Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UMMI Kultsum, diva legendaris yang pernah menggetarkan dunia musik Arab, sekali waktu menyanyikan syair ini: "Tadinya dia sebuah bangunan yang kukuh tegak menjulang di alam pikiran, kini segalanya runtuh sudah." Syair pahit yang dilagukan Ummi itu berkumandang tak lama sesudah Mesir ditaklukkan Israel dalam Perang Enam Hari pada 1967.
Rabu petang pekan silam, di tengah barisan tank pasukan koalisi yang lalu-lalang perlahan di tengah Bagdad—mirip angkutan kota yang sepi penumpang—suara Ummi Kultsum seolah menyeruak dari masa silam dan sekali lagi memboyakkan harga diri bangsa Arab. Hari itu, 9 April 2003—setelah 21 hari Amerika menginvasi tanah Irak—satu batalion pasukan Amerika Serikat dari Divisi Marinir I berderap menuju jantung ibu kota. Diiringi tempik-sorak sebagian warga kota, mereka menumbangkan patung raksasa Saddam Hussein.
Sebelum patung rontok, seorang serdadu AS membalutkan bendera Amerika di wajah penguasa Irak itu, yang kini cuma jadi onggokan logam perunggu yang bocel. Aksi koboi itu cuma beberapa detik, tapi seperti menorehkan luka baru di atas sebuah negeri yang sudah luluh-lantak. Nariman, seorang warga Bagdad, berkata, "Menyaksikan semua ini, sebagai orang Arab dan Irak, saya merasa negeri kami sudah dikuasai penjajah."
Namun tayangan yang mendominasi layar televisi bukanlah kepahitan ala suara Nariman. Seperti yang disaksikan wartawan TEMPO Rommy Fibri, sebagian penduduk Irak riang gembira merayakan kejatuhan patung Saddam. "Sudah 24 tahun Saddam membuat hidup kami dalam teror," kata Adnan Amin, bekas pilot Iraqi Airways, yang ikut berjingkrak mengarak bangkai patung Saddam keliling kota.
Kegirangan sebagian rakyat Irak langsung disambar oleh pihak koalisi. Ekspresi gembira tersebut memang telah ditunggu Amerika sejak perang bermula—karena bisa menjadi pembenaran alasan invasi tersebut, yakni membebaskan rakyat Irak dari diktator yang kejam. Tempik-sorak penduduk kota yang menyambut pasukan koalisi juga menjadi momentum emas untuk menghapus citra buruk tentara AS setelah mereka mengebom kantor televisi Al-Jazeera dan Hotel Palestine yang menewaskan tiga wartawan (lihat Kesaksian dari Hotel Palestine).
Dari Pentagon, Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld dengan wajah berseri mengumumkan suksesnya penaklukan Bagdad kepada wartawan. Rumsfeld mengakui, dia tidak tahu persis apakah Saddam masih bernapas atau sudah mati dihajar bom dan peluru kendali. Yang penting bagi Rumsfeld, "Saddam Hussein telah mengambil tempat yang tepat di barisan Hitler, Stalin, Lenin, Ceausescu, serta para diktator brutal lainnya." Rumsfeld menekankan, kini publik dunia menjadi tahu bahwa aksi koalisi bukanlah untuk pendudukan (occupation), melainkan untuk pembebasan (liberation) rakyat Irak.
Jadi, bereskah sudah semua urusan? Belum!
Rakyat Irak justru baru mulai dililit teror "babak baru". Setelah patung Saddam rontok, Bagdad, Kirkuk, dan Mosul—serta kota lain di seantero Irak—kisruh. Penjarahan meledak di semua sudut kota. Komputer, meja-kursi, ranjang, kasur, kulkas, lukisan, bahkan kembang plastik digotong beramai-ramai oleh kawanan "Ali Baba"—ini julukan bagi para pencuri. Ketika TEMPO terperangah melihat aksi mereka, para "Ali Baba" itu santai saja—bahkan mengajak bertukar senyum segala.
Para penjarah dengan giat merangsek ke rumah Uday dan Qusay Hussein—keduanya putra Saddam—serta para pejabat tinggi Irak dan menguras seluruh sudut rumah. "Ali Baba" juga beraksi di bank-bank, Kedutaan Jerman, Pusat Kebudayaan Prancis, Gedung UNICEF, museum, bahkan rumah sakit. "Kami kecewa. Tentara koalisi tidak melakukan pencegahan apa pun," kata seorang ibu yang geregetan menyaksikan penjarahan, "Kami tak bisa lagi hidup seperti ini, ketika sesama muslim saling menjarah."
Belakangan, ketika kecaman keras kian mengalir, barulah kubu koalisi mengatur penjagaan di rumah sakit dan sarana publik lainnya. Tapi secara umum penjarahan terus berkibar. Menurut laporan Rommy Fibri, pasukan koalisi seolah sengaja membiarkan para biang "Ali Baba" berkeliaran untuk menunjukkan pemerintahan Saddam tak lagi efektif. Nantinya, tuan-tuan Amerika yang dipimpin Jenderal Purnawirawan Jay Garner—kawan karib Donald Rumsfeld—akan terjun sebagai penolong yang membenahi ketertiban di dalam pemerintahan transisi bersama PBB. Walhasil, pemerintahan baru kelak diharapkan bisa terbentuk dengan mulus.
Persoalannya, selain penjarahan, ada banyak faktor yang dapat mengacaukan rencana pembentukan rezim baru versi koalisi. Faktor utama dan terpenting, sampai kini masyarakat internasional belum yakin seratus persen Saddam sudah jatuh total. Betul bahwa Presiden AS George W. Bush tak peduli Saddam ada di bumi sebelah mana. "Bagi saya, yang penting dia sudah tidak lagi berkuasa," kata Bush. Benar pula bahwa Duta Besar Irak untuk PBB Mohammad al-Douri sudah meninggalkan New York menuju Damaskus, Suriah. Rakyat Irak, kata Al-Douri, kini tengah menanti pemilu yang bebas guna membentuk pemerintahan baru yang lebih demokratis.
Namun ucapan Bush dan Al-Douri saja belum cukup. Masyarakat internasional masih menunggu kejelasan nasib Saddam, hidup atau mati. Selagi keberadaan Saddam masih gelap-gulita, pemerintahan baru bakal susah menggaet dukungan. Lagi pula deretan pertanyaan masih menggantung di seputar kejatuhan Bagdad, pekan lalu.
Pada perang hari ke-21 itu, Bagdad mendadak menjadi kota mati. Sejak siang hari, Rommy Fibri menelusuri Bagdad dan mendapati seluruh kota kosong. Kedai, pasar, dan tumpukan kantong pasir di jalanan, tempat para pejuang Irak biasa nongkrong, sepi tak bernyawa. Seperti ada sesuatu yang luar biasa sedang menanti. Benar saja. Sore harinya, datanglah satu batalion tentara Divisi Marinir I AS, dipimpin Mayor Matt Baker.
Apa gerangan yang terjadi?
Ada banyak spekulasi muncul. Tapi belum satu pun yang mendapat konfirmasi. Contohnya, ada pengkhianatan dari pasukan Garda Republik sehingga tentara koalisi bisa dengan santai menduduki Bagdad.
Spekulasi lain, pihak Saddam Hussein mafhum bahwa mereka tak sanggup lagi menghadapi mesin perang koalisi dan menggelar skenario penyelamatan diri dan keluarganya. Sebagai barter, Saddam membiarkan Bagdad jatuh ke tangan koalisi tanpa pertumpahan darah seperti digembar-gemborkan Menteri Penerangan Irak Mohammad Said al-Sahaf.
Alhasil, Saddam dan keluarga dibiarkan lolos dan bersembunyi di suatu tempat rahasia di Suriah atau Rusia. Tapi spekulasi ini sedikit terbantah dengan gencarnya pengeboman Tikrit. Jika Saddam sudah berkompromi, mengapa pula koalisi masih menghabiskan koleksi bom mereka—yang harganya jutaan dolar per biji—sembari merenggut korban sipil dan berisiko mendapat kecaman dunia?
Spekulasi yang lain—ini lebih populer di kalangan analis militer—Saddam sedang tiarap untuk mempersiapkan strategi khusus. Mundur selangkah untuk lari maju sepuluh langkah. Mayor Jenderal TNI (Purnawirawan) M. Noor Aman, yang pernah menjadi Atase Pertahanan RI di Bagdad (1991-1994), termasuk yang menduga Saddam tengah menggodok strategi khusus entah di mana. Ada beberapa pertanda.
Pertama, Noor Aman menjelaskan, rakyat Bagdad yang 5 juta jiwa seperti kompak menghilang dari jalanan pada pagi hari ke-21 itu. Yang berjoget menyambut pasukan koalisi hanyalah ratusan penduduk yang datang dari arah selatan. Ini sama dengan arah kedatangan pasukan koalisi, sehingga timbul kecurigaan bahwa ratusan orang itu bukan mustahil dibawa oleh sekutu.
"Kekompakan warga Bagdad ini menunjukkan bahwa rantai komando, baik terbuka maupun tertutup, masih berjalan," katanya. Itu boleh jadi melalui jaringan Partai Baath atau jaringan milisi Fedayeen, pasukan berani mati Saddam. Amat mungkin, pada pagi hari misterius itu, telah dilontarkan tembakan salvo dengan irama khusus sebagai tanda instruksi agar warga Bagdad tidak ke luar rumah.
Kedua, sampai kini, pasukan koalisi belum beroleh "ikan besar" alias tawanan perang kelas kakap. Umpamanya politikus, tokoh partai, tentara elite Garda Republik, menteri kabinet Saddam, apalagi keluarga Saddam. Orang-orang bernilai politis tinggi ini seperti lenyap ditelan bumi. Koalisi memang telah melansir daftar 55 orang Irak yang paling dicari. Bom-bom juga sudah intensif ditumpahkan di Tikrit, wilayah yang diduga menjadi tempat persembunyian para elite Irak. Tapi seluruh usaha itu belum menunjukkan hasil nyata.
Ketiga, ke mana perginya delapan divisi (kira-kira 80 ribu orang) pasukan elite Garda Republik yang konon bersaraf baja dan supersetia kepada Saddam itu? Mungkin saja mereka telah habis mati dihantam berton-ton bom pasukan koalisi. Atau, "Mungkin mereka telah berbaur dengan rakyat biasa dan bersiap menghadapi strategi berikutnya," kata Noor Aman.
Strategi yang dimaksud adalah membiarkan tentara sekutu lengah dimabuk kemenangan. Kemudian misi kemanusiaan internasional berdatangan. Para utusan yang menggodok pemerintahan transisi juga mengalir masuk. Pada saat itu, Bagdad akan dipenuhi masyarakat multibangsa yang sulit untuk dijadikan obyek bombardir serangan udara. Pada saat ini pula perang gerilya, hit and run, akan tepat digelar di lorong-lorong Bagdad yang mencekam. Ibarat banjir bandang, akan sia-sia jika Saddam berusaha mencegat air bah yang sedang liar meluap-luap. "Biarkan air tenang dahulu, baru kita bendung air untuk mengendalikan banjir," katanya.
Tapi Noor Aman juga mengingatkan, belum tentu Saddam masih punya kemampuan menggerakkan strategi gerilya hit and run, taktik perang yang juga belum pasti mendatangkan kemenangan. Itu berlaku, dengan satu catatan, jika Saddam punya strategi khusus.
Padahal Presiden Irak itu sejatinya telah kehilangan banyak momentum berharga. Kepergiannya yang misterius justru berisiko memperburuk citra dia. Saddam bisa dianggap berkhianat dan menjerumuskan dunia Arab ke tangan imperialis Amerika.
Harian Bernama, Malaysia, misalnya, menilai kejatuhan Saddam yang begitu mudah bakal memuluskan skenario PNAC, Project for the New American Century, skenario pan-Amerika yang dirancang (kini Wakil Presiden AS) Dick Cheney, (kini Menteri Pertahanan AS) Donald Rumsfeld, (kini Kepala Dewan Kebijakan Pertahanan AS) Richard Pele, dan (kini Wakil Menteri Pertahanan AS) Paul Wolfowitz. Skenario itu mereka rancang pada 1997.
Selain itu, opini dunia bakal berbalik perlahan dari mendukung menjadi mensyukuri kejatuhan Saddam. Apalagi banyak negara yang sebetulnya hanya bertindak seperti burung kondor yang menanti rezeki dari sekaratnya Irak. Rusia dan Prancis, misalnya. Sedari awal, mereka menentang keras rencana invasi Amerika ke Irak. Tapi, sesudah Bagdad tumbang, para analis memastikan kedua negara ini tak sungkan untuk berkompromi dengan rezim baru Irak. "Semata-mata untuk mengamankan kontrak ladang minyak yang sudah mereka dapatkan di masa Saddam Hussein," kata Vahan Zanoyan, petinggi PFC Energy, perusahaan konsultan energi di Washington.
Begitulah, menyusul ribuan jiwa korban Irak, kini burung kondor beterbangan di langit Bagdad—termasuk AS dan Inggris, yang ingin menjadi pemain utama dalam restorasi Irak. Mereka tak malu bertarung demi menyambar minyak Irak, yang banyaknya 112 miliar barel atau nomor dua di dunia—setelah Arab Saudi. Dan di tengah situasi demikian, peluang Saddam untuk kembali ke panggung utama politik kian sempit. Paling-paling nasibnya akan berujung sebagai buron global seperti Usamah bin Ladin, yang sampai kini tak jelas berada di mana.
Sementara itu, situasi yang dihadapi pihak koalisi dan pemerintahan baru nanti juga jauh dari enteng. Konflik etnis, sentimen masyarakat muslim, runtuhnya kebanggaan bangsa Arab, dan sisa-sisa laskar Saddam masih akan terus menggerogoti (lihat Ribut-Ribut Merancang Rezim Baru).
Bagi rakyat Amerika sendiri, agaknya penaklukan Saddam Hussein bakal dikenang dengan abu-abu. Bangsa besar tapi rapuh oleh paranoia ini boleh jadi akan terus dihantui oleh ramalan Presiden Mesir Husni Mubarak: invasi Amerika-Inggris atas Irak hanya akan melahirkan 100 Usamah bin Ladin baru.
Mardiyah Chamim (Jakarta), Rommy Fibri (Bagdad)— (The Economist, The NY Times, BBC, Guardian)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo