Jika PDI Perjuangan-nya Megawati punya tabloid Demokrat, PAN-nya Amien Rais punya tabloid Amanat, Partai Reformasi Tionghoa punya tabloid Nagapos. Adalah Lieus Sungkharisma, ketua partai keturunan Tionghoa itu, yang melahirkan tabloid 24 halaman itu, November tahun lalu. Benarkah era media yang menjadi corong partai politik kembali lagi? Benarkah Naga yang satu ini adalah terompet Partai Tionghoa? Lieus menolak anggapan demikian. ''Kami meliput berbagai macam berita," begitu alasannya.
Bendahara KNPI Pusat?organisasi pemuda yang lahir di zaman Orba?ini yakin bahwa belum ada media yang cocok dengan aspirasi etnis Cina. Berbagai problem yang dihadapi kalangan keturunan Cina juga tak mampu ditangkap media yang jumlahnya ratusan di pasar. Maka, pada suatu malam gerimis di restoran sate kambing di Pancoran, Jakarta Selatan, Lieus dan empat rekannya menggagas Nagapos.
Nama Nagapos yang dipilih secara tepat menggambarkan sasaran pembaca yang hendak digaetnya, yaitu etnis Cina yang jumlahnya sekitar lima persen dari penduduk Indonesia. Naga adalah simbol yang dekat dengan etnis itu?ingatlah berbagai ornamen di tempat ibadah Tionghoa atau kesenian barongsay. Dan bila sekarang ini Nagapos hanya dicetak 20 ribu, itu artinya peluang untuk terus berkembang masih terbuka lebar?apalagi kalau benar Nagapos bukan untuk kepentingan politik Partai Tionghoa semata.
Isi tabloid yang terbit perdana 20 November 1998 ini cukup variatif. Ada rubrik politik, nasional, jendela, tokoh, seni budaya, kolom, cerita pendek, dan teka-teki silang. Dalam edisi terakhir, Nagapos menurunkan berita kepastian hari raya Imlek tanggal 16 Februari, yang sebelumnya diributkan banyak orang itu.
Di rubrik lain ada tulisan berjudul ''Mencari Posisi Tokoh Tionghoa di DPR". Tulisan ini menyorot sejarah partisipasi politik keturunan Tionghoa sejak zaman Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia pada 1945 sampai era DPR sekarang ini. Disebutkan, para tokoh Cina sekarang ini seperti dipinggirkan partisipasi politiknya. Narasumber yang diwawancarai juga seluruhnya keturunan Cina, misalnya peneliti Mely G. Tan atau pengacara Frans Hendra Winarta. Tokoh yang diangkat jadi berita juga dari kalangan ''sendiri", misalnya penyanyi Chrisye, yang disebutkan ''berayah Tionghoa dan ibu Jawa". Walau di rubrik lain, seperti kolom, Nagapos menampilkan budayawan Islam, Emha Ainun Najib.
Menariknya, hampir seratus persen anggota redaksi Nagapos justru kalangan pribumi Islam. ''Yang Tionghoa cuma satu orang," tutur Dhory, Pemimpin Redaksi Nagapos, master lulusan UI yang aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Nagapos memang selalu memakai kata ''Tionghoa" dan bukan ''Cina" untuk menyebut etnis itu.
Uniknya, pengelola Nagapos?yang dijual Rp 1.500?bertekad menyumbangkan seluruh keuntungan untuk beasiswa anak jalanan. Tapi, sebelum cita-cita itu tercapai, sang Naga harus bersaing keras dengan dua tabloid yang membidik pasar yang sama, yaitu Suar dan Synergi. Di luar pasar tabloid, masih ada harian tua berbahasa Cina, yaitu Harian Indonesia. Pasar tabloid berita pun kini sedang banjir-banjirnya. Nasib Nagapos jelas tergantung pada apakah ia mampu memenuhi selera etnis ''penguasa ekonomi" di Indonesia itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini