Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Presiden Tak Jadi Panen

Meski dampak kerusuhan Ambon sempat merembes ke Pulau Buru, kemampuan produksi sawah meningkat tiga kali lipat. Industri minyak kayu putih justru jalan di tempat.

26 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TULISAN di plang itu seperti hendak menyapa hangat setiap orang yang melintas: Lokasi Pa-nen Raya Oleh Bapak Presiden RI, 20 September 2005. Terletak persis di pusat Desa Waenetat, yang tiga dekade lalu dikenal sebagai Mako Inrehab (Markas Komando Instalasi Rehabilitasi), lokasi panen raya itu makin mengukuhkan status sentra beras bagi pulau ketiga terbesar di Maluku ini—setelah Pulau Halmahera (Maluku Utara) dan Pulau Seram (Maluku Tengah).

Tapi pada Selasa, 20 September, Presiden Yudho-yono tak mampir di Buru. Waktunya tersandera di Ja-karta, sibuk mengkampanyekan cara mengkonsumsi- daging ayam secara benar akibat merebaknya flu burung di kebun binatang Ibu Kota. Walhasil, inilah pembatalan panen kedua, setelah rencana panen raya pertama pada Agustus lalu juga tertunda. Saat itu, ratusan hektare padi di pulau yang memiliki garis pantai 427,2 kilometer ini diserang hama jenis ulat loreng. Beruntung, serangan hama yang lebih parah bisa diatasi.

Di tengah semakin gencarnya rencana pemerintah mengimpor beras, keberhasilan Buru menjadi lumbung padi bagi kawasan Maluku adalah prestasi tersendiri yang dicapai M. Husnie Hentihu, Bupati Buru. Kerusuhan Ambon yang meletup pada 1999 ikut merembes dan berkobar di Buru sampai 2002. -Sehingga, praktis baru tiga tahun terakhir sektor per-tanian dan perkebunan kembali menggeliat. ”Tiga tahun lalu, satu hektare sawah hanya menghasil-kan maksimal 2 ton, kini bisa menjadi 5-6 ton,” ujar -Hentihu kepada Tempo.

Dengan 70 persen penduduk yang hidup dari sektor pertanian dan perkebunan, keberhasilan panen raya menunjukkan penyehatan ekonomi rakyat yang cukup berarti setelah banyak lahan ditinggalkan pemiliknya akibat konflik horizontal. Pada 2002, sektor pertanian masih tertinggal jauh oleh sektor perkebunan yang menghasilkan komoditas kopi, kelapa, kakao, cengkeh, dan jambu mete, yang seluruhnya merupakan perkebunan rakyat.

Buru juga identik sebagai pulau kayu putih (Melaleuca cajuputi). Meskipun tanaman ini hampir tidak- pernah dibudidayakan secara khusus, habitatnya mudah ditemukan di berbagai hutan, terutama di Ke-camatan Namlea, Waplau, dan Waeapo, dengan total lahan sekitar 120 ribu hektare. Kerapatan per hektare adalah 100-160 pohon. Pohon kayu putih yang daunnya dipanen secara reguler biasanya memiliki tinggi 1-2 meter. Jika tak dipanen, ketinggian pohon bisa mencapai 20 meter.

Situs Iptek.net yang dikelola BPPT menyebutkan daun kayu putih yang kelat dan hangat karena me-ngandung minyak atsiri memiliki khasiat penghilang rasa sakit (analgetik), peluruh keringat (diaforetik), antirematik, peluruh kentut (karminatif), dan pereda- kolik (spasmolitik). Sedangkan buahnya yang aromatis dan pedas bisa meningkatkan nafsu makan (stomakik).

Secara umum penyakit yang dapat diobati adalah reumatik, radang usus, diare, radang kulit, batuk, demam, flu, sakit kepala, sakit gigi, eksim, nyeri pada tulang dan saraf, lemah tidak bersemangat (neurasthenia), susah tidur, dan asma. Sayangnya, sampai sekarang kayu putih tidak pernah dibudidayakan khusus, hanya hidup alami di hutan atau lahan milik penduduk.

Proses pembuatan minyak kayu putih umumnya dilakukan dengan teknik penyulingan sederhana di rumah ketel, seperti dilakukan La Iku, 56 tahun, yang menginvestasikan Rp 4 juta untuk membuat rumah ketel setelah kerusuhan Ambon. Dengan 10 orang yang bekerja dua shift, pagi (pukul 6-9) dan sore (pukul 3-5), daun-daun kayu putih diuru (di-petik) dan didiamkan selama 3-4 hari agar kering.

Setelah kering, daun siap direbus dengan perbandingan 300 kilogram daun untuk 80 liter air. Ketel tempat perebusan daun dihubungan dengan ketel untuk pengembunan (kondensasi) melalui sebuah kepala ketel. Uap yang dihasilkan dari rebusan daun lalu mengalir melalui kepala ketel memasuki trompong, yang bentuknya seperti knalpot motor, dan terendam dalam air dingin di ketel pengembunan.

Lewat pipa pendingin di ujung trompong, keluarlah minyak kayu putih yang masih bercampur dengan sedikit sisa air. Campuran larutan ini ditampung dalam jeriken di luar ketel. Karena berat jenis minyak kayu putih lebih ringan dibandingkan air, minyak kayu putih itu akan berada di atas air. Untuk memisahkannya, bagian bawah jeriken diberi lubang kecil sehingga air keluar dari jeriken perlahan-lahan.

Setelah rangkaian proses yang biasanya memakan waktu empat jam itu, dihasilkan dua liter minyak kayu putih (lihat infografik). Minyak kayu putih itu oleh La Iku dikemas dalam botol besar (620 mililiter) dan botol kecil (310 mililiter). Dalam sebulan, rumah ketel yang dikelolanya baru bisa memproduksi 300 botol besar. ”Pasarnya juga hanya untuk Pulau Buru, belum bisa ke Ambon,” katanya.

Keterbatasan produksi juga disebabkan oleh penggunaan teknologi yang sederhana. Menurut La Iku, Dinas Perkebunan pernah memberikan bantuan berupa ketel kuning-an. Namun, dalam proses merebus daun, ketel kuningan lebih cepat panas dibandingkan dengan ketel kayu yang selama ini dipakai. Akhirnya, ketel bantuan itu hanya teronggok sia-sia tak digunakan.

Potensi ekonomis kayu putih juga pernah dikaji oleh Institut Pertanian Bogor, beberapa tahun lalu, lewat proyek pembuatan permen pelega tenggorokan, sebagai alternatif dari permen mentol yang lebih dulu populer. Tapi sekarang tak terdengar lagi gaung penelitian itu, yang jika bisa dilaksanakan tentu akan banyak menyerap tenaga kerja lokal dan memutar roda perekonomian lebih cepat.

Akmal Nasery Basral

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus