Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA 1990-an, nama dua bersaudara Kumala terkenal sebagai pebisnis dunia gemerlap Jakarta. Cahyadi dan Haryadi Kumala kerap dikaitkan dengan geng "Sembilan Naga" yang menguasai bisnis judi, pelacuran, dan narkotik di Ibu Kota. Keduanya memiliki diskotek Millenium di lantai lima Gajah Mada Plaza, Jakarta Pusat, yang masih buka hingga sekarang.
Yorrys Raweyai, mantan Ketua Pemuda Pancasila yang disebut-sebut sebagai "panglima" geng "Sembilan Naga", tertawa ketika ditanyai soal kelompok pengusaha ini. "Tak ada itu geng-gengan. Saya memang berkawan dengan Cahyadi, Haryadi, dan kakak-kakaknya," ujar Yorrys, kini anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golkar, Jumat pekan lalu.
Menurut Yorrys, orang tua Cahyadi adalah keluarga kaya lama yang mewariskan bisnis bagi delapan anaknya. Cahyadi dan Haryadi selalu bersama menjalankan bisnis properti, sementara kakak mereka, Kwee Swie Hong, bergerak di usaha hotel dan diskotek. Millenium di Gajah Mada Plaza itu, kata Yorrys, salah satu aset keluarga ini.
Mal tujuh lantai itu awalnya milik Hendra Rahardja, bos Bank Harapan Santosa, yang kabur ke Hong Kong setelah ditetapkan sebagai tersangka korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Bank Hendra dilikuidasi pada 1 November 1997. Meski begitu, kakak kandung Eddy Tansil—buron yang membobol Bapindo Rp 1,3 triliun—ini bisa menjual aset banknya setelah itu. Dalam catatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional, transaksi terjadi pada 14 November 1997. Namun, dalam akta, penjualan kepada Cahyadi terjadi pada 31 Oktober 1997, sehingga pemerintah tak bisa menyitanya.
Ketika tim likuidasi pemerintah sedang mendata dan mengusut satu per satu aset Hendra, Cahyadi dan Haryadi menyerahkan Gajah Mada Plaza kepada Bank Lippo sebagai pelunasan utang Rp 400 miliar. Kredit itu untuk membangun Sentul City di Bogor, Jawa Barat, yang dikelola PT Bukit Jonggol Asri, sebagai bagian dari pembangunan permukiman terpadu di lahan 30 ribu hektare.
Michael Tene, juru bicara keluarga Kumala, menyangkal kabar bahwa Cahyadi dan Haryadi menjalankan bisnis gemerlap dengan membangun Millenium. "Setahu saya, Pak Cahyadi Kumala Kwee tidak memiliki diskotek itu," katanya kepada Singgih Soares dari Tempo.
Menjadi juragan tanah adalah titik balik bisnis keluarga Kumala pada 1988, setelah gagal membangun bisnis warisan. Syahdan, pada 1983, Cahyadi pulang dari Inggris setelah menamatkan studi di London Business School. Pada usia 32 tahun, bersama Haryadi, ia meneruskan bisnis keluarga Kwee Swie sebagai pengimpor suku cadang mobil.
Cahyadi lahir di Jakarta pada 1951 dengan nama Kwee Swie Teng, sebagai anak nomor tiga. Haryadi lahir tujuh tahun kemudian dengan nama A Sie, sebagai anak nomor tujuh. Mereka sembilan bersaudara. A To, kembaran A Sie, meninggal di Medan saat remaja. Meski bukan anak sulung, Cahyadi-lah yang mengendalikan bisnis kakak dan adik-adiknya.
Setahun setelah mengambil alih usaha impor peralatan suku cadang, keduanya mendirikan PT Duta Nitsuko Utama di Jalan Lautze, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Perusahaan ini mengimpor peralatan telekomunikasi dan merupakan agen Panasonic dari Jepang. Dua unit usaha itu mulai menggembungkan pundi-pundi Cahyadi hingga ia membeli Industrial Development Bank pada 1984. Kwee Swie Hong, kakak Cahyadi nomor satu, menjadi komisaris di bank ini.
Mendapat uang segar, Cahyadi menambah usahanya dengan mendirikan perusahaan properti. Proyek pertamanya membangun kompleks Kunciran Mas di Ciledug, Banten, yang dioperasikan dua adik perempuan bungsu Cahyadi. Rupanya, kredit dari IDB untuk proyek ini tak lancar. Bank itu terancam kolaps karena tak bisa mengembalikan uang nasabah. Cahyadi lalu menggandeng banyak pengusaha dengan menawarkan kredit berbunga tinggi. "Skemanya 2,7 persen bunga per bulan, lalu untung dibagi dua," kata seseorang yang mengetahui perkembangan bisnis keluarga Cahyadi.
Usaha penyelamatan itu tak bertahan lama. IDB akhirnya dijual kepada dua pengusaha asal Semarang pada 1987. Uang hasil penjualan bank itu mereka putar dengan membeli tanah milik PT Perkebunan Nusantara di Cimanggis dan Sentul, Bogor, serta di Pamulang, Banten.
Di Cimanggis, ia mendapat 375 hektare, Sentul 1.100 hektare, dan Pamulang 100 hektare. Harga tanah di tiga lokasi itu masih murah, rata-rata Rp 2.000 per meter persegi. Setelah diendapkan beberapa waktu, seiring dengan pembangunan jalan tol Jagorawi, harga tanah-tanah milik Cahyadi ikut terkerek. Tanah di Cimanggis, misalnya, ketika dijual kepada pengusaha Kaharudin Ongko, nilainya US$ 10 per meter persegi—naik sepuluh kali lipat. "Saya ketua tim pembebasan lahannya," ujar Yorrys.
Sejak itu, bisnis dua Kumala ini pelan-pelan naik lagi. Pembangunan Sentul City mengerek nama mereka kembali ke jajaran taipan Orde Baru. Keduanya mendirikan Kaestindo Group, anggota Grup Bimantara, yang dimiliki Bambang Trihatmodjo—anak kedua Presiden Soeharto. "Kami pendiri Bukit Jonggol yang membangun Sentul," kata Azis Mochdar, pemilik Bimantara yang lain.
Dengan grup usaha baru itu, Cahyadi merambah beragam usaha, setelah bisa membeli kembali aset PT Bukit Jonggol yang disita Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Pada 2001, namanya menjadi bahan berita lagi karena perusahaannya yang didirikan pada 2000, PT Atlasat Solusindo, diberi keistimewaan menjalankan bisnis voice over Internet protocol (VoIP), jasa telepon lewat Internet, oleh Kementerian Perhubungan. Sebelum keputusan itu diketuk, Haryadi Kumala turut hadir dalam rapat penentuan penyedia jasa telepon Internet itu.
Ketika itu, bisnis VoIP sedang booming karena penggunaan Internet kian meluas. Omzetnya Rp 20 miliar sebulan karena percakapan-percakapan internasional beralih memakai Internet ketimbang jaringan yang disediakan PT Telkom. Agum Gumelar, Menteri Perhubungan waktu itu, tak menyangkal dekat dengan Cahyadi dan Haryadi.
Kedekatan mereka terjalin kian rapat ketika Cahyadi membangun stadion-stadion sepak bola karena pada waktu itu Agum juga menjabat Ketua Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia. Dalam privilese bisnis VoIP, Agum mengatakan Atlasat ditunjuk sebagai pilot project pengembangan bisnis ini. "Saya kenal dia setelah menjadi menteri," ujar Agum.
Kedekatan Agum dengan Cahyadi juga tercium dalam peresmian Art Retreat, museum lukisan pribadi terbesar di Singapura milik Cahyadi. Agum-lah yang meresmikan pembukaannya pada 12 Oktober 2003. Di museum itu tersimpan 1.500 lukisan Cina, lukisan Eropa abad ke-19, serta ratusan lukisan maestro Indonesia, seperti Basoeki Abdullah dan Affandi, termasuk lukisan Berburu Harimau karya Raden Saleh.
Bagja Hidayat , Rusman Paraqbueq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo