Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Seni untuk rakyat

Upaya Lembaga Kebudayaan Rakyat menancapkan bendera seni untuk rakyat kian terorganisasi pasca-Kongres Nasional. Dengan metode turun ke bawah, para seniman Lekra didorong untuk mengolah tema ”Kehidupan dan Perjuangan Rakyat Pekerja”. media massa, seperti Harian Rakjat dan Bintang Timur, turut berperan menyebarluaskan karya dan pemikiran mereka.

30 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Turba dan jurus 1-5-1
Kongres pertama Lekra berhasil merumuskan Prinsip kerja berkesenian. membangun organisasi lebih sistematik.


Taman Sriwedari di Jalan Brigadir Jenderal Slamet Riyadi Nomor 275, Kota Surakarta, bersolek. Gapura dihiasi lukisan, tiang bendera Merah Putih dan umbul-umbul dipancang sepanjang tepi jalan. Di area Taman tergelar sembilan pameran: pertunjukan musik dan tari, seni lukis, drama, patung, poster, penerbitan, pakaian adat, sampai instrumen tradisional.

Di panggung utama tampil bergantian ludruk, ketoprak, wayang orang, reog, tarian, dan nyanyian. Begitulah Harian Rakjat edisi 31 Januari 1959 menggambarkan kemeriahan hajatan bernama Pesta Kebudayaan itu. Koran trompet Partai Komunis Indonesia itu menyebut acara ini paling meriah dalam sejarah pergelaran seni di Surakarta.

Presiden Sukarno pun berkunjung pada hari pertama. Dia malah turun menari bersama rakyat. Setiap malam jumlah pengunjung mencapai 9.000-15 ribu orang. Pekan Kebudayaan selama sepekan sejak 23 Januari 1959 itu merupakan bagian dari Kongres Nasional I Lembaga Kebudayaan Rakyat, yang dibuka esok harinya. Inilah kongres pertama dan terakhir Lekra sekaligus bukti kebesaran organisasi yang berdiri pada 17 Agustus 1950 itu.

Kongres itu memperlihatkan Lekra yang matang sebagai gerakan kebudayaan. Bukan hanya mukadimah direvisi dan peraturan dasar diputuskan, juga struktur diperjelas, dan arah serta sikap dirumuskan. Di situ tugas dan kedudukan rakyat dipertegas: "rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan".

Hersri Setiawan, 77 tahun, saat itu Sekretaris Umum Lekra Jawa Tengah, terlibat dalam kepanitiaan dan menyusun acara. Menurut dia, kongres sukses karena berhasil merumuskan Prinsip 1-5-1, yang menjadi pedoman gerakan kebudayaan dan arah kerja Lekra. Prinsip 1-5-1 adalah kerja kebudayaan yang bergariskan politik sebagai panglima dengan lima kombinasi: meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, tradisi baik dan kekinian revolusioner, kreativitas individual dan kearifan massa, serta realisme sosial dan romantik revolusioner. Semua dipraktekkan dengan metode turun ke bawah (turba).

Hersri mengatakan entah dari kearifan siapa Prinsip 1-5-1 muncul. Yang pasti bukan dari Njoto seorang, melainkan diturunkan dari kongres. Tapi yang mendengungkan konsep politik sebagai panglima adalah Njoto dalam pidatonya. Menurut anggota Sekretariat Pimpinan Pusat Lekra yang juga Wakil Ketua Central Comite PKI itu, politik dan kebudayaan harus diletakkan di tempat yang semestinya. "Kekeliruan besar mempersilakan kebudayaan berjalan sendiri, polos, tanpa bimbingan politik," tulis Njoto.

Dalam pandangan Putu Oka Sukanta, 74 tahun, anggota Lekra yang juga penulis, Prinsip 1-5-1 semacam tuntunan penciptaan. "Ini hanya bacaan teori. Tidak ada yang mengharuskan. Boleh jadi kebanyakan seniman Lekra tak tahu," katanya.

Meski tidak ada keharusan, yang jelas perumusan 1-5-1 dalam kongres itu didengar oleh wakil Lekra dari berbagai daerah di Indonesia. Joebaar Ajoeb dalam Laporan Umum-nya menyebutkan kongres itu dihadiri wakil seluruh Lekra daerah. "Sekarang belum pasti berapa jumlah anggota kita, tapi yang terang jumlahnya tak seperti dikatakan pepatah: 'bisa dihitung dengan jari tangan sebelah'," seperti ditulis Sekretaris Umum Lekra 1957-1965 itu.

Soal jumlah anggota memang kontroversial. Oey Hay Djoen, anggota Sekretariat Pimpinan Pusat Lekra, dalam acara Diskusi Bulan Purnama pada Januari 2002 mengatakan sudah beberapa kali Lekra gagal meregistrasi anggotanya. "Tidak ada orang yang memegang kartu anggota." Menurut Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, "Jumlah front intelektual PKI, Lekra, mencapai 100 ribu orang pada Mei 1963."

Oey (wafat pada 2008) mengatakan orang-orang Lekra adalah anggota di basis-basis kesenian, seperti Pelukis Rakjat dan Ludruk Marhaen, yang sudah ada sebelum Lekra. "Mereka bangga menyebut diri anggota Lekra." Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, menyebutkan Lekra turut berperan dalam keberhasilan PKI masuk empat besar pada Pemilihan Umum 1955. "Kampanye PKI sejak awal menyertakan grup-grup kesenian. Inilah jasa orang-orang Lekra."

Sejalan dengan ditelurkannya konsep 1-5-1, Lekra merombak struktur organisasinya. Beberapa bulan setelah kongres, Lekra menyusun enam lembaga kreatif: Lembaga Sastra Indonesia, Lembaga Seni Rupa Indonesia, Lembaga Musik Indonesia, Lembaga Seni Tari Indonesia, Lembaga Film Indonesia, dan Lembaga Seni Drama Indonesia.

Lembaga Seni Rupa Indonesia berdiri pada Februari 1959 dan diketuai Henk Ngantung. Lembaga Film Indonesia didirikan April 1959 dan diketuai oleh Bachtiar Siagian. Lembaga Sastra Indonesia berdiri pada April 1959, ketuanya Bakrie Siregar. Lembaga Musik Indonesia didirikan sesudahnya. Dalam konferensi pada Oktober 1964, LMI mengutuk pencaplokan lagu-lagu Indonesia oleh Malaysia.

Adapun Lembaga Seni Tari Indonesia dibentuk belakangan. Penciptaan tari menjadi fokus pembicaraan dalam konferensi pada 1964. Lembaga Seni Drama Indonesia (LSDI) mengurusi beberapa seni pertunjukan rakyat, seperti ketoprak, ludruk, dan wayang orang. Untuk mengintensifkan seni pertunjukan, lembaga itu menyerukan produksi naskah drama sebanyak-banyaknya.

Menurut seniman berjulukan Pelukis Satu Miliar, Djoko Pekik, 76 tahun, LSDI memiliki struktur dari pusat hingga kecamatan. Sedangkan seniman Lesrupa hanya sampai kabupaten. "Seni rupa ini karya Lekra yang elite," ujar pelukis dari Sanggar Bumi Tarung yang berafiliasi dengan Lekra itu.

Semua lembaga kreatif wajib menarik pengikut atau teman seniman. Hersri, yang bergabung dengan Lekra pada 1958 saat masih mahasiswa, ingat bagaimana dia mengajak sesama seniman. Ia, misalnya, pergi ke Semarang dan setiap malam mengunjungi Pasar Yaik. "Saya lihat wayang thithi setiap Rabu, wayang di Sobokartti, dan wayang orang Ngesti Pandowo. Tiga kesenian ini potensial," kata Hersri, yang sembilan tahun mendekam di Pulau Buru.

"Wayang thithi akhirnya bisa dipegang karena kebanyakan orang Tionghoa itu mau diajak bicara," ucap Hersri. Setelah mendekati para pemain wayang, ia bergerak ke panggung rakyat di Tambak Lorok—permukiman nelayan miskin di pesisir Semarang.

Dengan metode demikian, tak mengherankan bila Lekra menjadi semakin besar. Tiap lembaga memiliki anggota yang militan dan kegiatan yang agresif. Prestasi besar Lembaga Film Indonesia, misalnya, adalah sukses mengampu Festival Film Asia-Afrika III pada 1964, yang diikuti 27 negara. Pergelaran ini lalu diikuti dengan pemboikotan America Movie Picture Association of Indonesia (AMPAI), distributor film Amerika Serikat. Pada pagi hari 16 Maret 1965, ratusan aktivis film Lekra bergerak menduduki gedung AMPAI di Jalan Sagara. "Film2 AS sumber moral bedjat", begitu bunyi salah satu poster.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus