Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kartono Mohamad
Bezoek. Istilah Belanda yang masih sering dipakai di Indonesia ini biasa diartikan sebagai menjenguk orang sakit yang dirawat di rumah sakit atau orang yang ada dalam rumah tahanan.
Motivasi menjenguk orang sakit bermacam-macam. Sebagai pernyataan simpati, sebagai rasa setia kawan, atau kalau yang sakit adalah atasan mungkin untuk mengisi daftar hadir, ”unjuk muka”. Kalau yang dirawat itu orang terkenal, seperti mantan presiden Soeharto, orang berduyun-duyun menjenguk, meskipun mungkin tidak mengenal si sakit secara pribadi. Kalau sampai diliput media massa, ada kesempatan untuk numpang tayang.
Tetapi tidak semua orang terkenal yang sakit akan banyak yang menjenguk atau diliput media massa. Nama Bung Karno beredar di seluruh dunia—sampai imam di Masjidil Aqsha juga mengenalnya—tetapi tidak ada yang menjenguknya sewaktu ia sakit dan ditempatkan di Wisma Yaso, sebuah gedung dengan taman luas di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, yang kini bernama Museum Satria Mandala, tempat Dewi Sukarno, istri Bung Karno, pernah tinggal. Hanya istri dan anak-anaknya yang menjenguk.
Di mana gerangan para mantan menteri, para jenderal, dan pejabat tinggi ketika itu? Tokoh yang semula bagaikan lampu terang yang menarik serangga, kini bagaikan lampu yang sudah padam. Ditinggalkan oleh semua serangga yang semula berlomba mengerumuninya. Bung Karno dibiarkan kesepian.
Tengok, misalnya, catatan dari perawat yang bertugas mendampinginya, pada suatu hari yang penting bagi Bung Karno, yaitu tanggal 6 Juni 1969 dan 6 juni 1970, hari ulang tahunnya:
LAPORAN PAGI TANGGAL 6/6-69.
Sampai malam, tidak ada seorang pun dokter yang datang hari itu. Memang selama dalam tahanan dan perawatan itu, tidak pula tampak kesibukan tim dokter kepresidenan bagi Bung Karno. Jangankan pemeriksaan dan tindakan dengan menggunakan alat canggih seperti hemodialisis, dokter spesialis pun tidak pernah ada yang memeriksanya. Meskipun diketahui tekanan darahnya meninggi, tidak tercatat ada obat yang diberikan untuk menurunkan tekanan darah itu.
Dan pada hari ulang tahun itu, tidak ada teman atau sahabat, tidak pula kartu ucapan selamat. Begitu pula ulang tahun berikutnya, tanggal 6 Juni 1970, Bung Karno memperingatinya dalam sepi:
LAPORAN PAGI TANGAL 6/6-70
Kalau pada hari ulang tahun saja begitu kesepian, apa pula pada hari lain. Hari-hari terakhir Bung Karno memang dilalui seolah-olah hampir semua orang sudah lupa kepadanya. Tidak ada hiruk-pikuk seperti sekarang ini, tidak pula ada ulama yang mendoakan kesembuhannya. Yang rajin berkunjung selama Bung Karno sakit dan ditahan di Wisma Yaso itu hanyalah Hartini (istri kedua), Guntur, Rachmawati (keduanya anak dari Fatmawati, istri pertama), Taufan dan Bayu (dua anak dari Hartini). Sukmawati, putri dari Fatmawati, ada dalam catatan hadir beberapa kali.
Di antara putra-putrinya, hanya Megawati yang tidak tercatat pernah berkunjung—kecuali ketika Bung Karno sudah dibawa ke RSPAD dalam keadaan kritis. Entah Megawati pernah bezoek tetapi tidak tercatat atau memang tidak pernah sama sekali menengok bapaknya yang sedang sakit. Bahkan pada hari ulang tahunnya.
Padahal bezoek bagi orang sakit merupakan bagian dari social support yang akan membantu si sakit melawan kesepian sehingga dapat membangkitkan semangatnya. Dukungan sosial kepada seorang yang sedang sakit sudah menjadi tradisi berbagai suku di Indonesia sejak zaman dulu. Di kalangan suku Dayak Iban, dukun mengajak seluruh keluarga untuk bersama-sama mengusir roh jahat yang hendak membawa nyawa si sakit ke hutan. Secara psikologis si sakit merasa bahwa ia ditopang keluarganya.
Sekarang, ketika Soeharto sakit, ada social support yang amat cukup. Tetapi tidak demikian halnya ketika Bung Karno, sang Proklamator, sakit. Untuk meminjam istilah Ismail Saleh, Menteri Kehakiman di bawah Presiden Soeharto, sewaktu ia mem-bezoek bekas pemimpin itu di rumah sakit, dalam hal memperlakukan hari-hari terakhir Bung Karno, dapatkah dikatakan kita ini bangsa yang biadab, yang tidak mikul dhuwur mendhem jero?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo