana Merdeka. Mereka membawa poster-poster 'bubarkan parlemen'. Satu batalyon artileri dengan empat buah meriam memasuki lapangan keliling istana. Meriam-meriam 25 pounder dihadapkan kepadaku...."

Bukan parlemen yang bubar, justru Nasution yang terlempar dari jabatannya. Pada 5 Desember 1952, ia diberhentikan. Ia juga diperiksa Kejaksaan Agung atas peristiwa "setengah kudeta" tadi. Kursi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) yang lowong diduduki Kolonel Bambang Sugeng, perwira eks Peta, yang sebelumnya dinonaktifkan Nasution dari Komandan Teritorium Jawa Timur. Sejumlah perwira "pro-17 Oktober", di antaranya Wakil KSAD Letnan Kolonel Soetoko dan Komandan Teritorium Indonesia Timur Kolonel Gatot Soebroto, juga dicopot.

Selama masa nonaktif dari militer, pada 1952-1955, Nasution banyak menghabiskan waktu untuk menulis. Buah pikirannya kemudian ikut menentukan politik militer, bahkan sejarah politik Indonesia. Nasution berkaca pada pengalaman Soedirman yang berpolitik. "Beliau selalu mengambil bagian dalam pertemuan-pertemuan pemerintah maupun pihak oposisi," Nasution menulis. Karena itu, Nasution berpendapat, tentara tak bisa menghindari politik.

Menurut pengamat militer Salim Said, Nasution juga menyaksikan bagaimana Soedirman menolak perintah Presiden (Sukarno) untuk tetap berada di Yogyakarta ketika kota itu hampir jatuh ke tangan Belanda pada 1948. "Pak Dirman mengamanatkan tentara disiplin hidup, bukan disiplin mati," kata Said. Maksudnya, kesetiaan utama tentara adalah kepada negara. Tentara bisa tak menaati perintah pemimpin politik yang dinilai keliru.

Gagasan Nasution diterapkan setelah ia resmi kembali menjabat KSAD pada 7 November 1955—sembilan bulan setelah islah para perwira Angkatan Darat di makam Pak Dirman. Meski begitu, upayanya tak mulus. Tentara baru betul-betul leluasa berpolitik setelah Sukarno menerbitkan Dekrit 5 Juli 1959, yang memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Ini sesuai dengan keinginan Nasution, yang pada masa nonaktif dari militer melihat kekacauan politik disebabkan oleh ditinggalkannya UUD 1945.

Sebelum itu terjadi, islah di makam Soedirman ternyata hanya sesaat meredakan perselisihan para perwira. Awal Mei 1955, Bambang Sugeng meminta berhenti dari jabatannya. Pemerintah kemudian mengangkat Kolonel Bambang Utojo sebagai pengganti Bambang Sugeng, yang ditolak sejumlah perwira, termasuk oleh Wakil KSAD Kolonel Zulkifli Lubis—perwira dari kelompok "anti-17 Oktober". Pada akhir Oktober 1955, pemerintah akhirnya menunjuk Nasution sebagai KSAD.

Pengangkatan kembali Nasution tak langsung mendinginkan pertikaian. Sejumlah perwira membangkang ketika hendak digeser dari posisinya. Pertikaian Nasution dengan Zulkifli Lubis semakin runcing. Situasi bertambah pelik ketika beberapa perwira membentuk dewan militer di daerah-daerah pada 1956. Di Sumatera Barat, misalnya, Letnan Kolonel Ahmad Husein membentuk "Dewan Banteng". Di Sumatera Utara, Kolonel Simbolon mendirikan "Dewan Gajah". Pemberontakan baru betul-betul padam pada pertengahan 1958.

Selain sibuk menumpas pemberontak, Nasution memperjuangkan gagasannya bahwa tentara bisa berpolitik lewat Dewan Nasional, yang dibentuk pada 1957 dan diketuai presiden. Dewan ini beranggotakan para kepala staf angkatan, kepala kepolisian, dan Ketua Mahkamah Agung. Nasution menuntut kursi untuk tentara di parlemen dengan konsekuensi militer kehilangan hak pilih dalam pemilihan umum.

Dalam peringatan dies natalis Akademi Militer Nasional di Magelang pada 12 November 1958, Nasution berceramah bahwa TNI tidak bisa memainkan politik secara aktif, juga tak bisa hanya pasif. "Tentara akan mencari jalan tengah," katanya. Yah­ya Muhaimin kemudian meringkas pidato Nasution dalam bukunya. Ceramah itu dilaksanakan sembilan hari sebelum Dewan Nasional bersidang. Pada akhir sidang, Dewan akhirnya menyetujui TNI sebagai bagian dari golongan fungsional, yang kemudian dikenal sebagai golongan karya.

Sejak itu, hingga dwifungsi ABRI dicabut pada 2000, militer menjadi kekuatan politik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus