Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Turba Mencari Ide

Kreativitas bisa muncul dengan cara hidup bersama rakyat. Bukan perintah organisasi.

30 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU hari pada 1963, sebuah perintah datang kepada Kusni Sulang. Pemimpin grup musik Merah Kesumba—yang rajin menghibur rakyat di sudut-sudut kampung di Yogyakarta—itu diminta segera datang ke kantor Lembaga Kebudayaan Rakyat Semarang.

Tanpa berpikir panjang, ia langsung menuju terminal bus yang saat itu berada di belakang Pasar Beringharjo—sekarang menjadi Taman Pintar dan pusat penjualan buku Shopping Centre.

Kusni ingat hari itu ia tidak memegang uang sepeser pun. Akhirnya ia menumpang truk pengangkut ayam. Ia sudah biasa nebeng seperti ini. "Aku memang banyak dibantu para sopir truk," kata Kusni seperti ia tulis dalam buku Aku Telah Dikutuk Jadi Laut.

Sesampai di Semarang, Kusni, saat itu 23 tahun, diperintahkan pergi ke Klaten. Ketika itu, di sejumlah desa di sana sedang berlangsung Gerakan Aksi Sepihak menuntut pelaksanaan perubahan sistem agraria dan bagi hasil. Tuntutan ini sesuai dengan Undang-Undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil, yang sama-sama diterbitkan pemerintah pada 1960.

Namun sebenarnya bukan itu misi pokok Kusni ke Klaten. Keterlibatannya dalam Gerakan Aksi Sepihak akan menjadi bahan baginya untuk menulis drama tentang kaum tani. "Kemudian mementaskannya dengan pemain dari kaum tani sendiri," ujar Kusni, yang belakangan dikenal dengan nama Jean Jacques Kusni alias J.J. Kusni.

Dia merasakan langsung gemuruh aksi sepihak bersama-sama dengan petani di sejumlah desa di Klaten, seperti Wedi, Kraguman, Jogonalan, dan Trucuk. Tidak berjarak dan langsung berada di tengah-tengah petani, Kusni bisa merasakan kekuatan kaum tani. "Klaten mulai saya rasakan sebagai kampung kedua," kata Kusni dalam buku Di Tengah Pergolakan: Turba Lekra di Klaten.

Kekuatan itu terlihat ketika pemimpin Gerakan Aksi Sepihak akan menjalani sidang di Pengadilan Negeri Klaten. Kusni menuliskannya: hari itu ribuan petani datang dari berbagai penjuru. Setiap 500 meter, polisi bersiaga dengan senjata otomatis Bren. Tapi itu tidak membuat nyali para petani ciut. Saat pemimpin gerakan Abdul Madjid diturunkan dari truk, para petani mengalunginya bunga. "Aku sendiri hadir di tengah-tengah kaum tani yang mengikuti sidang dari luar," tulis Kusni.

Pengalaman Kusni terlibat dalam Gerakan Aksi Sepihak di Klaten selama 1963-1964 itu menghasilkan drama yang berjudul Api di Pematang. Drama dua babak ini pernah dimuat di Harian Rakjat.

Dalam ulasan di Harian Rakjat edisi 13 September 1964, Api di Pematang disebut sebagai tafsir kenyataan terhadap petani Klaten yang menuntut penerapan Undang-Undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil. Kusni kemudian dijuluki penyair kebangkitan petani oleh penyair dan pemimpin teras Lekra, H.R. Bandaharo.

Api di Pematang mengisahkan kehidupan gadis petani yang, karena keadaan, terpaksa bekerja sebagai pembantu di rumah seorang tuan tanah demi menghidupi keluarganya.

Drama ini telah dipentaskan di Klaten, Yogyakarta, dan Semarang serta di Jakarta dalam Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner, yang diselenggarakan PKI, 1964. Ketua Central Comite PKI D.N. Aidit menyaksikan pertunjukan drama ini dan terharu. "Dan drama itu mengabadikan suatu peristiwa revolusioner masa kini," kata Aidit seperti dikutip dalam ulasan Harian Rakjat.

Dalam tulisannya 26 tahun kemudian, Kusni mengatakan, bagi Lekra, sumber kreativitas dan ide adalah kenyataan yang hidup dan berkembang di masyarakat. Turba atau turun ke bawah adalah cara untuk mempelajari kenyataan itu. Bagi dia, ide dan kreativitas tidak datang dari lamunan. "Seniman yang rajin tidak akan pernah kekeringan ilham selama ia dekat dengan kehidupan," tulis Kusni.

Turba sebagai metode kerja dalam berkarya diputuskan dalam Kongres Nasional Lekra I di Solo pada 1959. Ini dari Mukadimah Lekra yang menyebutkan: "mengandjurkan pemahaman jang tepat atas kenjataan didalam perkembangannjahari depannja" dan "untuk setjara dalam mempeladjari kebenaran jang hakikikehidupan, dan untuk bersikap setia kepada kenjataan dan kebenaran".

Metode turba kemudian dijabarkan dalam "tiga sama": bekerja bersama, makan bersama, dan tidur bersama. "Tidur bersama, ya, artinya tidur bersama warga yang dikunjungi. Makan bersama, ya, makan apa yang dimakan warga," ucap mantan Sekretaris Umum Lekra Jawa Tengah Hersri Setiawan.

Meskipun menjadi keputusan resmi organisasi, menurut Hersri, tidak ada ketentuan dari Lekra kapan dan berapa kali turba harus dijalankan. Kebijakan turba lebih banyak datang dari inisiatif tiap seniman dan kelompok seniman di daerah-daerah. Begitu pula biaya operasionalnya. "Waktu tergantung keadaan setempat. Tidak ditentukan setahun berapa kali. Tidak ketat," kata Hersri kepada Tempo.

Itu misalnya yang dilakukan para seniman yang tergabung dalam Pelukis Rakjat. Seusai hajatan Kongres Nasional Lekra I di Solo, mereka berinisiatif membentuk kelompok kecil berjumlah lima orang untuk mempraktekkan konsep turba dan menamai program mereka dengan "Operasi Gempa Langit".

Dalam buku Lekra Tak Membakar Buku disebutkan, hingga Juni 1959, Pelukis Rakjat sudah melakukan tiga kali turba. Pertama dilakukan di sebuah desa di Gunungkidul. Yang kedua di Tambak Lorok, kawasan pinggir pantai di Kota Semarang. Dan yang ketiga di permukiman kumuh Kota Semarang.

Turba menjadi semacam praktek kerja lapangan bagi para seniman Pelukis Rakjat. Saat turba ke Tambak Lorok, Hersri bersama seniman Pelukis Rakjat lainnya, seperti Martean Sagara, S. Trisno, Wijayakusuma, Harno, dan Yohed Mundja, ikut larut dalam keramaian tengkulak berebut keringat nelayan dengan "tuan ikan".

Hersri mengatakan agenda mereka sudah tersusun rapi. Siang mereka melukis atau membuat sketsa perahu nelayan. Malamnya mereka menonton permainan teater yang dimainkan para nelayan. Sandiwara itu menceritakan keluarga nelayan yang ditindas oleh tuan ikan, tuan tanah di kampung nelayan. Suami tergadai nasibnya, bersabung di tengah lautan; sementara istri dipaksa melayani nafsu tuan ikan.

Bukan hanya Pelukis Rakjat, sejumlah kelompok perupa lainnya, seperti Gempa Langit di Jawa Tengah, Bumi Tarung di Yogyakarta, Maris di Jawa Barat, dan Mawar Merah di Sumatera, menjadikan turba sebagai agenda yang terprogram.

Pada akhir 1950, Hersri "turba" ke Desa Saragedug, tak jauh dari Bandar Udara Adisutjipto, Yogyakarta, sekarang. Ia bertujuan mendata dongeng-dongeng rakyat yang masih dikenal di sana. "Desa ini sering dikaitkan dengan dongeng Bandung Bandawasa dan Naga Bandung, tentang ular yang bertapa dan kepalanya ada di daerah Tuntang, Ambarawa, Kabupaten Semarang," ucapnya. Dari sana dia tahu dongeng asal-muasal lesung dan konser gamelan lesung.

Putu Oka Sukanta, aktivis Lekra asal Bali, juga melakukannya. Sebagai sastrawan, dia berkeinginan membuat novel-novelnya dari kehidupan nyata di lapangan.

Dia pun pergi ke Tambak Lorok, Semarang; Klidang, Batang; dan Bantul, Yogyakarta. "Tidak ada yang luar biasa, tapi saya jadi tahu detail apa yang terjadi di lapangan," ujar pria berambut putih ini.

Dia mengaku tak ada perintah untuk menulis ini-itu sesuai dengan keinginan organisasi atau partai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus