Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah ruangan 3 x 5 meter itu ada meja panjang bertaplak putih. Di atasnya berlampar berbagai makanan dan jajan pasar. Puluhan kursi bersarung merah muda melingkari meja. Di salah satu dinding tergantung papan tulis besar, penuh tulisan dan angka. Di sana tercatat kondisi terakhir mantan presiden Soeharto selama dirawat di lantai 5 ruang VVIP Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan.
Inilah ruang rapat Tim Dokter Kepresidenan yang merawat bekas presiden Soeharto sejak 4 Januari lalu. Silang pendapat dan debat ilmiah menentukan langkah medis yang akan diambil, yang kerap berjalan alot antardokter, sering kali pecah di ruangan ini. Berbagai skenario medis dijabarkan di atas papan tulis, yang oleh Tim Dokter Kepresidenan dinamai ”papan komando”.
Contohnya Kamis dua pekan lalu, ketika kondisi penguasa Orde Baru itu memasuki masa kritis karena kegagalan multi-organ. Sekitar 25 anggota Tim Dokter menggelar rapat. Rapat memutuskan memasang cardiac resynchronization therapy (CRT) untuk meningkatkan kerja jantung pemimpin Indonesia selama 32 tahun itu.
Koordinator dokter spesialis Tim Dokter Kepresidenan, Prof dr Djoko Rahardjo, SpB, SpU(K), meminta ahli jantung anggota Tim Dokter Kepresidenan, Dr dr Muhammad Munawar, SpJP(K), FACC, FESC, FSCAI, segera memasang CRT untuk mensinkronisasi kerja jantung Soeharto. Muncul masalah: yang bersangkutan sedang mengikuti simposium di kawasan Puncak, Jawa Barat.
Alhasil, Djoko menelepon Munawar pada pukul 23.30 WIB. Namun Munawar keberatan akan keputusan rapat. ”Saya bilang waktu itu tidak bisa dilakukan, karena sudah keluar dari pakem,” kata ahli jantung subspesialis gangguan irama jantung yang juga Kepala Divisi Aritmia Departemen Kardiologi Fakultas Kedokteran UI dan Pusat Jantung Nasional Rumah Sakit Harapan Kita itu.
Menurut Munawar, memang saat itu kondisi jantung Soeharto sudah tidak sinkron, sehingga kemampuan memompa darahnya menurun. Namun dia tak yakin pemasangan CRT memberi efek lebih baik, mengingat kondisi kesehatan pasien masih belum memenuhi kriteria pemasangan alat tersebut. ”Jumat dini hari, jam satu, saya langsung turun ke Jakarta, hanya untuk menerangkan hal itu kepada Tim,” kata Munawar.
Dia mengaku, perbedaan pendapat di antara anggota Tim Dokter Kepresidenan sangat sering terjadi. Sebab, 40 anggota tim itu berasal dari disiplin ilmu yang berbeda-beda. Meski terlihat kompak dalam konferensi pers, mereka memiliki pandangan sendiri-sendiri dalam penanganan medis Soeharto.
Djoko mengaku kerap bertindak sebagai penengah debat ilmiah antardokter. Tak hanya pada pemasangan CRT, adu pendapat juga terjadi ketika Tim akan memasang continuous veno-venous haemodialysis (CVVHD) dan alat bantu pernapasan atau ventilator pada tubuh Soeharto. Alhasil Djoko, yang menjadi anggota Tim Dokter Kepresidenan untuk lima Presiden Indonesia, harus mencari jalan tengah. ”Caranya, saya suruh dokter itu memberikan jurnal terbaru yang menunjang pendapatnya,” ujar Djoko, yang dianggap paling senior dalam Tim.
Perbedaan pendapat juga menyangkut peliputan media yang sangat besar terhadap sakitnya jenderal bintang lima itu. Ketika masing-masing dokter berhak memberikan pernyataan kepada pers, perbedaan pandangan di antara mereka lalu muncul ke permukaan.
Contohnya pekan lalu, ketika anggota Tim, Dr Christian A. Johannes, SpAn KIC, mengaku kaget saat dihubungi ketua tim ini, Mardjo Soebiandono. ”Kamu bilang apa sama media?” kata pria yang akrab disapa Christ itu, mengutip pertanyaan Mardjo.
Usut punya usut, ternyata Mardjo menggarisbawahi pernyataan Christ soal publikasi kondisi kesehatan pasien yang dilontarkan Christ pada salah satu media nasional. Untungnya, ujar dokter spesialis anestesi insensitif itu, pernyataannya tak ”membahayakan”. ”Ditegur kan tanda perhatian?” ujar Kepala Unit Perawatan Intensif (ICU) Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat ini sambil terkekeh.
Christ dan Munawar juga mengaku banyak menerima pesan pendek di telepon seluler mereka tentang publikasi kondisi kesehatan Soeharto, yang dianggap terlalu vulgar. Bahkan Tim sempat gusar ketika mendengar adanya teguran dari Ikatan Dokter Indonesia, yang mempersoalkan publikasi kondisi kesehatan pasien.
Tapi, menurut Djoko, yang juga Ketua Kolegium Ilmu Bedah Urologi Indonesia, semua keterangan yang diberikan Tim Dokter kepada pers telah mendapat lampu hijau dari pihak keluarga Soeharto. ”Justru kadang kita diomeli karena memberi pernyataan yang kurang tegas kepada wartawan,” katanya.
D.A. Candraningrum
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo