Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AIR sumur bukan hanya menjadi partner bersih-bersih buat Novi, 31 tahun. Selain untuk mencuci, membersihkan sayuran, dan mengepel, air sumur ia gunakan untuk menanak nasi dan membuat minuman hangat bagi keluarganya. "Kalau bikin kopi, teh, pakai air dari sumur," ujar warga Setiabudi, Jakarta Selatan, ini, Rabu dua pekan lalu.
Jika didiamkan lama, air sumur di rumahnya menimbulkan jejak warna cokelat. Tapi, menurut Novi, hal itu bukan masalah. Ia meyakini semua kuman yang bisa menyebabkan penyakit akan mati setelah air sumur direbus. Rasa kopi dan teh pun, kata dia, akan menutupi rasa asli air tersebut. "Selama ini enggak ada yang sakit," ujarnya.
Menurut dosen Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Pontianak, Fathmawati, banyak orang mengkonsumsi air sumur karena menyangka aman dikonsumsi setelah dididihkan. Padahal, menurut dia, tak selamanya demikian. Penelitian disertasi Fathmawati di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menyimpulkan bahwa mengkonsumsi air sumur berisiko menderita kanker usus besar (kolorektal)."Jika air sumurnyatercemar nitrat, pemanasan justru akanmembahayakan kesehatan,"katanya.
Penelitian ini dilakukan di Yogyakartapada Agustus 2015-Desember 2016. Fathmawati membandingkan kandungan air sumur orang yang menderita kanker usus besar dan tidak.Subyek penelitiannya berjumlah 150 orang yang berdomisili di Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, atau Bantul, lebih dari tiga tahun. Sebanyak 75 orang menderita kanker usus besar dan, sebagai pembanding, 75 lainnya tak menderita kanker.
Fathmawati mengambil sampel air sumur yang mereka konsumsi untuk mengukur kandungan nitratnya.Pengambilan dilakukanpadamusim hujan, saatair tanahdiasumsikanmemiliki kondisi seragam. Para subyek penelitian juga diwawancaraitentangkebiasaan mereka sebelumterdiagnosis menderita kanker,seperti merokok dan kebiasaan makan.
Hasilnya, Fathmawati mengatakan mereka yang mengkonsumsi air yang mengandung nitrat melebihi 50 miligram per liter empat kali berisiko menderitakankerusus besar dibanding mereka yang mengkonsumsi air yang kandungan nitratnya rendah.Risiko ini meningkat menjadi lima kali lipatpada kelompok yang mengkonsumsi air sumur dengan kandungan nitrat lebih dari 50 miligram per liter selama lebih dari 10 tahun. Sedangkan pada kelompok usia 50 tahun ke atas, risiko kanker kolorektal meningkat menjadi enam kalilipat.
Kanker kolorektalmerupakan penyumbang terbesarjumlahkanker saluran cerna. Prevalensinyamencapai 19,1 per 100 ribu penduduk.Di Yogyakarta,data Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito menunjukkan angka prevalensi kanker ini pada2014 sebesar 6 dari 100 persen pasien yang dirawat.Ini adalah jenis kanker yang tumbuh pada usus besar atau rektum, yakni ujung usus yang mendekati anus.
Usus besar merupakan tempat penyerapan nutrisi terakhir dan tempat pembentukan zat sisa sebelum dipindahkan ke bagian rektum, lalu dibuang melalui anus. Penyebab utamatumbuhnyakankerinibelum diketahui pasti, tapi adabeberapa hal yang dapat meningkatkan risikomunculnyakanker di area tersebut, seperti genetik, pernah menderita radang usus, merokok, berusia lanjut, dan paparan logam berat, misalnya nitrat.
Menurut Fathmawati, nitrat yangmasuk ke saluran cernaakan direduksi oleh bakteri yang ada di rongga mulut menjadi nitrit. Secara reguler di dalam lambung, nitrit spontan terurai menjadisenyawa nitrogen monoksida, peroksinitrit,dan dinitrogen trioksida.Senyawa-senyawa ini di dalam tubuh berfungsi ganda. Nitrogen monoksida berfungsi membunuh bakteri patogen dan meningkatkan perlindungan lambung. Namun, jika jumlahnyaberlebihan dan tak diimbangi dengan produksi antioksidan,efeknyamerugikan."Senyawa itu bisasangat reaktif dan merusak DNA sehingga terjadi kanker,"ucapnya.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan standar maksimum kandungan nitrat dalam air minum adalah 50 miligram per liter. Namun penelitian menunjukkan kandungan nitrat pada air sumur di sebagian tempat di Yogyakarta lebih dari batas itu. Penelitian 2005 yang dilakukan Doni Prakasa Eka Putramenemukan kandungan nitrat di dalam air sumurdi beberapa tempat mencapai 151 miligram per liter.Padahal, menurut Fathmawati, 70 persen penduduk di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mengandalkan air sumur sebagai sumber air bersih. Mereka menggunakannya untuk mencuci, memasak, dan minum.
Selain Yogyakarta, daerah yang dilaporkan memiliki air tanah dengan nitrat yang tinggi antara lain Jakarta dan Surabaya.Permukiman yang padat serta sistem pembuangan tinja dan limbah rumah tangganya yang belum memenuhi syarat kesehatan membuat air tanah rentan tercemarlogam berat ini.
Sebelumnya, menurut Fathmawati, di banyak negara sudah ada penelitian serupa. Risetyang dilakukan di Italia dan Spanyol menunjukkan orang yang mengkonsumsi air minumdengannitrat melebihi batas maksimumyang ditentukan WHOberisiko menderita kanker kolorektal 1,5 kali lebih besar dibanding yang mengkonsumsi air minum yang rendah kadar nitratnya.DiAmerikaSerikatjuga dilaporkan terjadinya kankerrektum,payudara, dan tiroid; tumor otak pada anak-anak; serta diabetes melitus tipe Ipada anak-anak. Adapun di Spanyol dilaporkan terjadi kanker lambung serta kankerrektum dantumor otak pada anak-anak di Taiwan.
Karena bahaya ini, Fathmawati menyarankan agar ada pemantauan kualitas air sumur secara berkala oleh pemerintah daerah. Sebab, kandungan nitrat cenderung naik dari tahun ke tahun. Jika kandungannya masih rendah, ia menyarankan pengecekan itu dilakukan setahun sekali. Namun, kalau sudah telanjur tinggi, lebih baik dilakukan tiga bulan sekali. "Jika kandungan cemarannya sudah tinggi, lebih baik masyarakat dianjurkan mengkonsumsi air dari sumber lain," ujarnya.
Guru besar Fakultas Kedokteran UGM, Adi Heru Husodo, mengatakan penelitian yang menghubungkan air sumur dengan kanker ini hal baru di Indonesia. Pemerintah dan masyarakat belum memberi perhatian pada masalah yang bisa menjadi faktor risiko kanker dari logam berat semacam ini. Padahal, selain nitrat, masih banyak logam berat lain yang ada di lingkungan sekitar yang berisiko menyebabkan kanker, seperti gas radon, air raksa (merkuri), asbes, arsen, dan timbel. "Misalnya, kosmetik wanita yang mengandung logam berat, belum ada penyuluhan tentang hal ini," kata promotor penelitian Fathmawati ini.
Agar pemerintah waspada, Adi telah mempertemukan Fathmawati dengan Dewan Riset Daerah Yogyakarta. Adi, yang juga anggota Dewan, mengatakan Dewan menerima hasil penelitian Fathmawati ini. Namun, karena sampel penelitian ini masih terbatas di beberapa lokasi dengan waktu penelitian yang cukup singkat, pemerintah daerah belum mengeluarkan kebijakan dari temuan tersebut.
Adi menyarankan penelitian kembali dilanjutkan dengan populasi yang lebih luas dan waktu lebih lama. "Untuk mendapatkan data yang lebih luas, bisa sampai belasan tahun," ujarnya.
Nur Alfiyah, Aseanty Pahlevi (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo