Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bukit Kersang dalam Kepungan Biong

PT Bukit Jonggol Asri akan menyulap hutan di Sentul menjadi permukiman modern. Mengancam penahan air yang menuju Jakarta.

9 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DERETAN plang seng dan spanduk terpacak di sepanjang jalan aspal yang menghubungkan Gunung Karang dengan Hambalang Timur di Sentul Selatan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Di sana tertulis peringatan untuk para pejalan agar berhati-hati karena daerah itu rawan longsor.

Jalan sepanjang 30 kilometer itu satu-satunya akses dari pintu tol Sirkuit Sentul menuju kawasan hutan milik Perhutani seluas 48.162 hektare, yang berbatasan dengan kebun-kebun milik warga setempat. Di daerah inilah PT Bukit Jonggol Asri berencana membangun perumahan modern terpadu dengan area hiburan dan pelesir seluas 2.745 hektare. Dalam proses permintaan rekomendasi untuk keperluan ini, Bukit Jonggol diduga menyuap Bupati Bogor Rachmat Yasin.

Sewaktu Tempo menyusuri jalan itu pada Rabu pekan lalu, panas menyengat hingga 35 derajat. Di kiri-kanan jalan terhampar alang-alang berselang-seling dengan kebun singkong, kopi, dan cengkeh. Udara merendah ketika mendekati Bukit Hambalang, tempat berderetnya pohon pinus. Tanah di sekitar jalan sebelum area pinus berbatu kapur dan labil sehingga aspal jalannya banyak yang terkikis. "Ini daerah sering longsor," kata Kosasih, Ketua Rukun Warga Desa Karang Tengah, yang ada di tengah jalur itu.

Meski kering dan gersang, tanah-tanah Perhutani di sekitar Sukamakmur di gugusan Gunung Karang sudah lama menjadi incaran para pengembang. Cecep Harun, Sekretaris Desa Pabuaran—desa gersang di dekat Sirkuit—bercerita, perburuan tanah terjadi mulai awal 1990. Para makelar tanah datang menawarkan harga Rp 5.000 per meter persegi. "Warga di sini banyak yang menjual karena harga pasar waktu itu cuma Rp 2.000," ujar Cecep.

Menurut dia, para biong kemudian menjual tanah itu ke banyak perusahaan. Salah satunya PT Fajar Loka Permata, anak perusahaan PT Sentul City, yang memiliki saham PT Bukit Jonggol Asri. Pada masa itu, Kosasih menambahkan, selain makelar, ada orang perusahaan yang langsung mendatangi warga desa guna membeli tanah. Dua yang sangat terkenal adalah "Swie Teng dan Swie Hong".

Swie Teng tak lain Cahyadi Kumala, pemilik Bukit Jonggol, dan Swie Hong adalah kakak sulungnya. Waktu itu ada rencana ibu kota Indonesia akan dipindahkan dari Jakarta ke Jonggol. Pemerintah dikabarkan berencana membangun kota mandiri seluas 30 ribu hektare. Sebagai pengusaha properti, Cahyadi bergerak sebelum rencana itu benar-benar terlaksana.

Ia bahkan menggandeng sumber informasi di pusat kekuasaan, Bambang Trihatmodjo, anak kedua Presiden Soeharto, mendirikan PT Bukit Jonggol Asri. "Kami bersama-sama di perusahaan itu untuk mengelola Sentul," kata Azis Mochdar, pemilik saham PT Bimantara Citra Tbk—perusahaan yang juga dimiliki Bambang. "Saya ketua tim pembebasan tanahnya," ujar Yorrys Raweyai, mantan Ketua Pemuda Pancasila, yang kini anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golkar.

Akibat pembelian tanah yang masif di sekitar Sentul, menurut Cecep, harga per meter perseginya kini sudah tembus Rp 250 ribu. Selain karena banyak yang menawar, harga melonjak lantaran pemerintah sudah membuka kawasan itu pada 2011 untuk jalan tol Puncak Dua, yang akan meneruskan jalan tol Sentul Selatan hingga Cianjur, yang dikenal sebagai jalan tol Bopunjur. Dari 47 kilometer, sekitar tiga kilometer dengan lebar 30 meter sudah beraspal kasar.

Lahan Bukit Jonggol yang menjadi obyek suap untuk mendapat izin Bupati Bogor itu terpisah di dua tempat yang berjauhan: Hambalang Timur yang subur dan Gunung Karang yang gersang. Tanah tersebut masih milik Perhutani dengan status hutan produksi. Izin Bupati Bogor itu akan dipakai Bukit Jonggol untuk melegitimasi pengelolaan kawasan ini dengan cara ditukar dengan lahan hutan milik perusahaan di empat kabupaten.

Lahan di Hambalang Timur dialiri Sungai Ciherang yang berhulu di pegunungan Blok Menteng dan Cisadon di kawasan Puncak. Airnya bermuara ke Ciliwung di Bogor, yang membelah Jakarta hingga Laut Jawa. Jika kawasan ini berubah fungsi menjadi permukiman, tak ada lagi kawasan hutan yang menahan air yang melaju menuju Ibu Kota. "Pinus itu hutan produksi milik kami," kata Hari Priyanto, Sekretaris Perhutani.

Menurut Hari, pengelolaan kawasan hutan oleh Bukit Jonggol untuk diubah menjadi permukiman sudah tak berlaku pada 2003 karena izin Menteri Kehutanan berakhir pada tahun itu. Dasar izin menteri waktu itu adalah Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri. Keputusan Soeharto ini melegitimasi rencana Bukit Jonggol membeli tanah masyarakat dan menukar guling hutan Perhutani.

Izin prinsip akibat keputusan presiden itu adalah Perhutani sudah bersedia menukar guling kawasannya seluas 8.917 hektare di Jonggol dengan kawasan lain yang disediakan Cahyadi Kumala di empat kabupaten. Batalnya rencana pemerintah memindahkan ibu kota membuat pengembangan daerah itu juga tak jadi. Akibatnya, izin prinsip itu secara otomatis gugur.

Hari mengaku tak tahu bahwa Bukit Jonggol mengajukan permohonan izin lagi untuk lahan yang sama. "Sejak 2003 tak ada lagi lahan Perhutani Bogor yang berpindah ke swasta," ujarnya. Masalahnya, kata Hari, ada laporan dari lapangan yang menyebutkan sertifikat 37 hektare lahan Perhutani dimiliki sembilan orang yang bukan warga di sekitar kawasan hutan.

Tahun lalu, Perhutani menggugat kepemilikan itu ke Kejaksaan Cibinong, tapi belum ada keputusan hingga sekarang. Di luar luas itu, ada 82 hektare lahan yang dalam sengketa perusahaan dan warga desa. Kini Perhutani tak mengetahui ada lahan seluas ratusan kali lipat lahan milik negara akan digarap Bukit Jonggol.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menerima permintaan Bukit Jonggol menghidupkan lagi izin pengelolaan kawasan di Hambalang Timur dan Gunung Karang pada 2010. Ketika itu, isu pemindahan ibu kota ke Jonggol kembali menghangat. Cahyadi Kumala lalu menggandeng Nirwan Bakrie, pemilik PT Bakrieland Tbk, membangun kawasan itu dengan menjual 49 persen saham Bukit Jonggol. "Perseroan sedang berdiskusi dengan Bakrieland mengenai kesempatan tersebut," ujar Michael Tene, juru bicara Bukit Jonggol.

Perusahaan-perusahaan lain di luar Bukit Jonggol tetap antusias mengembangkan kawasan gersang itu. Di jalan Puncak Dua, beberapa perusahaan memacak spanduk yang menunjukkan status kepemilikan lahan. Misalnya PT Bogor Raya Ecopark, yang memberitahukan telah memiliki hak guna bangunan untuk nomor persil 1-16. Padahal, menurut tata ruang wilayah Kabupaten Bogor 2008, lahan tersebut masih berstatus hutan produksi.

Tak jauh dari spanduk Ecopark, beberapa gundukan tanah merungkup badan jalan jalur Puncak Dua, sisa longsor dari bukit di kiri-kanannya.

Rusman Paraqbueq, Arithta U. Surbhakti (Bogor)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus