Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seniman-seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat adalah pekerja seni yang bisa diandalkan untuk mengerjakan proyek besar. Karena itulah Presiden Sukarno meminta seniman Lekra menghiasi hotel milik negara, seperti Hotel Indonesia di Jakarta, Ambarrukmo di Yogyakarta, Bali Beach Hotel di Sanur, dan Pangandaran Beach Hotel di Jawa Barat.
Di empat hotel ini, seniman Lekra membuat relief, patung taman, mozaik, dan lukisan. "Ada lukisan besar karya seniman Gambir Anom dipajang di Hotel Indonesia," ujar pelukis Djoko Pekik, yang pernah aktif di Lekra, dua pekan lalu.
Sejumlah patung di Jakarta yang bisa kita lihat hingga saat ini—semisal Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia dan Patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng—juga mendapat sentuhan seniman Lekra, Trubus, meski pematung utamanya Edhi Sunarso bukan anggota Lekra. Pelukis Lekra, Sudjojono, juga diminta membuat relief yang fenomenal di Bandar Udara Kemayoran, Jakarta.
Bagi seniman Lekra, yang berkesenian dengan politik sebagai panglima, berkarya adalah bagian dari perjuangan. Meski tak langsung berada di bawah Partai Komunis Indonesia, seniman Lekra bekerja seperti mesin politik. "Karena seniman Lekra pekerja kebudayaan yang ilmunya tak diperoleh di sekolah, tapi di masyarakat," kata Hersri Setiawan, mantan Sekretaris Umum Lekra Jawa Tengah.
Ini seperti kewajiban bagi para seniman. Keharusan ini juga berlaku pada Permadi Lyosta, kini 83 tahun. Agar terhindar dari kewajiban itu ia pindah dari Yogyakarta ke Bali pada akhir 1950-an untuk menghindari pembuatan patung pesanan negara. "Karena saya batuk-batuk terus kena debu," ujarnya kepada Tempo, 6 September lalu.
Meski tak lagi mengerjakan patung pesanan negara, Permadi tak berhenti bekerja untuk kebudayaan rakyat. Pelukis dari Sanggar Pelukis Rakjat ini mengkoordinasi seniman di Bali jika ada permintaan kegiatan untuk partai atau Lekra pusat. Biasanya mereka meminta penari atau pemain gamelan untuk acara atau pameran seni rupa di dalam dan luar kota. Pernah juga dia mengadakan pameran dan memimpin rombongan perupa pameran ke beberapa negara Eropa.
Selain berkarya dalam proyek besar, para seniman Lekra aktif menyelenggarakan pementasan, baik acara 17 Agustusan, sekatenan, ketoprak keliling, maupun pameran seni rupa. Seniman Bumi Tarung di Yogyakarta, yang berafiliasi dengan Lekra, kerap berdiskusi tentang seni bertema buruh dan tani.
Seniman ketoprak di Yogyakarta, Bondan Nusantara, mengatakan kelompok ketoprak juga menggelar pertunjukan atau pementasan yang kritis dan progresif revolusioner. Kelompok ketoprak seperti Kridomardi pimpinan Cokrojadi mementaskan lakon yang diubah ceritanya sesuai dengan visi-misi organisasi. Misalnya lakon Suminten Edan, yang berakhir dengan cerita poligami. "PKI dan Lekra antipoligami, diubah ceritanya." Atau Bandung Bondowoso, yang bercerita tentang pembuatan seribu candi, diubah ceritanya menjadi kerja paksa yang menindas rakyat.
Karena ini adalah perjuangan, mereka tak berniat mengkomersialkan karya. Bahkan tak jarang mereka harus menyisihkan pendapatan buat membiayai kegiatan kesenian untuk rakyat. Para pemain dan anggota Badan Kontak Ketoprak Seluruh Indonesia rela menyisihkan 10 persen penghasilannya untuk organisasi, perluasan jaringan, dan kongres. Tujuannya meningkatkan kualitas sehingga ketoprak menjadi ujung tombak visi-misi Lekra.
Untuk menghidupi cabang atau ranting, mereka biasa mengandalkan donatur atau iuran anggota. Seperti di Cepu, Blora, tak kurang dari 100 seniman yang bermain di daerah itu rela menyumbangkan uang mereka dan rela tak dibayar demi organisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo