Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat kelas II sekolah dasar, Robyn Soetikno mengalami sebuah peristiwa yang ia sebut horror story of being a girl. Robyn, kini 23 tahun, kala itu mendapati temannya sudah mengalami menstruasi. Meski tak terjadi pada dirinya, pengalaman itu cukup menakutkan bagi Robyn. Terlebih pembicaraan mengenai isu sensitif, seperti pubertas, belum banyak disampaikan kepada anak-anak usia tersebut. "Padahal anak perempuan sejak umur tujuh tahun sudah membutuhkan informasi tentang perubahan tubuh saat menjadi dewasa," kata Robyn di National Library, Singapura, dua pekan lalu.
Robyn menyampaikan kisahnya di depan forum Asian Festival of Children's Content (AFCC) dalam sesi bertajuk "Book for Indonesian Girls by Indonesian Girls: How Children's Books Shape Perspective of The World". Berkaca pada pengalamannya yang kekurangan informasi tentang menstruasi dan perubahan tubuh lainnya akibat pubertas, ia pun membuat sebuah seri buku bergambar untuk anak perempuan yang dapat menjadi semacam panduan saat tumbuh dewasa.
Lulusan master of science di International Health Management, Inggris, itu telah meluncurkan seri berjudul I Am Me, yang terdiri atas buku I'm Changing, I'm a Little Lady, I'm Growing Up, dan I'm Perfect, pada Desember 2016. Ilustrasi yang melengkapi seri itu cukup terang-terangan, misalnya ada gambar seorang anak perempuan dengan bercak darah di celana atau sedang melingkarkan tangan di dada.
Tokoh anak perempuan dalam buku itu mengenakan seragam putih-merah. "Karakter berseragam SD ini disengaja agar anak perempuan Indonesia dapat mengidentifikasi dirinya dengan tokoh dalam buku ini," ujar Robyn.
Topik yang diangkat Robyn memantik diskusi dalam forum tentang bagaimana menyajikan pendidikan seksual dalam literatur anak. "Ini topik yang jarang diangkat dan cenderung kontroversial," kata Murti Bunanta, penulis buku anak sekaligus Presiden Indonesian Board on Books for Young People.
Menurut Murti, penulis buku anak harus berhati-hati sekali bila mengangkat tema yang masih dianggap tabu seperti seksualitas. Salah-salah bisa memancing reaksi keras, seperti saat beredarnya buku anak berkonten masturbasi. Namun isu ini penting untuk diangkat dalam literatur anak. "Di Inggris, salah satu buku anak pemenang penghargaan adalah yang menceritakan perihal bagaimana bayi tercipta. Di sini belum tentu buku itu dapat diterima," ujar Murti.
Peneliti buku anak Herdiana Hakim mengatakan tema seksualitas layak diangkat ke dalam buku anak mengingat usia pubertas yang bergeser menjadi semakin dini. "Juga karena besarnya gempuran informasi dari Internet tentang seksualitas dan pubertas yang dapat menyesatkan," kata Herdiana, yang mengambil studi children's literature and literacies di University of Glasgow.
Selain itu, di Indonesia masih tertanam persepsi bahwa bacaan anak mestilah sesuatu yang simplistik. "Anak dianggap harus dilindungi bahkan ditutupi dari isu-isu 'serius' yang sesungguhnya penting untuk mereka ketahui," ujar Herdiana, yang turut menjadi pembicara di AFCC.
Meski buku anak mendominasi pasar buku Indonesia, kita masih kekurangan tema cerita yang "serius". Misalnya tentang seksualitas, kematian, perceraian orang tua, intoleransi, atau penyakit berat seperti kanker dan hemofilia. "Kita belum siap untuk mengangkat tema-tema itu dalam buku anak, padahal di Amerika Serikat sudah berkembang sejak 1960-an," kata Murti.
Buku cerita anak yang mengangkat topik sulit dibutuhkan karena tidak semua anak berada dalam kondisi bahagia dan dilindungi keluarga yang lengkap. "Misalnya untuk anak dari keluarga Syiah yang diusir dari Madura, seharusnya ada buku tentang itu yang dapat membantu penyembuhan trauma mereka," ujarnya. Begitu pula anak-anak yang dirawat di rumah sakit dan anak-anak korban bencana.
Kendala utama ada pada biaya riset yang harus dikeluarkan penulis bila ingin mengangkat topik-topik tersebut. Penulis harus merogoh kocek sendiri untuk riset bila ingin membuat cerita berdasarkan kisah nyata. "Padahal royaltinya sama saja dengan penulis yang tidak pakai riset," kata Murti.
Salah satu penulis yang berusaha mengangkat isu serius dalam karyanya adalah Yovita Siswati. Yovita menulis novel seri petualangan anak yang didasarkan pada sejarah yang terjadi di berbagai kota di Indonesia.
Ada delapan bukunya yang telah diterbitkan di bawah tema "Seri Misteri Favorit" oleh Penerbit Kiddo-Kepustakaan Populer Gramedia. Untuk menulis buku-buku itu, Yovita harus melakukan riset ke Purworejo, Indramayu, hingga Medan. "Semua pakai biaya sendiri," kata Yovita dalam sesi "Indonesian Mysteries and Historical Fiction" pada hari ketiga AFCC.
Satu buku dalam seri itu, Misteri Kota Tua, yang berlatar belakang peristiwa penggedoran kepada etnis Tionghoa di Tangerang, Banten, yang terjadi saat revolusi kemerdekaan. Tokoh utamanya adalah dua anak, Beno dan Sari, yang diceritakan bertualang di Kampung Sewan, Tangerang, untuk memecahkan teka-teki. Misteri Kota Tua masuk Honor List yang dikeluarkan oleh International Board on Books for Young People tahun lalu di Selandia Baru.
Dalam buku ini, Yovita banyak menghadirkan tokoh beretnis Tionghoa yang membantu kedua anak itu. Beno dan Sari juga kemudian mengetahui bahwa ada aturan segregasi dan warga Tionghoa didiskriminasi hingga tak diizinkan menjalankan bisnis. "Saya menulis cerita ini karena saya tumbuh di Kampung Sewan, di tengah kelompok Cina Benteng," kata Yovita.
Dalam buku Misteri Kota Topeng Angker, Yovita mengambil latar belakang cerita sejarah penari topeng di Indramayu, Jawa Barat, sejak abad ke-16. Di tengah petualangan dua anak tokoh utama mencari rahasia topeng kuno berwajah angker, Yovita menyelipkan sedikit cerita tentang perburuan atas anggota Partai Komunis Indonesia pada 1960-an. "Memang tidak terang-terangan, saya hanya menyebut ada orang yang terusir karena menjadi anggota sebuah partai politik," ujarnya.
Buku-buku dengan tema multikulturalisme seperti ini belum banyak dieksplorasi kreator buku anak. Menurut Herdiana, kategori yang mendominasi bacaan anak Indonesia saat ini adalah buku anak Islam, baik berupa komik, panduan, kisah nabi, maupun cerita sehari-hari yang bernapaskan Islam. "Penerbit besar masih bermain aman dengan cerita-cerita yang manis dan generik," ucapnya.
Tren lain yang membanjiri pasar buku anak saat ini: buku anak yang ditulis sendiri oleh anak usia 7-12 tahun. Tren ini dimulai pada 2003 oleh Penerbit Mizan, yang mengeluarkan seri "Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK)". Seri ini terjual sangat bagus dan diikuti penerbit lain, misalnya Noura Books, yang mengeluarkan seri "Penulis Cilik Punya Karya", Penerbit Pelangi Indonesia lewat seri "Karya Keren Penulis Cilik", serta Penerbit Lintang dengan seri "Penulis Cilik Indonesia".
Remon Agus dari penerbit Zikrul Hakim Bestari menyebutkan saat ini ada ribuan judul buku seri KKPK dan sejenisnya yang beredar. Selain itu, penerbit masih memiliki sekitar 500 judul buku lain yang masuk daftar tunggu untuk diterbitkan. "Butuh waktu lebih dari tiga tahun ke depan untuk menerbitkan semua judul itu," katanya.
Buku karya penulis cilik ini biasanya bercerita tentang persahabatan, hobi, pengalaman wisata anak, hingga kisah-kisah hantu. Melihat potensi pasar, penerbit juga mendorong makin banyak anak menulis lewat kegiatan workshop. Remon, misalnya, telah mendatangi sekolah-sekolah dan memberikan mentor menulis kepada siswa. "Karya terpilih dari tiap sekolah kami bukukan," ujar Remon.
Saat berbicara dalam sesi "The Place of Young Writers in Indonesia", Murti Bunanta menyuarakan kekhawatirannya akan tren buku anak yang tidak ditulis oleh orang dewasa ini. Murti mengingatkan agar penerbit, orang tua, dan sekolah bijaksana menyikapi tren tersebut dan tidak mengeksploitasi anak untuk memenuhi kebutuhan pasar. "Anak-anak sebaiknya didorong membaca buku dengan tema beragam yang kaya nilai, bukan hanya yang sedang tren," kata Murti.
Moyang Kasih Dewimerdeka (Singapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo