Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Iklan perusahaan telepon seluler itu muncul di mana-mana: televisi, koran, ataupun baliho di jalan raya. Seorang wanita cantik mengenakan kaus ketat bertulisan Rp 1 di bagian dada. Maksudnya tak lain, pelanggan cukup membayar Rp 1 untuk menikmati layanan telepon per detik. Kiat promosi itu cukup efektif karena pelanggan telepon di Indonesia peka tarif. Tak sedikit pelanggan yang segera pindah ke lain hati hanya gara-gara ada tawaran murah.
Tidak aneh jika perang tarif antaroperator seluler tidak pernah berhenti. Yang berubah adalah strateginya. Kini operator menggenjot turun tarif bicara antarpelanggan operator yang sama. Pendatang baru Smart Telecom, misalnya, menawarkan layanan bicara gratis antarsesama pengguna jasa telepon milik Grup Sinar Mas itu. Ada pula operator seperti Hutchison CP Telecommunications dengan merek Three, yang merayu konsumen dengan tawaran SMS gratis.
Perlombaan tarif murah itu dimulai ketika Bakrie Telecom mengeluarkan Esia dan menggebrak dengan promosi talktime. Fren milik Mobile-8 Telecom mengajukan tawaran serupa. Three tak mau kalah dengan tawaran bebas menelepon 3x lipat. Tarif murah seakan menjadi mantra sakti para operator telepon untuk berekspansi mengail laba, dan konsumen pun makin tak mempedulikan perbedaan GSM dan CDMA.
Apalagi belakangan operator besar terpancing menjalankan taktik itu. Sejak September lalu, PT Excelcomindo Pratama-yang beriklan dengan gambar perempuan aduhai itu-menjual kartu bebas dengan tarif telepon Rp 1 per detik antarsesama pengguna XL. Tak mau kalah, operator terbesar PT Telkomsel juga mempromosikan Simpati Pe De dengan tarif Rp 0,5 per detik setelah menit pertama. Sekali lagi, ini hanya berlaku bagi percakapan sesama pelanggan Telkomsel.
Seberapa banyak pelanggan yang diraih berkat strategi tarif murah? Tengok saja Esia. Pada akhir 2006, pelanggan Esia baru 1,5 juta. Tak sampai setahun, akhir September lalu sudah 2,95 juta orang. Dus, terjadi pertumbuhan 96,7 persen. Angka itu jauh melampaui pertumbuhan pelanggan semua operator seluler. Secara keseluruhan, tahun ini pelanggan operator GSM bertambah 28,3 persen, sementara pengguna CDMA melonjak 51 persen dibanding angka akhir 2006.
Meroketnya jumlah pelanggan Esia membuat Erik Meijer berbunga-bunga. Toh, Deputi Presiden Direktur PT Bakrie Telecom itu masih menyimpan ambisi yang lebih besar. "Target kami tahun ini meraih 3,7 juta pelanggan, dan kami masih yakin bisa mencapainya," ujarnya.
Prospek bisnis telekomunikasi memang masih menggiurkan. Menurut Kepala Divisi Pemasaran Smart Telecom, Tom Alamas Dinharsa, peluang menggaruk untung di pasar seluler masih terbentang luas. Tingkat penetrasi pasar gabungan GSM plus CDMA tak sampai 50 persen. "Apalagi orang Indonesia biasa punya 2 atau 3 nomor sekaligus," katanya. Harga telepon genggam juga kian murah.
Sebagai operator CDMA, Tom yakin, pasar di segmen ini tak kalah dengan GSM. Keunggulan GSM, katanya, adalah mobilitas yang lebih luas. Tapi ini hanya penting bagi mereka yang sering bepergian. Bagi sebagian besar pelanggan seluler, tarif murah tetap menjadi daya tarik utama.
Bukan tidak mungkin praktek banting harga dan perang tarif antaroperator ini akan terus berlanjut. Menurut Erik, Esia tetap mempertahankan kiat tarif murah, karena pelanggan Indonesia masih sensitif terhadap tarif. Secara eksplisit, ia menolak rencana pemerintah mengatur tarif promosi yang lebih ketat.
Pengaturan soal tarif promosi sebetulnya sudah selesai digodok di Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Komunikasi dan Informatika. "Tinggal ketuk palu," kata Gatot S. Dewa Broto, juru bicaranya. Aturan baru itu rencananya akan dimasukkan ke revisi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 12/2006 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Seluler yang belum mengatur soal itu.
Dalam rancangan revisi akan diatur rumus batas atas tarif promosi. Menurut Gatot, pemerintah tidak menentukan angka tarif batas atas, tapi hanya memberikan panduan rumus. Apakah batas bawah tarif promosi juga akan diatur? Soal ini masih jadi bahan perdebatan seru. Sebagian orang khawatir, perang tarif promosi akan berujung pada kompetisi "berdarah" antaroperator. Tapi yang lain berpendapat, turunnya tarif akan menguntungkan konsumen.
Di negara lain, kiat promosi mengandalkan tarif murah sesungguhnya sudah tak relevan. Mereka lebih memilih menjadi nomor satu dalam soal kemudahan layanan dan akses ketimbang menawarkan tarif murah. Untuk apa tarif murah kalau sinyal sambung-putus? Ujung-ujungnya, pelanggan malah dirugikan. Yang terbaik tentu saja tarif murah, layanan bermutu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo