Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setelah Beringin Tak Lagi Teduh

Dua partai politik didirikan orang Tionghoa dan keduanya bertekad merebut suara warga keturunan. Siapa mereka? Siapa pesaingnya?

15 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ZAMAN "keemasan" partai politik warga keturunan Cina pernah dicapai oleh Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Didirikan di Gedung Sin Ming Hui, di kawasan Kota Jakarta, pada 1954, Baperki menghimpun tokoh-tokoh pemuda keturunan Cina yang bersemangat dari berbagai profesi. Di antaranya adalah pengacara ternama Mister Yap Thiam Hien dan bekas menteri Oei Tjoe Tat. Dengan cabang yang luas di berbagai provinsi, bahkan sampai di Pulau Timor, pada pemilihan umum tahun 1955 Baperki berhasil meraih beberapa kursi di Konstituante. Era itu berakhir cepat. Sejak Pemilu 1971, tak ada lagi partai peserta pemilu yang didirikan warga keturunan Cina. Secara perorangan mereka tersebar dan bergabung dengan parpol yang ada. Dan, diduga keras, sejak Golkar berkuasa, sekitar 10 juta warga keturunan Tionghoa mayoritas menyalurkan aspirasi mereka ke partai pemerintah itu. Partisipasi politik keturunan Cina waktu itu boleh dibilang berada di titik nadir. Padahal, ketika berdiri Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia ada lima anggota keturunan Cina di badan penting itu?BPUKI beranggota 79 orang. Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti) adalah partai pertama yang berdiri sejak masa Baperki. Adalah Lieus Sungkharisma, bendahara Komite Nasional Pemuda Indonesia yang menggagas pendiriannya. Parti berdiri 5 Juni 1998 atau hampir sebulan setelah tragedi Mei tahun lalu. Ketika itu terjadi penjarahan (dan pembakaran) besar-besaran, terutama terhadap warga Tionghoa. Bahkan rumah konglomerat Sudono Salim pun ikut digasak dan foto taipan yang biasa dipanggil Om Liem itu dibakar di tengah jalan. Korban kekerasan tak terelakkan, di antaranya sejumlah wanita keturunan Cina?diakui beberapa sumber?telah diperkosa. Tapi, Lieus, pemuda berusia 39 tahun, menolak anggapan bahwa partainya didirikan karena tragedi itu. Ia mengaku bahwa orang Tionghoa memang harus memperjuangkan nasibnya lewat saluran politik. Lieus menuturkan kalau nantinya Parti tidak hanya memperjuangkan kepentingan etnis Tionghoa, melainkan lebih memperjuangkan integrasi keturunan Tionghoa ke dalam bangsa. Alasannya, ia menganggap di negeri ini masih banyak masalah dengan proses integrasi. Pemakaian istilah ''Tionghoa" diakuinya sebagai salah satu ungkapan ''ketertindasan" itu. Di gelanggang politik, perasaan tertindas itu mengakibatkan kalangan keturunan Cina tak berani menjadi pengurus partai politik, apalagi mendirikan parpol baru. Bahkan, hingga sekarang, Parti belum punya pengurus cabang di daerah, walau Lieus mengaku mendapat dukungan yang cukup baik di Lampung, Jawa Tengah, Jakarta, Bali, Medan, dan Kalimantan. Penyebabnya adalah ''Orde Baru membuat mereka jauh dari politik, bahkan dibuat takut berpolitik," kata Lieus. Untuk ikut pemilu dan bersaing merebut sekitar 10 juta suara keturunan Cina, Parti punya banyak halangan. Misalnya, aturan pemerintah mensyaratkan bahwa suatu partai sekurang-kurangnya harus punya cabang di sembilan provinsi. Toh, Lieus yakin Parti bisa merebut 5 sampai 10 persen suara. ''Tanpa kampanye sekalipun, saya yakin Parti akan mendapat dukungan dan bisa merebut kursi. Karena massa pendukung Parti sudah jelas," ujar Lieus. Sampai pekan ini, Parti belum mengantongi rekomendasi Tim 11 yang menentukan layak atau tidaknya sebuah partai ikut pemilu. Saingan Parti adalah Partai Bhinneka Tunggal Ika. Partai ini dideklarasikan 1 Juni 1998. ''Saya memilih tanggal 1 Juni, karena saat itu adalah Hari Peringatan Kesaktian Pancasila," jelas Nurdin Purnomo, ketua umumnya, menunjukkan ''posisi" partainya. Nurdin, yang juga berdarah Tionghoa, sebelumnya seorang pengusaha perjalanan wisata pada 1970-an. Belakangan, sejak November 1984, ia diangkat sebagai perwakilan pemerintah di Mauritius. ''Karena saya memilih tetap untuk menjadi WNI, saya hanya bisa menjabat konsul kehormatan," jelasnya. Posisi konsul kehormatan ini setingkat dengan duta besar. Karir politik inilah bekal Nurdin memimpin partai. Dan sebagai diplomat, ia sering berurusan dengan lembaga internasional seperti Amnesty International atau Komisi Hak-Hak Asasi Manusia di kantor perwakilan PBB di Jenewa. Dengan sederet pengalaman itu, Nurdin, yang lahir di Jakarta dan kini berusia 50 tahun, maju ke arena politik. Tapi, mengelola sebuah partai tak semudah mengelola biro perjalanan. Pada awalnya, Nurdin sering kali harus sendirian jika berkunjung ke daerah-daerah. Kesulitan yang lain, partainya tidak mempunyai tokoh-tokoh yang terkenal. Nurdin jalan terus. Setelah bekerja enam bulan barulah Partai Bhinneka punya cabang di berbagai daerah. Sekarang partai ini dikabarkan sudah punya 14 cabang. Yang terpenting, ''Kami sudah mendaftarkan diri dan dinyatakan memenuhi syarat," ujar Nurdin. Tentu, Partai Bhinneka masih harus menunggu ''saringan" dari Tim 11 yang akan menyelesaikan tugasnya pada 21 Februari nanti. Dengan kesiapan ini, Nurdin yakin merebut 2 juta suara. Pendukungnya, katanya, cukup luas dan bukan hanya etnis Tionghoa. ''Kami memperkirakan setidaknya 24 buah kursi di DPR bisa kami raih, sekitar 5 persen suara," tutur Nurdin optimistis. Menurutnya, etnis Cina yang mendukung partainya justru susut jumlahnya, tinggal 10 persen dari seluruh pendukung partai. Namun, ia melihat peluang besar: ada sekitar 10 juta orang Tionghoa yang dulunya memilih Golkar kini diharapkannya berduyun-duyun beralih ke Partai Bhinneka. Mengapa? Nurdin yakin program partainya untuk membentuk masyarakat adil dan makmur adalah program yang menarik. Di luar dua partai itu, tahun lalu sempat berdiri Partai Pembauran Indonesia yang dipimpin Yusuf Hamka, pengusaha keturunan Cina beragama Islam. Partindo tak berumur panjang dan sudah lama dibubarkan. Suara keturunan Cina pasti juga akan diperebutkan oleh partai-partai lain. Seperti PDI Perjuangan, yang salah satu pengurus terasnya adalah tokoh, seperti Kwik Kian Gie. Partai Amanat Nasional di jajaran pengurus terasnya juga punya tokoh pembauran yang berpengaruh yakni Sindhunata dan bekas pebulutangkis nasional Verawaty Fajrin. Jangan lupa, di jajaran pengurus pusat Partai Golkar juga ada Enggartiasto Lukito, pengusaha nasional yang pernah menjadi Ketua Real Estat Indonesia. Jika keturunan Tionghoa benar-benar berani mencoblos di luar partai Beringin, seperti kata Nurdin, lalu di ''pohon" mana sekarang mereka akan ''berteduh"? Wicaksono, Iwan Setiawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus