Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

'Cagar Perang' di Daerah Terlarang

Latihan militer mengobrak-abrik beberapa kawasan cagar alam di Pulau Jawa. Yang terjadi bukan cuma kerusakan ekosistem, tapi juga tewasnya penduduk yang tidak berdosa.

15 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siapa akan menduga, ABRI telah membekaskan citra yang negatif terhadap cagar alam dan satwa langka yang hidup di dalamnya. Citra buruk ini bahkan sudah digoreskan sejak bertahun-tahun silam. Hanya, perilaku ABRI yang tidak bertanggung jawab terhadap alam itu baru tersingkap November lalu. Ketika itu, beberapa anggota Masyarakat Pencinta Alam Jonggring Salaka dari IKIP Malang menemukan cagar alam Sempu yang rusak parah. Mereka hampir tidak percaya melihat panorama porak-poranda di atas lahan yang seharusnya hijau, segar, dan mempesona itu.

Ternyata latihan militer yang banyak mengambil tempat di kawasan cagar alam justru "menghancurkan" kawasan tersebut. Padahal kawasan itu seharusnya dilestarikan, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. Setidaknya cagar alam merupakan daerah terlarang bagi kegiatan latihan militer. Kebetulan kasus Sempu-lah yang pertama kali mencuatkan persoalan ini. Terletak 60 kilometer dari Malang, cagar Sempu langsung menjadi obyek penelitian para mahasiswa IKIP. Kesimpulan mereka, latihan tempur Brigade Infanteri Lintas Udara (Linud)-18/Kostrad-lah yang menjadi penyebab.

TEMPO kemudian melakukan 'napak tilas' dan menemukan kawasan itu mirip hutan larangan, sunyi senyap. Tak terdengar lagi celoteh kera. Kijang dan babi hutan, yang biasanya mudah diintip dari balik semak belukar, kini tak terlihat lagi. Elang Jawa yang jumlahnya tinggal lima ekor itu mungkin sudah mengungsi entah ke mana. Maklum, hewan jenis ini amat sensitif. Dan di beberapa tempat, terserak tulang berikut tengkorak kera dan babi hutan.

"Sangat mungkin sengaja ditembak untuk dijadikan santapan selama latihan militer," kata Ali Sunarto, Ketua Tim Investigasi Komunitas Peduli Sempu. Hutan lebat di sekeliling Telaga Lele memang menyisakan bekas-bekas tebangan pohon. Sedangkan koral dan bunga karang di Danau Segara Anakan pun hancur berantakan.

Tudingan yang dilontarkan Ali dibantah oleh Panglima Divisi Infanteri II/Kostrad, Mayjen TNI Willem Theodorus da Costa. Itu temuan bohong untuk memfitnah militer, katanya. Mereka selalu mendapatkan persetujuan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Malang tiap kali mengadakan latihan. Tapi pernyataan ini dibantah Kepala BKSDA Roeslan Effendi. Jangankan memberikan persetujuan, pihaknya malah tidak pernah menerima surat permohonan izin. Maka, Rabu pekan lalu, mereka mengadukan sepak terjang kesatuan itu kepada Detasemen Polisi Militer Daerah Militer V/Brawijaya dan menggugatnya sebagai tindak pidana pelanggaran kejahatan lingkungan (eco-crime).

Ternyata Sempu bukan satu-satunya korban. Hasil pemantauan TEMPO menunjukkan, berbagai kawasan cagar alam di Jawa Barat dan Jawa Timur (lihat infografik) mengalami nasib serupa. Tengoklah Pantai Ranca Herang, Pameungpeuk, Kabupaten Garut. Sejak 1969, tempat ini ditetapkan sebagai kawasan militer untuk peledakan amunisi yang sudah apkir dari berbagai kesatuan, yaitu Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat, Polda Metro Jaya, Komando Daerah Militer (Kodam) III Siliwangi, Kodam Jaya, dan komando logistik daerah militer (kologdam). Padahal lokasi ini merupakan bagian dari cagar alam Leuweung Sancang. Menteri Kehutanan Soedjarwo lewat suratnya tahun 1986 memberikan persetujuan atas penetapan itu, meski juga tegas-tegas menyatakan bahwa lokasi itu tetap berstatus cagar alam. Aneh.

Seorang mantan komandan militer Garut yang menolak disebut namanya mengungkapkan, setiap tahun peledakan berlangsung dua-tiga kali. Rata-rata setiap tahun diledakkan 40-50 ton amunisi, dengan volume 4-5 ton per lubang. Tapi, karena diprotes kanan-kiri, sejak 1994 frekuensinya dikurangi: cukup satu kali dengan volume 2-3 ton per lubang. Sumber di komando rayon militer setempat juga membenarkan hal ini.

Akibatnya sungguh mengenaskan. Pantai nan elok itu rusak berat. Permukaannya bopeng-bopeng dengan lubang sedalam 6-10 meter, berdiameter 20-50 meter, yang tersebar di seluruh area seluas 4 hektare. Pada saat peledakan dan sampai satu minggu setelahnya, suhu di kawasan itu melonjak hingga di atas 39 derajat Celsius. Tak aneh jika puluhan batang pohon kelapa yang tumbuh di sana tampak gersang dan meranggas.

Banteng (Bos Javanicus), hewan langka yang dilindungi itu, juga terguncang oleh ledakan amunisi. Populasinya merosot 80 persen, hingga tinggal sekitar 20 ekor. Banyak terumbu karang yang rusak dan mati. Belum lagi nasib berbagai satwa liar di sana, seperti kancil, kucing hutan, macan tutul, dan burung kipas. Terancam pula kelangsungan sejumlah jenis tumbuhan istimewa yang hanya tumbuh di kawasan ini, seperti pohon kaboa (Aegiceros corniculata linn), yang amat langka, pohon tancang (Bruguiera canyugata linn), pohon pedada (Sonneratia acida), dan satu-satunya pohon meranti yang berumur 100 tahun lebih.

Dan yang paling tragis, ajang militer ini--menurut data Forum Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Garut--setidaknya sudah meminta tumbal 10 nyawa dan melukai 30 lainnya, tak terkecuali dua bocah cilik. Pada suatu siang yang nahas di tahun 1981, Ade, 9 tahun, dan Unang, 8 tahun, masuk ke area terlarang karena kambing mereka lari ke sana. Mereka menginjak sisa amunisi yang belum sempat meledak. Lalu... dhuarr! Tubuh cilik itu "berantakan". Korban seperti ini, ujar mantan ketua RT setempat, Otin Sukmana, hampir selalu ada setiap tahun. Belum lagi rusaknya rumah penduduk--sampai radius 8 kilometer--diguncang ledakan yang menimbulkan getaran hebat. Pihak Balai Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistem setempat sebenarnya sudah mengusulkan ke Departemen Pertahanan dan Keamanan untuk meninjau ulang penetapan lokasi peledakan itu. Sampai kini, keluhan itu tidak digubris.

Kawasan lindung Situ Lembang di Kabupaten Bandung adalah contoh lain. Di tempat inilah satuan elite Komando Pasukan Khusus (Kopassus) digembleng menerapkan taktik dan strategi perang. Hasilnya sama saja. Karena dijadikan arena tembak-menembak, hutan hujan tropika, kawah sumber air panas, dan danau di sana rusak berat. Hal ini juga sempat dipersoalkan oleh Dinas Pariwisata dan Perusahaan Hutan Negara Indonesia (Perhutani) Jawa Barat. Seorang staf Dinas Pariwisata Daerah Jawa Barat yang minta disembunyikan identitasnya mengungkapkan, badan perencanaan daerah setempat pernah buka suara agar kawasan itu dikembalikan ke asalnya. Tapi, atas nama "stabilitas keamanan nasional", lagi-lagi ABRI yang menentukan kata akhir.

Kisah perambahan Taman Nasional Baluran, Banyuwangi, adalah contoh lain yang unik. Di sini, faktor militer bukan penyebab langsung. Penduduk setempatlah yang sejak tahun 1993 memburu banteng atau kijang dan menebangi kayu di hutan lindung itu. Dampaknya cukup mengkhawatirkan. "Tak lama lagi, kayu jati di kawasan itu akan habis. Begitu pula binatang-binatang yang dilindungi," ujar Zuhri Masykuri, koordinator Divisi Buruh dan Nelayan Partai Kebangkitan Bangsa di Situbondo.

Tapi nanti dulu. Jangan buru-buru menyalahkan penduduk. "Bagaimana lagi? Kalau tidak ke hutan, kami tak bisa makan," kata Anwar Khoirussalam, salah seorang warga Blangguan. Usut punya usut, ceritanya berawal dari penggusuran lahan hunian dan pertanian penduduk seluas 135 hektare di Blangguan--dekat Taman Baluran--yang dijadikan arena latihan tempur satuan Marinir Angkatan Laut. Dengan sejumlah cerita klasik tentang teror dan ganti rugi yang teramat kecil--cuma Rp 200 per meter--akhirnya 119 keluarga terpaksa pindah ke kawasan seluas cuma 2 hektare. "Yang menolak pindah ditendangi dan dicap PKI," cerita Anwar. Lahan mereka yang semula dipakai untuk latihan malah kemudian disewakan oleh beberapa marinir dengan harga antara Rp 115 ribu dan Rp 150 ribu per tahun. Apa jawab pihak yang dituduh? Komandan Pusat Latihan Pertempuran Marinir, Mayor Armo Lewenusa, menolak berkomentar.

Memang tidak semua ajang latihan tempur di kawasan cagar alam menimbulkan kerusakan dengan skala seperti contoh di atas. Kawasan yang dinilai tidak banyak bermasalah, menurut Kepala Hubungan Masyarakat Perum Perhutani III Jawa Barat, Djodjo, adalah Pengalengan dan Ciwidey. Sebab, meski beberapa ratus batang pohon ditebang dan rusak akibat latihan tempur, lahan di sana dengan mudah ditanami kembali dalam masa tumbuh relatif cepat.

Begitu pula sekitar Taman Nasional Gunung Halimun, yang menyisakan limbah peninggalan Kopassus berupa setumpuk sampah plastik bertuliskan "Ransum ABRI--Nasi Soto Ayam" dan sejumlah pohon yang roboh bekas bivak tentara. Toh, meski kerusakan fisik tidak seberapa, ada permasalahan lain yang serius. "Letusan senjata membuat satwa di dalam taman nasional ketakutan. Mereka kini menghilang," tutur seorang petugas dari Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam setempat.

Karaniya Dharmasaputra, Ardi Bramantyo (Jakarta), Upik Supriyatun (Bandung), Jalil Hakim, Munib Rofiqi (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus