Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Thomas Nung Atasana mengeluarkan satu per satu buku di dalam tas ransel hitam besar dan tas cantolnya. Literary agent dari Borobudur Agency itu baru saja bertemu dengan perwakilan penerbit Anvil dari Filipina dalam sesi Rights Exchange, salah satu rangkaian agenda Asian Festival of Children's Content (AFCC) di Singapura, yang berlangsung pada pekan ketiga Mei lalu. "Filipina tertarik sekali pada seri ini karena di sana juga banyak bencana seperti di Indonesia," kata Nung sambil menunjukkan satu seri buku anak berjudul Survival for Kids oleh Dewi Cendika, yang diterbitkan Bumi Aksara Kids.
Judul dalam seri itu antara lain Ketika Banjir Datang, Mencegah Kebakaran, dan Gempa Bumi. Kiat-kiat menyelamatkan diri saat bahaya mengancam dijelaskan dalam bahasa yang mudah dipahami anak dengan ilustrasi berwarna-warni meriah. Selain seri tersebut, Nung menyatakan Anvil tertarik membeli hak cipta buku seri binatang terbitan Kesaint Blanc yang antara lain berjudul Kula Cula dan Limau Harimau. "Tapi tidak semua judul dalam seri ini mereka mau, hanya yang hewannya juga ada di Filipina," ujar Nung.
Borobudur Agency ditunjuk Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) untuk mewakili sejumlah penerbit dari Indonesia yang tidak berkesempatan datang langsung ke festival itu. Tugas utama Nung tentu menawarkan copyrights buku-buku terbitan Indonesia kepada penerbit luar. Ia juga dimintai oleh beberapa pengarang buku anak self-published untuk mencarikan penerbit.
Menurut Nung, faktor pertama yang membuat penerbit luar tertarik membeli hak cipta buku anak adalah judul dan ilustrasi. Masalah konten, tiap negara punya selera masing-masing. Dongeng, buku bergambar, dan buku anak bertema religi adalah yang paling banyak dicari.
Remon Agus dari penerbit Zikrul Hakim Bestari mengatakan Selandia Baru dan negara-negara Eropa cenderung tertarik pada kisah rakyat yang autentik. Vietnam, Turki, dan Pakistan mencari cerita anak yang baru dan orisinal dengan ilustrasi khas. Adapun Malaysia biasanya membeli hampir semua yang ditawarkan karena iklim, budaya, dan kondisi sosialnya tak jauh berbeda dengan Indonesia. "Buku kami sudah dibeli hak ciptanya oleh Malaysia sebanyak 120 judul," kata Remon.
Sesi Rights Exchange yang berlangsung selama 4 jam di lantai 16 National Library Singapore itu mempertemukan 26 penerbit atau literary agent dari negara-negara Asia seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Pakistan, dan India, juga dari Selandia Baru, Amerika Serikat, Belanda, dan Israel.
Di ruangan terbuka itu disusun meja kecil beserta kursi tempat penerbit dan agen literatur dapat bernegosiasi. Tiap sesi negosiasi di antara dua penerbit berlangsung selama 30 menit. Kesepakatan biasanya tak langsung tercapai, tapi tiap penerbit dapat menandai buku apa yang menarik untuk ditranslasi dan didistribusikan di negara masing-masing.
Hanya, AFCC kali ini menerapkan konsep baru yang tidak membedakan mana penerbit yang hendak membeli dan mana yang hendak menjual hak cipta. Walhasil, sesama penjual bisa bertemu tanpa ada yang membeli. "Barusan ketemu dari Selandia Baru, mereka maunya jual. Padahal aku juga ditugasi ke sini khusus untuk menjual," kata Wedha Stratesti, International Rights Marketing dari Gramedia Pustaka Utama. Namun sesi ini memberi Wedha peluang berjejaring dengan penerbit dari negara yang belum pernah dijajaki oleh Gramedia.
Selama sepekan festival konten anak ini berjalan, Ikapi mencatat ada 30 seri dengan total 159 judul buku anak Indonesia yang diminati penerbit luar negeri. Buku-buku itu berasal dari Borobudur Agency, Gramata Publishing, Gramedia, Kanisius, Mizan Pustaka, Noura Books, Rosdakarya, dan Zikrul Hakim Bestari.
Sebanyak 53 judul yang berpotensi dibeli hak ciptanya adalah yang ditawarkan oleh Borobudur Agency. Penerbit yang sudah menunjukkan ketertarikan antara lain Collins Learning (Singapura), Anvil Publishing (Filipina), dan Children Publishing (Pakistan). Buku Mizan Pustaka dan Noura Books bahkan ditawar oleh negara dari luar Asia, yaitu Shared Stories (Belanda), Cynthea Liu-Start with Us (Amerika Serikat), dan Frances Pulmpton Agency (Selandia Baru).
Total ada 11 penerbit dari 7 negara, yaitu Singapura, Malaysia, Filipina, Selandia Baru, Pakistan, Belanda, dan Amerika Serikat, yang menunjukkan minat pada buku anak Indonesia. "Genrenya antara lain cerita rakyat, picture books, komik, dan buku agama," kata Imelvi, Kepala Bidang Pameran Dalam Negeri Ikapi.
Forum jual-beli hak cipta buku hanya satu dari sekian agenda yang berlangsung dalam Asian Festival of Children's Content. Festival yang berlangsung setiap tahun sejak 2010 ini diorganisasi oleh The National Book Development Council of Singapore (NBDCS). "Tujuan utama AFCC adalah untuk menciptakan material baru yang berakar dari nilai-nilai lokal untuk anak," ujar Executive Director NBDCS Ramachandran.
Sejauh ini AFCC adalah satu-satunya festival yang mempertemukan semua komunitas pencipta konten anak, dari penulis, ilustrator, penerbit, produser televisi, hingga guru, orang tua, dan anak. Peserta dan pengisi acara datang dari negara Asia Tenggara, India, Pakistan, dan Jepang. Pembicara dari Australia, Jerman, Amerika Serikat, Belanda, Slovakia, dan Israel turut didatangkan untuk pertukaran ilmu.
Menurut Ramachandran, konten anak, baik buku maupun siaran televisi yang tersebar di Asia, cenderung berasal dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Anak-anak lebih akrab dengan kisah Disney ketimbang budaya lokal masing-masing. "AFCC mendorong munculnya pengarang yang menulis cerita berkonten lokal dan mempertemukan mereka dengan orang yang akan menyebarkan konten itu secara luas," katanya.
Festival ini diisi lebih dari 120 sesi yang dikategorikan menjadi konferensi penulis dan ilustrator, pertemuan lintas platform, masterclass, kongres guru, forum orang tua, dan pertunjukan budaya. Tema yang diangkat adalah "Asian Content for the World's Children". Topik yang dibicarakan dalam tiap sesi mencakup macam-macam tema yang bisa diangkat menjadi konten anak, teknik menulis dan menggambar, teknik bercerita pada anak, bagaimana menembus pasar Asia, meningkatkan kesadaran penulis akan hak cipta, hingga permasalahan yang dihadapi tiap negara dalam menerbitkan buku anak.
Hal paling istimewa dalam pergelaran tahun ini, Indonesia didapuk sebagai Country of Focus. Di area terbuka di lantai dasar National Library, tepat di depan panggung utama, berdiri paviliun yang diberi nama Paviliun Indonesia Main. Paviliun seluas sekitar 5 x 10 meter itu dihiasi gambar pastel warna-warni berbagai karakter dalam cerita rakyat Indonesia. Paviliun ini didukung oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Ikapi, Kelompok Pencinta Bacaan Anak, dan Seameo.
Di dalam paviliun, berjajar rak yang menampilkan 200 buku anak Indonesia pilihan dari 18 penerbit hasil kurasi Ikapi selaku koordinator pameran yang ditunjuk oleh Bekraf. Pilihan buku berdasarkan ketersediaan versi bahasa Inggris atau bilingual dan kontennya yang sesuai dengan selera pasar luar negeri. "Kami melibatkan Mas Nung dari Borobudur Agency yang sudah berkali-kali hadir dalam pameran buku internasional dan punya gambaran buku apa yang akan diminati pasar," kata Imelvi dari Ikapi.
Penerbit yang ikut antara lain Gramedia Pustaka Utama, Mizan Pustaka, Noura Books, Bentang Pustaka, Bhuana Ilmu Populer, Grasindo, Erlangga for Kids, Gramata, Lubang Kelinci Indonesia, Pustaka Al Kautsar, Remaja Rosda Karya, Penerbit Kanisius, Zikrul Hakim Bestari, Kesaint Blanc, Yayasan Litara, Amazing Edu, dan Lily & Eddy. Ada juga studio animasi Indonesa, yaitu Dawn Animation dan Kumata Studio.
Sebagian penerbit mengirim langsung perwakilannya untuk mengurus penjualan hak cipta selama festival. Penerbit yang tidak hadir mempercayakan kepada Borobudur Literary Agency. Pada waktu-waktu tertentu, rak di paviliun bisa terlihat kosong karena buku yang dipamerkan sedang ditawarkan oleh penerbit kepada calon pembeli hak cipta.
Ikapi juga sekaligus menandatangani nota kesepahaman dengan Perbadanan Kota Buku Malaysia tentang kerja sama penerbitan dan distribusi buku anak. Malaysia adalah pembeli paling potensial hak cipta buku anak Indonesia. "Setelah ini, kami juga akan menjajaki kerja sama dengan negara ASEAN lain," kata Imelvi.
Meski tak terlalu luas, Paviliun Indonesia Main menjadi pusat perhatian sepanjang acara. Ada agenda setiap hari di dalam paviliun, seperti pemutaran film, diskusi, dan pembacaan dongeng karya Murti Bunanta oleh dua anak Indonesia, Sulthan Tufail dan Gladys Gwyneth Quincy. Suasana dibuat santai, pengunjung dapat duduk-duduk di karpet atau di bean bag yang disediakan di tengah paviliun.
Pada hari ketiga digelar pula Indonesia Night, yang menampilkan musik Maluku dan tari tradisional Bali. Pada malam Indonesia itu turut hadir Kepala Bekraf Triawan Munaf, Duta Besar Indonesia untuk Singapura Ngurah Swajaya, dan Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan.
Ngurah dan Vivian sempat berduet di panggung membacakan potongan cerita dari buku Sayur! Sayur! dan CindeRilla. Dua buku ini diluncurkan malam itu untuk memperingati 50 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Singapura. Penulis dan ilustrator Indonesia dan Singapura berkolaborasi untuk menulis dua buku tersebut. Sayur! Sayur!ditulis oleh Renny Yaniar (Indonesia) dengan ilustrasi oleh Joey Ng (Singapura), sementaraCindeRilla ditulis oleh Rilla Melati Bahri (Singapura) dengan ilustrasi oleh Maria Christania (Indonesia).
Indonesia juga diberi waktu untuk menggelar sesi-sesi khusus sepanjang festival. Sebanyak 19 penulis, ilustrator, dan penerbit dari Indonesia berbicara di depan forum tentang cerita rakyat, musik, sejarah, dan buku-buku anak dari Nusantara. Sesi ini juga jadi kesempatan kita memaparkan potensi buku anak Indonesia kepada pasar Asia. "Ini adalah ajang pembuktian diri kalau produksi konten anak kita unggul," kata Murti Bunanta, Presiden Kelompok Pencinta Bacaan Anak sekaligus anggota Board of Advisors AFCC.
Salah satu sesi menarik diisi oleh Thomas Nung Atasana dan Remon Agus. Dua orang ini berbicara dalam sesi "Indonesian Children's Publishing in New Era: Opportunities dan Challenges". Nung dan Remon sama-sama memaparkan tren positif dalam penerbitan buku anak Indonesia.
Sementara negara-negara Asia Tenggara mengeluhkan pasar buku anak yang makin lesu, Indonesia masih menikmati tingginya minat pada buku anak. Data Ikapi tahun lalu menunjukkan buku anak masih mendominasi pasar buku Indonesia (34 persen) melebihi buku fiksi (28 persen) dan nonfiksi (20 persen). Posisi Indonesia di antara negara-negara Asia lain juga masih kuat.
Salah satu sesi menghadirkan lima penerbit dari lima negara untuk berbicara tentang pasar buku anak. Rata-rata mengeluhkan penjualan yang menurun. "Kesulitan karena ekonomi yang stagnan dan biaya distribusi yang mahal," kata Selina Lee dari Scholastic Asia Malaysia.
Edmund Wee dari Epigram Books Singapura juga menyinggung ihwal susahnya menjual buku anak, terutama picture books. "Menjual 1.000 saja susah sekali kecuali kalau betul-betul terkenal seperti Harry Potter," ujarnya.
Sementara itu, di Indonesia, buku anak justru masih mengisi porsi terbesar pasar buku. Remon Agus mengatakan cara mempertahankan angka penjualan buku anak adalah lewat membaca secara tepat kebutuhan orang tua.
Menurut Remon, buku yang paling dibutuhkan orang tua untuk anaknya saat ini bukan lagi picture books yang hanya berisi cerita tapi juga buku yang sekaligus mengajarkan anak tentang perilaku keseharian. Salah satu seri paling laku terbitan Bestari adalah seri tentang toilet training. "Sudah cetak ulang tiga kali sebanyak 15 ribu eksemplar," kata Remon.
Memang ada penurunan bila dilihat dari segi jumlah judul buku yang diterbitkan. Pada 2013, Bestari pernah mencetak hingga 200 judul dalam satu tahun. Jumlah itu terus turun dan kini Bestari hanya mencetak 120 judul per tahun. Namun penurunan angka itu tidak menurunkan pendapatan. "Kami hanya lebih selektif dalam menerbitkan buku yang sesuai dengan keinginan pasar dan level pembaca yang kami tuju," ucap Remon.
Komik Indonesia pun menunjukkan tren yang positif. Kuark International, yang menerbitkan komik sains pendukung pembelajaran di sekolah, bisa mendistribusikan hingga 75 ribu eksemplar tiap bulan. "Tapi masih butuh banyak dukungan dari pemerintah dan guru karena buku yang didistribusikan ke sekolah-sekolah belum tentu dibaca siswa," ujar Sanny Djohan dari Kuark International.
Untuk pasar luar negeri, Indonesia punya peluang cukup besar. Keterlibatan Indonesia sebagai tamu kehormatan dalam pameran buku terbesar dunia Frankfurt Book Fair dua tahun lalu ternyata masih menyisakan efek positif bagi pasar buku anak Indonesia. Penulis dan ilustrator konten anak dari Indonesia telah dikenal di luar negeri saat berpartisipasi di Frankfurt. "Berkat permintaan untuk Frankfurt Book Fair juga, buku anak Indonesia semakin banyak yang diterjemahkan ke bahasa asing, terutama Inggris," kata Nung.
Moyang Kasih Dewimerdeka (Singapura)
Menurut Ramachandran, konten anak, baik buku maupun siaran televisi yang tersebar di Asia, cenderung berasal dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Anak-anak lebih akrab dengan kisah Disney ketimbang budaya lokal masing-masing. "AFCC mendorong munculnya pengarang yang menulis cerita berkonten lokal dan mempertemukan mereka dengan orang yang akan menyebarkan konten itu secara luas," katanya.
Menurut Remon Agus, buku yang paling dibutuhkan orang tua untuk anaknya saat ini bukan lagi picture books yang hanya berisi cerita, tapi juga buku yang sekaligus mengajarkan anak tentang perilaku keseharian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo