Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA Juli 2023, Farhat bin Ismail Shahab mendatangi kantor Dewan Pimpinan Cabang Rabithah Alawiyah Jakarta Timur di Jalan Condet Raya, Jakarta. Ditemani anaknya, laki-laki 60 tahun ini hendak meminta lembar formulir permohonan pembuatan buku nasab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buku nasab adalah sebuah kitab berukuran sekitar 8 x 13 sentimeter atau sedikit lebih kecil dibanding buku paspor Indonesia. Buku bersampul hijau gelap itu dijadikan bukti pengukuhan seseorang sebagai keturunan Nabi Muhammad.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan dan dakwah, Rabithah Alawiyah punya tugas khusus mencatat nasab atau garis keturunan Nabi Muhammad melalui Alawi bin Ubaidillah yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Keturunan Alawi bin Ubaidillah kerap disebut sebagai Bani Alawi atau Ba’alawi atau Alawiyyin.
Farhat mengatakan pengisian formulir permohonan pembuatan buku nasab bukanlah perkara mudah. Sebab, ia harus menulis identitas diri, ayah, kakek, hingga kakek dari kakeknya. “Sampai kakek lima tingkat ke atas,” kata pria yang bekerja di bidang teknik sipil itu ketika dihubungi Tempo, Senin, 1 April 2024.
Tak sampai di situ, Farhat diminta menuliskan identitas semua saudara kandung, saudara kandung ayahnya, hingga saudara kandung kakeknya. Walhasil, ia harus mencari tahu dulu identitas dan riwayat kakek moyangnya. Ia juga diwajibkan menyerahkan sejumlah salinan dokumen, seperti kartu tanda penduduk, kartu keluarga, dan buku nikah.
Setelah isian formulir dan segala dokumen dinyatakan lengkap, barulah pengurus DPC Rabithah Alawiyah Jakarta Timur meneruskan permohonan Farhat ke kantor pusat Rabithah Alawiyah di Jalan T.B. Simatupang, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Karena sampai dua bulan tak juga muncul kabar, Farhat menghubungi Abdullah Zayd Shahab, Ketua DPC Rabithah Alawiyah Jakarta Timur, untuk menanyakan progres buku nasab milik dia dan anaknya. “Saya diminta menunggu dulu. Akhirnya, pada Februari 2024, buku saya keluar. Ya, sekitar tujuh bulan lamanya,” tutur Farhat.
Farhat mengaku tak punya motivasi khusus dalam mengajukan permintaan buku nasab. Toh, selama ini ia tidak punya masalah meski tak punya buku nasab. Satu-satunya tujuan Farhat mengurus buku nasab adalah memudahkan anak dan cucunya kelak ketika hendak mengurus nasab mereka secara formal.
“Saya juga tidak suka dipanggil habib. Ya, cukup nama saja. Panggilan habib di keluarga saya hanya untuk kakek,” ujarnya.
Berbeda dengan Farhat, Sehan Muhammad Alattas, 37 tahun, memiliki buku nasab sejak 2010 atau saat masih berusia 23 tahun. Sehan bercerita, kala itu ia mengajukan permohonan tersebut juga dengan mencantumkan identitas lima tingkat kakeknya.
Beruntung, saat itu Sehan tak mengalami kesulitan karena keluarganya sudah punya pohon silsilah keluarga yang dicatat lengkap oleh ayah dan kakeknya. Terlebih ada beberapa kerabatnya yang sudah punya buku nasab keluaran Rabithah Alawiyah.
“Hal itu memudahkan verifikasi data dan identitas saya,” kata anggota Departemen Sosial Rabithah Alawiyah itu ketika ditemui Tempo, Ahad, 31 Maret 2024.
Sama seperti Farhat, Sehan enggan disapa habib oleh orang lain, terlebih selain sanak familinya. Bahkan ketika masih bersekolah pun ia mengaku sering menyembunyikan fakta nasabnya, termasuk gelar habib. “Saya berhati-hati betul karena ini soal tanggung jawab,” ucapnya.
Besarnya tanggung jawab penentuan nasab seseorang menjadi alasan Rabithah Alawiyah sangat berhati-hati dalam memproses permohonan buku nasab setiap orang. Verifikasi yang ketat menjadi standar prosedur kerja Maktab Daimi, lembaga otonom di bawah Rabithah Alawiyah yang khusus mencatat nasab Alawiyyin.
“Kami tidak boleh menetapkan orang sebagai keturunan Nabi tanpa betul-betul jelas,” tutur Ketua Umum Rabithah Alawiyah, Taufiq bin Abdul Qadir bin Hussein Assegaf.
Untuk membantu pembuktian garis nasab keturunan Bani Alawi, Maktab Daimi menggunakan pedoman tujuh jilid kitab yang dibawa para leluhur mereka dari Hadramaut, Yaman, ke Indonesia pada 1928. Kitab tersebut berisi tulisan tangan silsilah keturunan langsung Nabi Muhammad yang kebanyakan berasal dari garis Husein bin Ali.
Karena itu, para pemohon wajib melengkapi data identitas kakek mereka hingga tingkat kelima bahkan ketujuh agar bisa dicocokkan dengan catatan kitab dari Hadramaut. Saat berkunjung ke kantor pusat Rabithah Alawiyah pada Kamis, 28 Maret 2024, Tempo meminta izin melihat kitab-kitab dan catatan tangan yang selama ini dijadikan pedoman penentuan nasab. Sayangnya, pengurus Rabithah Alawiyah tak memberi izin.
Shohibul Faroji Azhmatkhan di Jakarta, 28 Maret 2024. Tempo/Febri Angga Palguna
Habib Taufiq—sapaan Taufiq bin Abdul Qadir bin Hussein Assegaf—menjelaskan, kitab tersebut memang bukan konsumsi publik. Bahkan tak semua pengurus Rabithah Alawiyah punya akses membaca kitab asli dari Hadramaut tersebut. Ia khawatir jika semua orang diperbolehkan membaca kitab akan ada celah kecurangan pencantuman nasab.
“Ibaratnya kitab ini adalah rujukan. Nanti kalau akhirnya dipalsukan akan repot,” kata Habib Taufiq.
Menurut data Rabithah Alawiyah, sampai saat ini terdapat puluhan ribu keturunan Alawi yang hidup di Indonesia. Jumlah tersebut bisa bertambah lantaran masih banyak orang yang sedang mengajukan permohonan buku nasab hingga mereka yang tidak mencatatkan diri dan keluarganya sebagai keturunan Alawiyyin.
Karena itu, Taufiq mengatakan Rabithah Alawiyah tak bisa serta-merta memberi predikat palsu kepada pemohon yang ditolak oleh Maktab Daimi. Sebab, bisa saja orang tersebut benar keturunan Nabi Muhammad tapi kakek-kakeknya belum tercatat oleh Rabithah Alawiyah.
Namun pengasuh Pondok Pesantren Sunniyah Salafiyah, Pasuruan, Jawa Timur, itu menegaskan bahwa nasab keturunan Nabi Muhammad tidak selalu menjadi patokan kaum alim. “Nasab bukan berarti segalanya. Bukan berarti kalau nasab ketemu pasti akan jadi mulia. Enggak ada itu,” ujar Habib Taufiq.
Sejumlah pihak menganggap pencatatan yang dilakukan oleh Rabithah Alawiyah memiliki kekurangan. Salah satunya adalah pemimpin Yayasan Baitul Ansab Lil Asyraf Azmatkhan Wa Ahlulbayt Al-Alamy atau Asyraf Internasional, Shohibul Faroji Azmatkhan.
Dia menerangkan, Rabithah Alawiyah tak lengkap mencatat silsilah keturunan Alawi yang berasal dari Wali Sanga. Walhasil, Shohibul mengklaim masih banyak orang keturunan Wali Sanga yang tak diakui ketika mengurus nasab di Rabithah Alawiyah. Seperti yang pernah ia lakukan pada 1998.
Saat itu Shohibul menyambangi kantor Rabithah Alawiyah untuk sekadar mengklarifikasi nasabnya sebagai keturunan Sunan Kudus. Shohibul juga mengaku membawa buku nasab keturunan Wali Sanga. Namun Shohibul mendapat jawaban yang kurang memuaskan.
“Selain tidak ada catatan soal keturunan Wali Sanga, pihak Rabithah Alawiyah malah meminta saya mencari sendiri ke India. Saya tahu itu hanya bercanda,” kata Shohibul ketika ditemui Tempo, Kamis, 28 Maret 2024.
Upaya memperluas silsilah keturunan Alawi dari Wali Sanga pernah dilakukan oleh Keraton Kanoman, Cirebon, Jawa Barat. Pustakawan Pustaka Wangsakerta Keraton Kanoman, Farihin Niskala, mengatakan perwakilan perpustakaan pernah bolak-balik ke kantor Rabithah Alawiyah pada 2020.
Saat itu Farihin ingin memberi klarifikasi tentang silsilah keturunan Sunan Gunung Jati yang keturunannya banyak berdiam di Keraton Kanoman. Klarifikasi tersebut dilakukan Farihin sebagai jawaban atas sejumlah keraguan dari kalangan habib tentang keabsahan garis keturunan Wali Sanga. Bahkan Farihin mengaku sudah memberikan salinan catatan nasab Wali Sanga yang selama ini dibuat oleh Keraton Kanoman.
“Sampai Rabithah Alawiyah berganti kepengurusan sekarang belum ditindaklanjuti lagi,” ujar Farihin.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kitab Rahasia Maktab Daimi"