Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hoakiau Berpolitik: Dari Trauma ke Trauma?

Pasang-surut keterlibatan masyarakat Tionghoa dalam politik Indonesia beriringan dengan sejumlah trauma. Entah sampai kapan.

15 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKAN adakah tarian liong atau barongsai digelar di salah satu kota di Indonesia pada Selasa pekan ini? Hari itu bertepatan dengan hari raya Imlek, yang menurut sebagian masyarakat keturunan etnis Tionghoa adalah hari raya mereka. Sebagai hari yang istimewa, sudah jamak jika dirayakan semeriah mungkin. Untuk itu tak afdol rasanya jika tak ada dua laki-laki yang mengusung boneka naga (liong) dan meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti musik pengiring. Barongsai memang hanyalah sebuah ujung kecil dari sebuah kebudayaan. Tapi, dari ''nasib" yang dialaminya, banyak cerita bisa dituturkan. Tak ada yang salah dengan tarian naga tersebut. Hanya, sudah puluhan tahun, baik resmi maupun tak resmi, segala sesuatu yang ''berbau Cina" dilarang diekspos di negeri ini. Sampai di sini, cerita sudah jadi lain. Ini bukan masalah kebudayaan, tapi masalah politik dan kebijakan negara. Berbicara masalah politik di Indonesia dalam kaitannya dengan partisipasi masyarakat keturunan etnis Tionghoa di Indonesia_selanjutnya sebut saja masyarakat Tionghoa?adalah membicarakan soal sejarah yang panjang. Jika mau dimulai dari sejarah pergerakan Indonesia, kesadaran berpolitik etnis Tionghoa muncul hampir bersamaan dengan kebangkitan Budi Utomo awal tahun 1900-an. Sebagaimana polarisasi yang terjadi di masyarkat Hindia Belanda saat itu, masyarakat Tionghoa juga terbagi dalam tiga sikap politik yang berbeda. Sebagaimana yang digambarkan dengan baik oleh ahli Cina perantauan, Leo Suryadinata, ada kelompok yang menganggap dirinya merupakan bagian dari ''tanah leluhur"?Cina daratan?yang bisa disebut sebagai kelompok Sin Po. Nama itu diambil dari nama koran milik peranakan Tionghoa (1910) dan menjadi aliran politik tersendiri. Meski berorientasi ke Cina, mereka antipenjajahan. Sebagai reaksi dari munculnya kelompok Sin Po, lahirlah kelompok Chung Hua Hui (CHH)?nama partai yang mereka dirikan tahun 1928?yang merasa senang menjadi bagian dari masyarakat penjajah Belanda. Mereka datang dari kalangan berpendidikan Belanda, pedagang kaya, atau bekas tuan tanah. Partai mereka juga dijuluki sebagai partai ''kaum pakaard"_-merek mobil mewah saat itu. Sebaliknya, kemunculan partai kaum pakaard direspons dengan lahirnya Partai Tionghoa Indonesia, tahun 1932, pimpinan Liem Koen Hian. Partai yang agak kekiri-kirian ini memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. ''Ide mereka mendahuli zamannya. Meski Indonesia belum ada, belum merdeka, mereka sudah memperjuangkan kemerdekaan,'' kata Leo, pengajar di Universitas Nasional Singapura. Benarkah mereka yang terlibat dalam gerakan politik lokal?Hindia Belanda?berangkat dari kesadaran nasionalisme Indonesia? ''Belum. Basis kesadaran gerakan politik mereka lebih pada kebebasan dah hak asasi manusia," begitu pernyataan Dr. Thung Ju Lan, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Polarisasi gerakan politik Tionghoa sebelum kemerdekaan tetap membayang pada zaman revolusi dan kemerdekaan Republik Indonesia. Namun hanya dua: yang berkiblat ke Cina dan yang ingin menjadi bagian dari masyarakat Indonesia yang pluralis. Di sinilah muncul persoalan hubungan antara etnisitas dan nasionalisme Indonesia. Dan ini bukan hanya soal orang peranakan, tapi juga bagi ''orang Indonesia asli", sebagaimana tergambar dalam salah satu pasal dalam Undang-Undang Dasar 45, yang mengharuskan presiden RI ''orang Indonesia asli". Kekuatan politik Tionghoa yang besar pada zaman kemerdekaan adalah Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia), dengan tokohnya Siauw Giok Tjan. Inti perjuangan partai yang lahir tahun 1954 ini adalah persamaan hak di antara warga negara dan membangun masyarakat sosialis. Baperkilah yang mengungkit perbedaan antara etnisitas dan kewarganegaraan. Baperki mendukung konsep integrasi?pengakuan Tionghoa sebagai suku bangsa. Persoalan yang dihadapi oleh suku bangsa peranakan Tionghoa?istilah yang diucapkan Bung Karno dalam Kongres Baperki 1963?untuk menjadi bagian dari bangsa yang bineka ini memang tak mulus. Perjalanan sejarah perjuangan keturunan Tionghoa dalam bermasyarakat paralel dengan perjuang mereka sebagai warga negara. Tahun 1959, misalnya, akibat munculnya Peraturan Pemerintah No. 10, yang melarang Tionghoa asing berdagang eceran hingga ke desa-desa, muncul ketegangan politik anti-Cina, yang sudah terasa sejak 1956. Angkatan Darat memanfaatkan PP No. 10 tersebut untuk mengusir orang Tionghoa dari desa. Bahkan di Cimahi, Jawa Barat, dua orang Tionghoa tewas di tangan tentara Kolonel Kosasih, Panglima Jawa Barat saat itu. Padahal, ''Mereka itu sebenarnya orang Indonesia, yang hidup dan mati di Indonesia juga, tetapi karena suatu tabir politik, tiba-tiba menjadi orang asing yang tak asing,'' tutur sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam buku Hoakiau di Indonesia, yang terbit pertama kali tahun 1960. Meskipun pasang-surut hubungan antara warga keturuan Tionghoa dan negara terus berlangsung, keterlibatan tokoh-tokoh politik Tionghoa dalam pemerintahan terwakili. Mereka banyak yang masuk parlemen, bahkan Oei Tjoe Tat dari Baperki duduk dalam kabinet semasa pemerintahan Soekarno. Sekali lagi badai politik menerjang keturunan Tionghoa. Peristiwa G30S-PKI tahun 1965 banyak menyeret pelaku politik Tionghoa yang pada masa itu terlihat akur dengan Bung Karno. PKI (dan Bung Karno) dianggap telah memanfaatkan ''poros Jakarta-Peking" untuk mendukung gerakan itu. ''Sebagai kelompok, peristiwa tersebut merupakan trauma yang membuat enggan ikut dalam politik. Ini berlangsung selama periode Orde Baru,'' demikian kata Mely G. Tan, Ketua Lembaga Penelitian Universitas Atma Jaya Jakarta, yang juga pengamat masalah Tionghoa di Indonesia. Berbarengan dengan adanya perubahan sikap politik pemeritnah RI di bawah Soeharto terhadap masyarakat Tionghoa, paham integrasi, yang dulu masih diberi kesempatan untuk berkembang, kini diubah ke politik asimilasi. Masyarakat Tionghoa diupayakan agar berasimilasi, menyerap nilai-nilai lokal, agar bisa berbaur dengan masyarakat pribumi. Dimulailah pelarangan memakai nama Cina, sekolah berbahasa Cina, maupun kegiatan seni budaya Cina. Hal itu secara tak sadar (mungkin dengan sadar) memasung hasrat berpolitik masyarakat golongan tersebut. Kehadiran tokoh etnis Tionghoa dalam politik formal di era Soeharto ini lebih mengesankan sebagai individu-individu, bukan representasi golongannya. Adakah era reformasi sekarang ini membuat mereka jadi lebih terbuka dan berani menuntut hak berpolitik? Di sinilah soalnya. Sebuah kejadian traumatik langsung menghadang mereka di awal ''era reformasi" ini?yang dalam sekala kecil terus berlangsung dan tak jelas kapan selesai?dengan terjadinya peristiwa kekerasan terhadap etnis Tionghoa 13-15 Mei 1998. `'Sekali lagi sebuah pengalaman menunjukkan kepada mereka, tak ada siapa-siapa yang akan melindungi mereka,'' kata Mely G. Tan. Meskipun trauma demi trauma menghadang masyarakat Tiong-hoa untuk berpolitik, tidak berarti hari-hari belakang ini tak membuat mereka berubah. Paling tidak Mely G. Tan mencatat adanya reformasi politik di Tanah Air telah melahirkan sikap yang lebih beragam terhadap ''tantangan politik" buat kelompok ini. Menurut Mely, masyarakat Tionghoa sekarang terpilah-pilah menjadi lima kelompok cara pandang. Ada kelompok yang merasa perlu menonjolkan identitas etnik mereka dan memperjuangkan hak mereka sebagai golongan, misalnya dengan membuat Partai Tionghoa. Kelompok kedua, yang tidak mau menjadikan etnis atau agama sebagai basis gerakan, melainkan sebuah platform persamaan hak. Sebagai contoh, apa yang digulirkan oleh Partai Nusa dan Bangsa. Ketiga, kelompok yang lebih menyukai sebuah forum yang tujuan utamanya lebih sebagai sebuah pressure group. Sedangkan yang keempat, berkumpulnya orang sepaham senasib sepenanggungan yang meperkuat diri ke dalam paguyuban, antara lain seperti yang dilakukan oleh Teddy Yusuf dengan Paguyuban Sosial Marga-Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), yang didirikan setelah kerusuhan Mei 1998. `'Visinya mengandung eksklusivisme,'' kata Eddie Lembong, pengurus PSMTI, yang kemudian keluar karena tak sepaham. Adapun kelompok yang kelima, versi Mely, adalah mereka yang bergabung ke dalam partai politik yang terbuka, misalnya mereka yang memilih PDI Perjuangan, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, atau yang lainnya. Yang jelas, ''pintu politik" sudah dibuka sekarang. Kalau tak dihadang sebuah trauma baru, mestinya sebuah Indonesia yang beragam menjadi nilai lebih dalam masyarakat ini. Rustam F.M., Ali Nur Yasin, Raju Febrianto, Karaniya D., dan kepustakaan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus