Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA ketinggian 22 ribu kaki dan kecepatan 800 kilometer per jam, di jendela kursi 20A penerbangan Mandala RI-660 itu muncul sepenggal daratan—tegar dan angkuh. Penumpang di kursi 21B, yang saya kenal ketika pesawat stop over di Bandar Udara Hasanuddin, Makassar, menggamit dari belakang. ”Itu Pulau Buru, Pak,” katanya, dengan gaya pemandu wisata.
Lelaki malang, pikir saya. Tak tahu dia saya menghabiskan delapan tahun di pulau itu, delapan tahun dari usia paling produktif seorang manusia! Inilah untuk pertama kalinya saya menyaksikan Pulau Buru dari angkasa: betapa perkasa. Pulau dengan luas 9.000 kilometer persegi, berhias hutan sekitar 3,6 juta hektare, ini pernah menjadi karantina bagi sekitar 13.000-an ”tahanan politik” yang tidak pernah diajukan ke pengadilan mana pun. Betapa ajaib.
Di bawah bayang-bayang awan, daratan berbukit-bukit yang menjuntai langsung ke haribaan laut itu terpetak-petak dalam raster gelap dan terang, hijau dan kuning berkarat. Tak bisa saya kenali mana hutan sagu, mana ladang kayu putih, mana rawa bakau, mana hutan semak berbagai-bagai. Dan paling pen-ting: mana sawah dan ladang palawija beratus-ratus hektare yang ditinggalkan para tahanan dan kini menjadi lahan olahan para transmigran.
Tak tampak juga Wayapu, sungai yang berkuala ke Teluk Kayeli, dengan mata air entah di mana di hulu sana, yang kemudian memberi nama untuk sekujur kawasan yang ”diokupasi” oleh Instalasi Rehabilitasi Pulau Buru: Lembah Wayapu.
Dari kokpit pesawat Boeing 737-200 itu terdengar- peng-umuman, pesawat akan mendarat beberapa- saat- lagi. Cuaca cerah berawan. Setelah dua jam pe-nerbang-an Jakarta-Makassar, istirahat 20 menit di -Bandar Udara Hasanuddin, 80 menit kemudian- pe-sawat dengan penumpang penuh itu mendarat di Ban-dar Udara Pattimura, Ambon. Mendadak saya bertambah tua dua jam karena perbedaan waktu Jakarta-Ambon.
TAK pernah saya membayangkan akan kembali ke pulau pembuangan itu, entah mengapa. Karena itu, tak ada ”persiapan emosional” ketika saya memandangi laut dan ombak yang dibelah oleh kapal cepat Express Bahari I, yang menyeberangkan saya dari Ambon ke Namlea, ibu kota Kabupaten Buru, Maluku Tengah. Dengan kapal cepat ini hanya dibutuhkan waktu tiga jam mencapai Namlea dari Ambon.
Tidak sembarang waktu bisa menyeberang ke -Pulau Buru. Hampir setiap malam, memang, ada kapal- motor lokal bertolak dari Ambon, dan membutuhkan pelayaran semalam suntuk. Cuma, pada musim ombak mulai besar, seperti ketika saya menyeberang akhir Agustus lalu, dibutuhkan keberanian lumayan—bahkan mungkin sedikit kegagah-perkasaan—untuk menumpang kapal buatan galangan setempat itu, yang tak terlalu jelas uji kelayakannya.
Dulu ada penerbangan perintis. Namlea punya lapangan terbang sekadarnya, yang dibangun pada masa pendudukan Jepang. Satu di antara kuli romusha yang ikut membangun lapangan terbang itu dua puluhan tahun kemudian dibuang sebagai tahanan politik ke Pulau Buru. Bersama dua tahanan lain ia kemudian melarikan diri, menggunakan rakit, menghilir dari Wayapu ke laut lepas. Inilah usaha pelarian pertama dari Pulau Buru. Mereka tak pernah ditemukan. Ada yang mengatakan seorang di antara-nya berhasil mencapai pantai Australia, wallahua’lam bissawab.
Setelah biaya operasional penerbangan makin mahal-, penerbangan perintis itu kini antara ada dan tiada-. Terbatas hanya sekali-sekali, terutama jika ada pejabat penting, atau yang menganggap dirinya- pen-ting, memerlukan berkunjung ke Pulau Buru. Ke-ti-ka- berkampanye untuk kursi wakil presiden, Jusuf Kalla sempat mengunjungi pulau ini, 20 Maret 2003. Di alun-alun Namlea ia berpidato, antara lain me-ngatakan tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan dengan sejarah masa lalu berkait dengan PKI.
Sejarah masa lalu yang mana? Barangkali ada masalah yang tidak terlalu sederhana antara yang membuang dan yang dibuang. Ketika berbicara tentang ”perjuangan bangsa Indonesia dalam mengusir penjajahan Belanda”, Jenderal Sumitro mengatakan pada 10 Oktober 1973, di depan sejumlah tahanan politik di Unit II Wanareja, Pulau Buru, ”…semua partai politik telah berjasa, termasuk juga PKI.” Kita kemudian tahu apa yang terjadi dengan nasib mantan Pangkopkamtib itu.
PETANG baru menjadi ketika saya menginjakkan kaki di dermaga Namlea, 20 Agustus 2005. Alangkah absurdnya ”sejarah masa lalu”. Kurang sepekan lagi, genaplah 34 tahun ketika saya pertama kalinya meng-injakkan kaki di pelabuhan antah-berantah ini, 27 Agus-tus 1971. Hampir tak ada yang berubah. Masjid- kecil itu masih di sana, bertengger di bibir pantai agak ke timur, dengan cungkupnya berkilat-kilat.
Namlea, sejak dulu kala, bukanlah kota yang bergegas. Hidup berjalan lamban di sini, seperti pemancing yang berayun terkantuk-kantuk di sampan kecil di tengah Teluk Kayeli sana, mengharapkan ikan seekor dua, untuk dijual di tepi-tepi jalan menjelang malam. Satu di antara penanda ”kemajuan”, barangkali, adalah ojek yang pating sliwer berkejaran mengincar penumpang, tapi tetap dengan gaya santun.
Tak ada ucapan selamat datang. Berbeda dengan 34 tahun silam, ketika entah berapa kompi tentara dari Ko-dam Pattimura mengawasi kedatangan ”konti-ngen” saya dengan mata nyalang—tapi sebetulnya juga setengah bertanya. Saya berpaling memandangi- Teluk, mencari tempat berlabuh KM Towuti yang meng-angkut kami dari perairan Cilacap, Jawa Tengah, setelah beberapa hari sebelumnya merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ”daripada” Republik -Indonesia ke-26 di penjara-penjara Nusakambangan.
Keluar dari kawasan pelabuhan, barulah terasa perubahan. Kota jadi sempit, berjejalan toko kedai warung lepau, bahkan penginapan, sejak dari pangkal jalan sampai ke atas perbukitan. ”Kalau tak keberatan, boleh mencoba Penginapan Haider, tempat kami bermalam,” kata Doddy, reporter TV7 dari Jakarta. Bersama kamerawan Rifky dan koresponden Kamaluddin dari Ambon, mereka tiba dua hari se-belumnya di Namlea untuk sebuah liputan.
Penginapan Haider lumayanlah. Saya kebagian kamar paling mewah, yang di tengah-tengahnya ada tiang, entah untuk urusan apa. Penyejuk udaranya bagus. Pagi dan sore tamu mendapat teh—atawa kopi, tergantung permintaan—dan juadah. Kalau muncul sejenis lemper yang dibakar dengan isinya yang unik dan sedap, semua tamu merasa terhibur. Lemper jenis- ini tak saya temukan di seantero Pulau Jawa.
Haider itu nama anak bungsu—dari tiga bersaudara—pemilik penginapan, seorang keturunan Arab-Bugis yang ramah dan lincah. Haider ini sekitar delapan tahun, pendiam, dan agak seenaknya. Pada suatu pagi saya menemukan dia tertidur pulas di sofa lobi penginapan, tepat di depan ”resepsionis”. Tak ada yang berani mengganggu. Pagi hari ada nasi campur di pinggir jalan di depan penginapan, jualan seorang perempuan Buru. Enak.
Sebelum menyeberang ke Buru, kepada teman di Ambon saya mengatakan akan menyewa perahu layar untuk mencapai Pantai Sanleko, sebelum menjelajahi- bekas unit-unit Inrehab Buru. Teman itu ketawa terbahak-bahak. ”Sudah seng model lai, Broer,” kata-nya. ”Semua orang dari Namlea ke Mako mengguna-kan mobil, jalan mulus, aspal hot mix.”
Teman-teman TV7 mengatakan telah menemukan seorang ”pemandu”, eks Inrehab Buru, yang mengenal lapangan dengan baik. ”Jangan terlalu percaya,” kata saya. Apalagi setelah mereka menyebut nama-nya, Abdurahman Hukom, yang sama sekali tak saya ingat. Tapi mereka bersiteguh memakai ”pemandu” ini, yang mereka nilai sangat jitu dan bisa diandalkan-.
RUMAH di samping satu-satunya tugu di Kota Namlea itu tak berbeda dengan rumah-rumah lain di Namlea. Cuma lebih bersih, tampak terpelihara. Setelah menunggu sejenak, muncullah sang ”pemandu”, seorang laki-laki tinggi besar hitam, mirip pemeran jin dalam ketoprak Jawa, dengan suara yang juga meletup-letup. Saya memperhatikannya dengan curiga.
Dia mengulurkan tangan setelah saya diperkenalkan. Saya biarkan tangannya menggantung. ”Ada salam dari Paulus,” kata saya. Dia terperangah sejenak. ”Kah?” katanya. ”Tapi beta dengar ongtua su mati.” Ia memandang saya dengan curiga. ”Pak Sobari juga kirim salam,” saya melanjutkan. Dia ter-sentak. ”Subhanallah! Bapak siapa?”
Paulus yang saya sebut adalah Paulus Hutaha-yan, ekonom lulusan Universitas Lomonosov, Moskow, yang setelah pulang ke Tanah Air menjadi pejabat tinggi salah satu bank pemerintah, ditangkap, dibuang ke sini, pulang, dan memang sudah mening-gal. Sobari itu lengkapnya Sobari Hartono, pernah asisten Menteri Perhubungan Laut Ali Sadikin, mendekam juga di pulau ini, dan alhamdulillah masih segar-bugar.
”Bapak siapa?” jin ketoprak itu kembali bertanya-. Saya sebut ”kampung halaman” saya: Unit XVI Indrakarya. ”Beta administratur di sana, ale seng inga’?” kata saya. ”Belakangan beta pindah ke Mako, sampai pembebasan terakhir.” Setelah ternganga beberapa jenak, ia menangkap tangan saya, mendekapkan tubuh saya ke perutnya yang buncit dan berguncang-guncang, sembari berulang-ulang menyebut sub-hanallah.
Meski tak tercatat dalam sejarah, Abdurahman Hukom alias Man Hukom memang tokoh istimewa. Dia dulu pegawai sipil Inrehab Pulau Buru, anak muda dua puluhan tahun dengan celana cutbray, kemeja sempit, rambut ikal sebahu dan selalu bergerak kian kemari. Cepat kaki ringan tangan. Dia cekatan membantu siapa saja, mulai staf pemerintah sampai staf dari kalangan tahanan politik, antara lain Paulus dan Sobari itu.
Dia turut ke Jakarta pada pembebasan terakhir para tahanan politik dari Pulau Buru, 1979. Selama di Jakarta, katanya, ke mana-mana rombongannya lebih suka berjalan kaki, supaya tidak mudah ter-sesat. Ketika Inrehab Buru bubar, ia mendapat pe-sangon seekor lembu betina berikut anaknya. Tak lebih tak kurang. ”Piagam penghargaan pun seng ada,” katanya.
Man sering bercerita, ia sebetulnya keturunan Beta-wi. Marga ”Hukom” itu semacam pemberian dari komunitas tempat ia lahir dan dibesarkan. Tapi pada saat lain ia menuturkan, nenek moyangnya berasal dari Bagdad, dan ikut membangun jalan raya dari Mekah ke Jeddah. Saya tak pernah membantah cerita- ini.
Man Hukom adalah pemandu yang luar biasa. Dia ingat nama semua komandan Inrehab Buru, be-be-rapa di antaranya bahkan berikut nomor surat peng-angkatan-nya. ”Kapan rombongan saya tiba di sini, Man?” saya bertanya. Tanpa kelihatan berpikir, ia menyahut, ”Tanggal 27 Agustus 1971, komandan waktu itu Bapak Letkol CPM A.S. Rangkuty, asisten pembinaan mental Bapak Mayor CPM Djalaluddin Pane.”
Saya kabarkan kepadanya, kedua orang itu sudah almarhum. ”Rangkuty sempat jadi Wali Kota Medan untuk dua kali masa jabatan, Djalaluddin jadi Bupati Labuhan Batu,” kata saya. ”Beta dengar juga begitu,” katanya, dengan wajah disedih-sedihkan. ”Ale pung anak su berapa, Man?” saya bertanya sambil lalu.
Wajahnya mendadak murung. ”Beta seng kawin sampe sekarang,” kata pria 63 tahun itu. Saya terdiam. Kelak, di tengah perjalanan, dia bercerita tentang asmaranya yang putus di tengah jalan, pokok-nya patah hatilah. Lalu dia bergumam, ”Cinta di atas cinta!” Dalam hal sumpah-serapah, Man rada mirip Kapten Haddock. Dia punya sejumlah carut-marut, semacam ”cuka minyak”, ”kutu air”, ”kereta api kaki seribu”—antara lain yang layak dikutip secara ter-buka.
DI DEPAN bangunan reyot di tengah lapangan itu, saya terdiam dengan bulu roma merinding. Saya teringat gambar-gambar mammoth yang ditemukan membeku di tengah padang es. Inilah satu-satu-nya bangunan era Inrehab Pulau Buru yang masih tersisa- di sekujur Lembah Wayapu: gedung kesenian Unit IV—yang kini lebih dikenal sebagai Desa Savanajaya. Bangunan ini ditegakkan pada 1972.
Savanajaya merupakan proyek pedesaan pertama Inrehab Buru. Unit ini paling dekat ke Pantai Sanleko, selain Unit XIV Bantalareja, atau Unit Ancol, yang digunakan sebagai kamp isolasi. Ketika peme-rintah mulai mendatangkan keluarga para tahanan- ke pulau ini, tempatnya adalah Savanajaya. Desa jadi-jadian ini juga banyak dipilih para tahanan yang memutuskan tinggal di Pulau Buru ketika pe-rintah pembebasan diumumkan.
Saya lihat beberapa orang berkerumun di dalam ”gedung kesenian”, dengan Man Hukom sebagai pembicara tunggal. Pelan-pelan saya mendekat. ”Kenal ini?” kata Man kepada orang-orang yang berkerumun itu, sambil menuding saya. Mereka memandangi- saya dengan sikap sopan, sedikit membungkukkan badan, berusaha santun.
Saya sebut nama saya sambil mengulurkan ta-ngan. Mereka terperangah. ”Ingat, kan?” Man makin menggebu. ”Pengurus Unit XVI, yang dulu ikut meng-urus pembunuhan di sana?” Mereka menghambur menerkam saya satu per satu, memeluk seolah-olah tak ingin melepas.
Saya sibuk menyembunyikan mata saya yang basah. Saya mulai mengenali mereka: Diro Utomo, Tarwan Sitepu, Hartowiyono, Supariyo, Hartowiyono, Ni’in Betawi, kemudian menyusul Karim, dulu teknisi yang pandai memperbaiki radio dan televisi di Markas Komando—kini jadi Desa Mako. Mereka tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Tapi mata mereka tetap berkilat-kilat, memancarkan daya hidup yang lebih kuat dari daya tahan saya.
”Apa yang terjadi pada kalian?” saya berbisik kepada Diro, setelah mengajaknya duduk di tugu prasasti- Desa Savanajaya. Di sekitar kami padang rumput yang setengah terawat, dengan batu lombo di mana-mana—istilah orang Maluku untuk tahi sapi. Mereka mengingatkan saya untuk hati-hati melangkah, tapi ternyata kaki saya sudah kembali ke masa silam, tak sedikit pun menyentuh ”dodol Nabi Sulaiman” dalam Kisah Pelanduk yang Cerdik itu.
”Tak ada yang istimewa,” kata Diro. ”Semua biasa-biasa saja.” Diro, kini 62 tahun, berasal dari Boyolali, Jawa Tengah. Kawan-kawan lain berangsur-angsur mendekati kami, melingkar di seputar prasasti, seraya tak henti-hentinya tersenyum memandangi saya. ”Apa yang membuatmu memutuskan tinggal di sini, Diro?” Ia memandang saya dengan kumis putih yang mengingatkan saya pada Buffalo Bill.
”Saya ingin tahu Buru itu akhirnya akan seperti apa,” katanya, setengah menggeram. Gila, pikir saya. Diro menikah dengan wanita setempat, punya anak tiga, punya warung, juga bengkel furnitur. ”Sekadar usaha,” katanya. Sawahnya lebih luas dari jatah yang dua hektare, karena belakangan ia membeli sawah-sawah penghuni lain yang dijual karena butuh uang atau mau pulang ke Jawa.
Kami akhirnya berkumpul di ruang keluarga Diro, di sebelah warungnya. Dia menyuguhkan es jeruk dan sejenis kerupuk yang terus-menerus saya ku-nyah untuk mengurangi nervous. Di samping rumah ada dua meja biliar. ”Itu usaha adik ipar saya,” kata Diro.
Sebatang sosok tampak melenggang di jalanan, menuju rumah tempat kami berkumpul. ”Coba, itu siapa?” Diro bertanya pada saya. Ya Allah, itu Daryun, Daryun Suwardi, asal Pacet, Jawa Barat, dulu teman satu kamp, yang saya tinggalkan dengan tubuh jangkung perkasa, dan kini ompong berantakan. Dia menerkam saya, dan berusaha tidak melihat mata saya yang basah….
KAMPUNG yang saya huni selama delapan tahun itu tak saya kenali lagi. Tak satu pun penanda dari masa silam masih tersisa. Pak Suparman, transmigran asal Jawa Timur itu, menyalami dan meng-ajak saya masuk ke rumahnya. Di dinding tergantung potret putranya, dalam seragam pasukan komando-. Di rumah ini saya akan berjumpa dengan Moses -Tahitu, dulu tahanan paling bandel dan sering sekali merepotkan saya.
Moses lahir di Wai, Ambon, dan dalam usia muda sekali merantau ke Jawa, bekerja di pabrik gula di Jawa Timur. Di sana ia masuk serikat buruh tanpa tahu duduk perkara, lalu dikejar-kejar setelah G30S meletus. Moses lari ke Jakarta. Usianya 18 tahun ketika itu. Di Ibu Kota, ia ditangkap, dan bertemu de-ngan saya di Rumah Tahanan Salemba.
Saya memperhatikan ia muncul di jalanan, terbungkuk-bungkuk dengan tubuhnya yang pandak, lalu masuk rumah dengan pandang bingung. Saya membuka percakapan, ”Ale kenal betakah seng?” Masya Allah, dia tak mengenal saya. ”Seng inga’, Bapak,” katanya. ”Lihat baek-baek, inga’kah seng?” Dia tetap menggeleng, malah mulai tampak gusar.
Saya menyebut nama. Moses menghambur ke de-kapan saya, menggerung-gerung. Saya kehilangan kata-kata. Apa sebetulnya yang memisahkan kami? Mengapa ”nasib” demikian anehnya sehingga, setelah 26 tahun, kami harus hidup di dunia yang terpisah luar biasa? Moses, anak bandel ini, sudah punya bayi dari penduduk setempat sebelum kami berangkat pulang.
Ia akhirnya menikahi perempuan itu, Muka Belen namanya, anak Kepala Desa Badalale bernama Manakati, yang berkawan dengan saya. ”Apa kabar istrimu?” saya bertanya. Dia me-nangis lagi. Muka Belen sudah mening-gal-, mewariskan kepada Moses ti-ga anak. Setelah itu Moses menikah- lagi de-ngan perempuan Jawa asal Kediri, man-tan istri kepala SD di kampung itu, yang lari berselingkuh de-ngan perempuan lain.
Saya berjalan di bekas kampung ha-laman itu, tak satu pun bangunan lama tersisa. Tapi, dengan merujuk jaringan irigasi yang tak berubah, saya berhasil menemukan situs-situs masa lampau: kamar saya di belakang gedung keseni-an-, barak-barak dulu, rumah komandan, rumah sakit tempat 13 teman satu kamp meninggal—satu di antaranya gantung diri.
Saya ziarahi makam di atas bukit itu, yang sudah- tersuruk oleh rimbun ilalang. Saya dulu ikut me-nguburkan mereka. Kami pilih pinggang bukit di tepi jalan ini, ketika itu, supaya tak terjamah air bila—mungkin—di masa depan kawasan itu tercapai banjir. Juga supaya kami mudah berziarah pada masa tua kami di pulau itu, di ”Negeri Penghabisan” dalam bayangan kami.
Saya berjalan mengitari lorong-lorong masa lampau yang tak berubah—satu-satunya yang tak ber-ubah selain saluran irigasi. Mencoba mengenali batang-batang pohon yang dulu saya tanam di sana. ”Durian itu sudah berbuah, Paitua,” kata Ali, penduduk Badalale, yang dulu ketika saya tinggalkan masih berusia 13 tahun. Saya pernah menangkap dia mengutil ubi jalar, sepulang dari sekolah.
Dia tersipu-sipu ketika saya ingatkan peristiwa itu. Tapi kemudian dia, dan penduduk desa yang lain, maklum, saya menangkap dia karena dia me-ngutil ubi jalar yang masih muda, yang belum enak dimakan. Mereka akhirnya tahu, kalau ingin ubi -jalar tak perlu mengutil, tapi cukup mengatakan kepada kami, supaya dipilihkan ubi jalar yang tua, legit, dan manis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo