Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARA perempuan itu kini menghunus tombak, lambang kuasa dan agresi kaum lelaki. Setelah anak panah lepas dari busurnya, dan sang Pangeran tersungkur di anjungan sepi. Tak ada gemuruh waktu, tak juga lengking bunyi. Bahkan ketika payung keemasan itu terbakar, menyala, luruh berkepingan.
Adegan penutup ini menyentak dua ratusan penonton di Gallery Theatre, National Museum of Singapore, dua malam berturut-turut, Jumat dan Sabtu dua pekan lalu. Panji Sepuh, yang dibawakan oleh Komunitas Utan Kayu, Jakarta, tampil sebagai pertunjukan awal Festival Pembukaan Museum Nasional yang terletak di Stamford Road, ”Jakarta Pusat”-nya Negeri Singa.
Goenawan Mohamad, penulis lirik untuk koreografi rancangan Sulistyo Tirtokusumo dan sekaligus bertindak sebagai sutradara pertunjukan ini, sempat meragukan ”ketahanan” penonton Singapura. ”Apakah mereka kuat mengikuti bagian awal yang sama sekali senyap selama dua puluh menit,” katanya. Memang, bagian awal itu paling ”menegangkan”.
Ketujuh penari perempuan itu seperti menyeret saat yang menyunyi, bergerak dalam temaram lampu yang ditata Iskandar Loedin dengan distribusi cahaya yang sangat kikir. Mereka kemudian mengingsut, menggerai rambut, bergerak menyebar—tanpa sebutir pun suara. Ternyata, penonton masuk ke dalam arus senyap yang gelap itu.
Panji Sepuh pertama kali dipentaskan pada Agustus 1993 di Studio Oncor, Jakarta. Tari dengan basis bedhaya ini kemudian disajikan di Yogyakarta, lalu melawat ke Melbourne, Australia, dan Seoul, Korea Selatan. Tapi selalu ada yang baru dalam setiap ”penampilan ulang”.
Seperti dikatakan Goenawan, Panii Sepuh tak punya plot atau narasi linier. Dia lebih merupakan montase imaji yang bergerak. Seraya tari dan musik Jawa tidak menyediakan lahan subur untuk eksperimentasi, inovasi Panji Sepuh justru terletak pada paradoks.
Lihatlah adegan ”persanggamaan” itu, misalnya, yang sama sekali tidak membangkitkan gairah berahi, malahan luka yang jeri. Mulai dari saat sang perempuan—dimainkan dengan sangat bagus oleh Rury Avianti—membasuh muka, naik ke ”altar”, menyiram kaki sang pangeran.
Dalam seketika lambang kuasa itu kehilangan kesaktiannya, telentang di sana dalam ketakjuban pesona sang wanita. Gerakan-gerakan bagai gelombang itu seperti mengayun ruang, mempermainkan waktu, yang tiba-tiba terdedah oleh tembang mengiris (dilantunkan Aloysia Neneng Yunianti) ”Dhuh apa dosaning raga...”
Koreografi ini, pada awalnya, diilhami oleh sebuah kisah dari Keraton Kasunanan Solo, ketika seorang pangeran yang akan dinobatkan sebagai raja harus bersunyi di dalam sebuah kamar, dan menari. Tapi Sulistyo Tirtokusumo, yang belajar tari Jawa klasik di bawah bimbingan RM Wignyohambegso dan RT Kusumo Kesowo, ”membalik”-nya menjadi gambaran pemimpin sepuh yang harus berani meninggalkan gemerlap.
Tapi, ”Pada dasarnya, koreografi ini tetap terbuka untuk berbagai tafsir,” kata Goenawan. Seperti pada dua malam pementasan di Singapura itu, ketika sang Pangeran—dimainkan dengan sangat terkendali oleh S. Pamardi—dengan tombak terhunus tak berhasil menembus ruang maya keabadian. Ia tersungkur di sana, di ambang hasrat, karena sang raga telah gagal mengunci kesumat.
Komposer Tony Prabowo tetap menggunakan sembilan rebab dan tiga gender, dengan instrumentalis yang sekaligus berperan sebagai koor. Gender, yang pada gamelan tradisional merupakan instrumental pukul, dalam ”komposisi” Tony justru dijadikan instrumen gesek dengan menggunakan penggesek rebab. ”Saya melakukan ini untuk mendapatkan efek gema,” kata Tony.
Hasilnya memang ”aneh”. Di tengah koor yang susul-menyusul bagai alun gelombang itu seperti terselip suara-suara alam yang merintih dan menggugat. Pada saat itulah terjadi tarik-menarik aspek dramatik yang menjadi sakaguru koreografi ini: gerak, bunyi, dan tempo.
Untuk pertunjukan di Singapura, Goenawan ”merekrut” Teguh Ostenrik, pelukis dan pematung, sebagai direktur artistik. Bertiga—Goenawan, Tony, Teguh—kemudian berbagi gagasan untuk memasukkan elemen-elemen dan idiom-idiom berbeda terhadap koreografi ini. Ketika mereka bertanya kepada Sulistyo, penari kawakan itu menjawab, ”Lakukanlah apa saja.”
Itu sebabnya Panji Sepuh ”edisi” Singapura ini tak lagi bersetia pada pakem seorang putra mahkota dan ambisi-ambisi keremajaannya. Ia memang masih menyiratkan kerentanan raga dan sukma terhadap ketakutan, amarah, dan rasa sakit. Tapi pada adegan menjelang penutup, ketika orang tua berselimut jarit itu (dimainkan sendiri oleh Sulistyo) melepas anak panahnya yang maya, justru tersisa sebuah pertanyaan: adakah ini sebuah akhir, atau justru awal yang mula.
Teguh Ostenrik menggunakan video slide untuk adegan pengunci: payung kebesaran yang terbakar itu. ”Soalnya ini Singapura, Bung, kita tak boleh main bakar-bakaran,” katanya seraya tergelak. Tapi hasilnya justru lebih bagus. Dengan ”kebebasan” yang dimiliki oleh media ini, adegan itu bisa ditumpang-tindihkan dalam berbagai skala dan jarak pandang, sampai cahaya perlahan-lahan diredupkan, dan penonton agak terlambat tahu: pertunjukan sudah berakhir.
Festival Pembukaan Museum Nasional Singapura ini memang dirayakan dengan sungguh-sungguh. Pengguntingan pita, sehari menjelang pertunjukan Panji Sepuh, dilakukan oleh presiden Singapura, S.R. Nathan, tanpa pidato ”pembekalan”. Menjelang pulang, sang presiden, yang datang tanpa kawalan konvoi yang meraung-raung, menyempatkan diri bercakap-cakap dengan Goenawan Mohamad dan para awak Panji Sepuh.
Di samping Komunitas Utan Kayu, akan muncul berbagai kelompok pertunjukan dari Inggris, Amerika Serikat, India, Thailand, Kamboja, Taiwan, dan tentu Singapura sendiri. Festival digelar sebulan penuh, dilampiri pameran berbagai-bagai. Teater Galeri dirancang dengan sangat efisien, dengan kursi-kursi yang bisa disimpan di dinding dan digerakkan oleh tenaga elektrik.
Museum Nasional ini, yang dibangun pada abad ke-19 dan semula bernama Raffles Museum, kini memasuki babak barunya setelah renovasi: kombinasi bangunan kolonial dengan arsitektur abad ke-21—tanpa saling meredam. Acara pertunjukan Festival Pembukaan juga mencerminkan harmoni itu, seperti yang tersirat pada koreografi Panji Sepuh: kekayaan tradisi dan tafsir yang senantiasa bergerak maju.
Amarzan Loebis (Singapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo