Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Generasi Naga Tak Berkaki

Aktivis politik Tionghoa di Indonesia tidak lagi merasa Cina. Kecuali saat politik diskriminatif Orde Baru mengingatkannya.

15 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lung te chuan ren?orang Cina adalah keturunan naga. Itulah keyakinan turun-temurun kalangan Tionghoa, yang begitu mengagungkan makhluk dewata penguasa langit dan samudra. Naga juga merupakan simbol kekuasaan, sehingga segala pernak-pernik kaisar Cina?dari jubah sampai mangkuk?selalu dipenuhi gambarnya. Maka tak aneh jika hikayat naga mungkin sama panjangnya dengan sejarah politik Cina. Tentu tak demikian halnya di Indonesia, khususnya semasa Orde Baru, ketika segala sesuatu yang berbau ''Cina" diharamkan, mulai dari papan nama toko berhuruf kanji sampai ke perkumpulan Tionghoa. Dan dimulailah suatu era depolitisasi dan terpotongnya akar kultural kalangan ini. Suatu masa ketika kiprah politik ''peranakan naga" tenggelam ke dasar samudra. Yang menciptakan suatu kondisi?lalu nyaris diterima sebagai mitos?bahwa tempat keturunan Cina cuma di bidang ekonomi. Dan kalaupun ada yang berkiprah di politik, adalah mereka yang punya kebiasaan mendukung penguasa. Namun, sekali lagi, boleh jadi itu cuma mitos. Atau setidaknya, semacam kepasrahan?untuk tidak mengatakan kemalasan?menghadapi keterkungkungan ciptaan Orde Baru. Sebenarnya toh ada juga tokoh Tionghoa yang memilih jalan hidup menerabas ''garis nasib" itu. Sebut saja orang semacam Soe Hok Gie, Arief Budiman, Kwik Kian Gie, dan Christianto Wibisono, yang menghabiskan sebagian terbesar perjalanan karirnya tidak cuma di toko atau perusahaan, tapi juga di jalur politik. Bahkan dalam posisi yang amat kritis dan sering mengharuskan mereka berhadap-hadapan langsung dengan kekuasaan. Hok Gie mati muda sebagai demonstran penentang Soekarno. Sedangkan Arief, Kwik, dan Christianto adalah nama yang kerap membuat merah kuping Soeharto karena pandangan-pandangan mbalelo-nya. Atau juga kroni-kroninya, pengusaha keturunan Cina. Cuma, mungkin karena terpukau dengan mitos itu, banyak yang tak menyadarinya, termasuk kalangan Tionghoa sendiri. Sebagian mungkin karena menilai orang-orang itu adalah sejenis mutan yang menyimpang dari spesiesnya, dan amat langka. Sebagian lagi mungkin juga karena tidak lagi menganggap mereka keturunan Cina. Memang, seperti dijelaskan Arief Budiman?sekarang Direktur Pusat Kajian Indonesia di Universitas Melbourne, Australia?mayoritas warga Tionghoa di negeri ini tidak ambil peduli soal politik. Cuma sebagian kecil yang aktif di dunia satu ini. Dan umumnya, kata Arief lagi, ''kalangan langka" ini bicara tentang nasib negerinya tanpa ada lagi perasaan kompleks minoritas. ''Mereka ini sudah merasa sebagai orang Indonesia," ujarnya lagi. Arief mungkin benar. Apalagi jika melihat apa yang tengah terjadi pada generasi di bawah angkatannya. Saat ini tengah tumbuh sebuah generasi keturunan Cina yang hampir secara total tercerabut dari akar kulturalnya. Generasi ini tidak mampu berbahasa Mandarin, kuping mereka sulit menikmati lagu-lagu Hongkong, dan melihat Republik Rakyat Cina sama asingnya dengan negeri semacam Nigeria, misalnya. Ekstremnya, klasifikasi ''peranakan Tionghoa" pun mungkin tak lagi tepat, karena mereka nyaris cuma ''Cina" secara biologis. Dengan tolok ukur semacam aliran darah, kulit kuning, dan mata yang sipit. Meski tentu saja, ada juga sebagian lain yang masih kental warna kultur Cinanya. Dan seperti Arief, Kwik, atau Christianto, ''angkatan baru" ini pun memilih jalur yang kerap mengernyitkan alis orang tua mereka: aktivis di dunia politik. Ada beberapa contoh. Salah satunya adalah Joseph Adi Prasetyo. Stanley, begitu ia akrab dipanggil, adalah seorang wartawan penanda tangan deklarasi pendirian Aliansi Jurnalis Independen, yang pernah diberangus Soeharto. Lalu ada Esther Yusuf. Seorang pengacara Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang pernah membela kasus Partai Rakyat Demokratik. Dan melalui lembaga Solidaritas Nusa Bangsa yang didirikan bersama suaminya?seorang Batak?ia tengah menggugat pemerintah atas meledaknya kerusuhan berbau rasial pada Mei lalu. Dan mendesakkan ratifikasi Konvensi PBB tentang hak asasi manusia, termasuk Konvensi Tahun 1966 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi ras. Sehingga bisa menghapus setidaknya 16 peraturan perundangan?13 di antaranya khusus untuk etnis Tionghoa?hasil kebijakan politik Orde Baru yang dinilainya rasis. Contoh berikut adalah Enin Supriyanto, 36 tahun, yang juga pendiri Solidaritas Nusa Bangsa. Semasa kuliah di ITB, ia sempat tersandung peristiwa 5 Agustus 1989. Saat itu ia menjadi koordinator lapangan aksi demo menolak ceramah Menteri Rudini dalam pembukaan penataran P4 bagi mahasiswa baru. Ganjarannya: kurungan penjara tiga tahun, sempat dinusakambangankan, dan akhirnya dipensiun sebagai mahasiswa, ketika ia sedang menyusun skripsi. Tentu jadi pertanyaan: apa latar belakang para ''mutan" ini? Jawabannya satu: mereka punya lingkup interaksi sosial di luar batas-batas etniknya. Latar belakang Arief menggambarkan hal ini. Ia kuliah di kampus ''pribumi" Universitas Indonesia lalu bergabung dengan kelompok seniman Manikebu. Begitu pula dengan riwayat Enin. Keluarganya tidak tinggal di pecinan, sehingga ia terbiasa bergaul dengan bocah ''pribumi" lainnya. Dan tidak pernah merasa menjadi orang asing. ''Masa kecil saya, seperti anak-anak lainnya, banyak dihabiskan di masjid," tutur Enin yang beragama Islam itu. Baru ketika pindah ke tanah Jawa ia mulai merasa ada perlakuan yang diskriminatif atas ''kecinaannya". Misalnya, untuk diterima di ITB ia diminta menunjukkan surat keterangan WNI dulu. Saking jengkelnya, waktu itu ia malah balik mengerjai sang petugas, ''Boleh lihat kartu WNI punya Anda?'' Ia iseng bertanya balik. Pada saat mendaftar di ITB itulah Enin baru paham nama Cina yang diberikan orang tuanya ketika bayi: Thio Tjian Ning. Jadi, katanya lagi, ''Kecinaan saya itu justru diingatkan oleh Orde Baru." Itulah potret sebuah generasi Tionghoa yang bingung akan jati dirinya karena ''dipaksa" masuk dalam sebuah golongan kultur yang tak lagi dipahaminya. Meski demikian, ia mengaku beruntung mendapatkan kembali kampung halamannya di Kampus Ganesha. Lingkungan pergaulan yang menurut dia egalitarian dan demokratis seperti masa kecilnya di Lombok, tempat ia bisa menghirup kehidupan yang merdeka dan tak terkekang sekat-sekat etnis. Keterlibatannya dalam berbagai kelompok diskusi di situlah yang lalu membentuk pendirian politiknya. Gambaran kehidupan Trisno S. Sutanto, 35 tahun, juga menarik ditelusuri. Keturunan Cina generasi ketujuh ini adalah aktivis Masyarakat Dialog Antar-Agama (Madia) yang dikepalai Gus Dur. Bersama Stanley ia pun mendirikan Jaring, sebuah lembaga yang memusatkan perhatian pada upaya-upaya antidiskriminasi. Anak muda yang lebih suka disebut Cina ketimbang Tionghoa itu (istilah yang menurut dia cuma eufemisme) mengaku lebih merasa sebagai orang Jawa secara kultural. Cuma?ini ironisnya?ia diingatkan akan jati dirinya sebagai keturunan Cina justru dari berbagai kerusuhan rasial yang berulang-ulang dialaminya. Terakhir peristiwa Mei silam, ketika rumahnya di Solo diobrak-abrik. Cuma karena ia seorang Cina. Ia terlahir dalam keluarga pedagang dengan nama Tan Tiong Sin. Tapi lalu menyeruak keluar dari apa yang disebutnya sebagai ''kultur Cina pedagang". Satu faktor terpenting yang membentuk jati dirinya sebagai aktivis adalah ketika ia masuk ke sekolah negeri, yang membuatnya bisa menikmati persahabatan dengan kaum ''pribumi", selain juga karena profesi wartawan yang dipilihnya. Interaksi sosial yang tak lagi eksklusif barangkali adalah satu kunci dalam partisipasi politik kalangan Tionghoa. Tapi mengobati dampak dari pengucilan sistemik maupun pengucilan diri kalangan ini semasa Orde Baru selama 32 tahun tentu tidak mudah. Fobi politik sudah menjadi semacam penyakit kronis. Salah satu akibat dari sedemikian terpisahnya orang Tionghoa dari arus besar masyarakat. ''Itu pengalaman paling gila di zaman orde baru," katanya. Akibatnya, keturunan Cina tidak merasa menjadi bagian dari dinamika masyarakat, merasa terpisah. Dan tidak mantap menjejak tanah karena tak punya kaki dan akar yang kuat. Tapi tentu saja, kembali menjejakkan kaki di kultur Tiongkok?sesuatu yang sudah asing buat mereka?sama sekali bukan jawaban. Dari garis darah, mereka adalah peranakan naga, tapi dari jenis yang tak lagi punya kaki. Karena mungkin sebenarnya sudah lebih mirip keturunan naga Jawa. Karaniya Dharmasaputra, Dewi Rina Cahyani, Purwani Diyah Prabandari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus