Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arya Gunawan
KERUMUNAN pekerja media yang melaporkan perkembangan sakitnya Soeharto belakangan ini bolehlah disebut ”sirkus media”. Istilah yang mulai dikenal pada 1970-an ini merujuk pada liputan media dalam proporsi yang di luar kelaziman terutama dalam hal pengerahan sumber daya, volume berita yang diterbitkan/disiarkan, dan suasana yang terbangun sebagai dampak dari pemberitaan itu.
Sirkus media biasanya dipicu oleh dua unsur utama: besarnya peristiwa yang tengah berlangsung dan nama besar tokoh yang menjadi subyek berita. Sakitnya Soeharto memenuhi dua unsur tadi: kesehatannya memburuk dan ia tokoh yang masih berpengaruh.
Sirkus media pernah muncul dalam berbagai peristiwa. Di luar negeri, misalnya, pada pernikahan Pangeran Rainier dari Monaco dengan bintang film Hollywood Grace Kelly (1956). Juga pada sidang pengadilan atlet bola-tangan Amerika Serikat, O.J. Simpson, yang didakwa membunuh istrinya (1995), atau saat meninggalnya Putri Diana (1997). Contoh lain: skandal perselingkuhan Presiden Bill Clinton dengan Monica Lewinsky (1998), dan di dalam negeri saat meninggalnya Tien Soeharto (1996).
Banyak telaah muncul menanggapi sirkus media. Dalam peristiwa meninggalnya Putri Diana salah satunya menyimpulkan bahwa sirkus media pada mulanya muncul secara alamiah—dipicu oleh cara kematiannya yang tragis dan kecintaan sebagian besar rakyat Inggris kepada Diana. Namun pada tahap berikutnya media dianggap mencekoki agendanya sendiri dan memanipulasi emosi khalayak.
Berbagai kepentingan bermain di sini. Di antaranya kepentingan pemilik media untuk meningkatkan jumlah pemirsa/pembaca (mencapai keuntungan komersial) dan untuk memperoleh keuntungan politik. Hal yang terakhir terlihat pada peningkatan citra baik Perdana Menteri Inggris Tony Blair karena berhasil ”menyatu” dengan massa yang dirundung kesedihan.
Dalam tahap ini, sirkus media menyimpan bahaya. Khalayak bisa dirugikan karena banyak persoalan lain yang terabaikan lantaran perhatian media tersedot ke satu peristiwa saja. Hal ini menjadi perhatian banyak pengamat media, termasuk Howard Kurtz—wartawan The Washington Post—dalam bukunya Media Circus: The Trouble with America’s Newspapers (1993).
Situasi seperti itu terjadi dalam liputan sakitnya Soeharto. Media ”menyihir” khalayak. Seolah-olah hanya sakitnya Soeharto berita terpenting di negeri ini. Dateline (lokasi liputan) berporos pada tiga tempat: Rumah Sakit Pusat Pertamina tempat Soeharto dirawat, kediaman Soeharto di Jalan Cendana Jakarta, dan kompleks pemakaman Astana Giribangun di Solo.
Dalam peliputan, media juga tak jeli memilah mana hal yang hakiki dan mana yang remeh. Ambil contoh ihwal kesimpangsiuran berita mengenai upaya pemerintah menawarkan jalan di luar pengadilan dalam sengketa perdata yayasan Soeharto. Ini sebetulnya materi yang penting diusut. Namun kabar itu tak (tuntas) ditelisik, sehingga khalayak hanya bisa bertanya-tanya ada apa di balik kehadiran Jaksa Agung ke Rumah Sakit Pertamina pada Sabtu 12 Januari itu. Baru empat hari kemudian misteri ini sedikit tersibak. Itu pun karena pemerintah melakukan jumpa pers, jadi bukan karena pelacakan media sendiri.
Alih-alih mengungkap cerita di balik berita, pers semata-mata berlomba menyajikan perkembangan paling gres mengenai Soeharto. Khusus untuk televisi, digunakanlah istilah breaking news—ungkapan yang tak tepat karena isinya secara esensial tak baru lagi setelah disiarkan berulang-ulang. Lebih buruk lagi laporan itu disajikan oleh reporter yang terkesan hanya dibekali filosofi ”yang penting asal ada laporan”: tergagap-gagap di depan kamera dengan bahasa yang berlepotan dan informasi yang tak lengkap sehingga malah membingungkan pemirsa.
SIRKUS media bisa dengan mudah membuat para pekerja media kehilangan arah, terjebak dalam psikologi kerumunan yang akan menenggelamkan suara kritis individu. Pada titik inilah agenda media dapat dikendalikan dan dimanipulasi oleh berbagai kekuatan—terutama dari dalam media sendiri.
Dalam kasus Soeharto persoalan ini bertambah penting. Soeharto faktanya masih dililit berbagai kontroversi dari soal gugatan terhadap sejumlah hal di yayasan yang ia pimpin, pelanggaran hak asasi manusia, hingga ke tuduhan kolusi-korupsi-nepotisme. Karena itu, intervensi media untuk memanipulasi emosi khalayak agar bersimpati kepada Soeharto ketika ia sakit menjadi berbahaya.
Banyak pihak yang mengait-ngaitkan upaya meraih iba dan simpati ini dengan media yang sebagian sahamnya dimiliki oleh keluarga Soeharto atau kerabatnya—sesuatu yang diyakini George Junus Aditjondro, peneliti yang mendalami tali-temali bisnis keluarga dan kroni Soeharto.
Upaya memanfaatkan media ini sampai tahap tertentu membuahkan hasil. Suara kor yang meminta agar Soeharto dimaafkan menguat. Pernyataan itu tak hanya datang dari keluarga dan orang-orang dekat Soeharto, melainkan juga oleh media yang sebelumnya dianggap netral bahkan keras mengkritik Soeharto. Pembalikan arah angin juga merambah ke sosok semacam Amien Rais, yang kini telah ikut pula mengimbau agar Soeharto dimaafkan. Sebelumnya, Amien dikenal bersuara lantang dengan mengatakan bahwa pengampunan Soeharto merugikan rakyat. Sebagian besar media tiba-tiba mengambil posisi yang terasa janggal: menampilkan Soeharto sebagai sosok baik, tak memiliki daya upaya serta layak dikasihani, dimaafkan, dan diampuni.
SEBAGIAN dari kita barangkali masih mengenang Soeharto ketika berpidato di Pangkalan Utama Angkatan Laut Teluk Ratai, Lampung, 10 Juni 1994. Dalam pidato tanpa teks itu, dia menembakkan peluru untuk dua sasaran sekaligus: mempertahankan kebijakannya membeli 39 kapal perang bekas dari Jerman Timur seraya mengancam media yang mengkritik keputusannya itu. Kita tahu, sebelas hari kemudian, tiga media, Tempo, Editor, dan Detik, dibredel.
Saya kutipkan pidato Soeharto dalam acara itu yang naskahnya saya ambil dari laporan penelitian Niniek L. Karim dan Bagus Takwin di Kompas, 5 Mei 2000.
”Ada surat-surat kabar yang setengah-setengah mengerti kemudian lantas, eh... mengulang pendapatnya sendiri yang seolah-olah nadanya justru memanfaatkan hal yang mereka kurang jelas itu untuk mengeruhken situasi, mengadu domba, menghasut satu sama lain, kemudian dus sekarang menimbulkan curiga-mencurigai. Mau tidak mau kalo terus-menerus ini merupakan satu gangguan daripada stabilitas politik maupun juga stabilitas nasional, sebab stabilitas nasional merupaken bagian daripada trilogi pembangunan harus kita betulkan daripada mereka. Tidak bisa kita peringatken ya apa boleh buat... ya toh, harus kita ambil tindakan karena apa namanya, mengancam mengganggu daripada trilogi pembangunan yang menjadi tumpuan daripada pembangunan kita itu, baik stabilitas nasional, pertumbuhan maupun juga daripada Pelita.”
Pembredelan tiga media tadi menambah panjang daftar media yang diberangus di era Soeharto. Pada 1983 Jurnal Ekuin dibredel, setahun kemudian Expo, Topik, dan Fokus juga dicabut surat izinnya. Pada 1986 Prioritas ditutup. Sebelum itu, tak lama setelah kasus Malari, 12 penerbitan dibredel berjamaah. Hal yang sama juga terjadi pada 1978.
Soeharto mengendalikan media dengan efektif untuk menjamin tidak ada gangguan terhadap ”pembangunan”. Ini dilakukannya lewat penerapan konsep pers Pancasila, Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), penyaringan ketat terhadap mereka yang bekerja di media, terutama petinggi redaksi.
TVRI dan RRI dijadikannya alat pemerintah, dan dimanfaatkannya untuk berbagai program dan kepentingan menyangga kekuasaan—termasuklah mobilisasi melalui Kelompok Pendengar, Pembaca dan Pemirsa (Kelompencapir) yang legendaris itu. RRI memproduksi berita yang wajib dipancarluaskan oleh 800-an radio swasta. Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), lembaga yang menaungi radio swasta itu, diketuai oleh putri sulung Soeharto, Siti Hardijanti.
Di era Soeharto, kehidupan media pengap dan sesak. Budaya telepon (peringatan dari Departemen Penerangan dan Markas Besar ABRI) membuat media ketakutan dan memberlakukan self censorship. Berita disetir oleh pemerintah dengan alasan keamanan. Sampai hari ini, misalnya, tak ada orang yang tahu jumlah persis korban yang tewas dalam tragedi Tanjung Priok, 12 September 1984.
Di masa Soeharto, pers diliputi awan gelap. Apa yang tampil di permukaan sebagai kemajuan pembangunan dengan angka-angka pencapaian yang fantastis hanyalah fatamorgana. Andai media tidak dibungkam ketika itu, keropos dalam fondasi ekonomi Indonesia itu mungkin bisa dikoreksi sejak jauh-jauh hari. Saya lalu teringat Amartya Sen, pemenang Nobel ekonomi yang masyhur itu. Katanya: kelaparan hanya akan terjadi di negeri yang medianya dibatasi.
Di tengah sirkus media yang gempita melaporkan Soeharto sakit, terasa mengherankan bila sebagian besar media itu seperti alpa akan kegelapan yang menimpa mereka pada masa Orde Baru.
Mengapa? Mungkinkah karena media-media yang melagukan kor memaafkan Soeharto telah membuang dendam lama mereka? Atau karena ada kekuatan pro-Soeharto—yang diuntungkan oleh mantan presiden itu—yang masuk ke media melalui kekuatan modal dan menyetir isi media-media itu? Kemungkinan kedua itulah yang agaknya kini tengah terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo