Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAPTEN Ahmad menatap awan kelabu muda yang berarak di atas Teluk Kumai, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Beberapa saat setelah dia meninggalkan geladak, gerimis tipis mulai mengguyur. Rabu pagi pekan lalu itu, meski cuaca tak bersahabat, Ahmad tetap berangkat. Nakhoda Kapal Negara SAR 224 itu segera memerintahkan anak buahnya mengangkat sauh. "Biasanya, kalau hujan begini, laut justru bersahabat," kata Ahmad.
Pagi terakhir di pengujung tahun 2014 itu, Ahmad ditugasi membawa kapal yang ditumpangi regu penyelamat ke perairan Teluk Kumai, Selat Karimata. Mereka diminta menyisir area 5, tempat serpihan pesawat dan jenazah penumpang AirAsia ditemukan. Bersama tim, ikut puluhan wartawan, termasuk Tempo.
Normalnya, dengan kecepatan rata-rata 18 knot, dari Teluk Kumai hingga koordinat pencarian, kapal menempuh waktu empat jam. Namun, baru dua jam kapal bertolak, tiba-tiba angin kencang dan ombak empat meter datang menerjang. Kapal terombang-ambing.
Hujan kian deras dan jarak pandang memendek. Dari ruang kemudi, Kapten Ahmad berseru, "Kita kembali ke Teluk, putar haluan." Puluhan penumpang, termasuk regu penyelam yang tadinya asyik bercanda dan bernyanyi, terdiam. Tiba-tiba sunyi. Genset kapal berhenti bekerja. Sepuluh menit kemudian, genset cadangan dinyalakan. "Kita harus kembali, ini tak bisa dipaksakan," kata Ahmad kepada para wartawan. Hingga hari keempat pencarian, regu penyelam belum juga terjun ke laut. "Jangan sampai tim SAR yang akhirnya jadi target penyelamatan SAR," ujarnya.
PESAWAT AirAsia dinyatakan hilang dari radar air traffic control pada Ahad, 28 Desember, pukul 06.18 WIB. Pesawat berisi 162 penumpang itu terakhir diketahui berada di antara perairan Kalimantan Tengah dan Kepulauan Bangka Belitung. Burung besi milik perusahaan asal Malaysia itu hendak terbang dari Bandar Udara Juanda, Surabaya, menuju Changi, Singapura.
Begitu pesawat dinyatakan hilang, radar Bandara Supadio, Pontianak, menangkap sinyal dari pesawat itu di monitor. "Ada di Teluk Kumai, Kalimantan Tengah," kata Kepala PT Angkasa Pura II Supadio Chandra Dista Wiradi.
Namun sinyal yang diduga terpancar di 209 mil laut, di antara Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, dan Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, itu byar-pet—diduga karena pesawat berada di air di sekitar Kendawangan dan Pangkalan Bun," ujar Komandan Pangkalan Udara Supadio Kolonel Penerbang Tedi Rizalihadi.
Tim di Supadio akhirnya berembuk dan mengirim peta itu ke Jakarta. Mereka juga mengirim helikopter Super Puma ke lokasi siang harinya, tapi kembali ke pangkalan satu jam kemudian karena dihalau cuaca buruk. "Helikopter kesulitan," kata Tedi.
Selain menerima laporan dari Supadio, Basarnas mendapat kabar dari pesawat Orion Australia bahwa ada denyut sinyal di sekitar perairan Pangkalan Bun. Tim SAR segera bergerak. Juga bertolak ke sana Hercules dan CN-295. "Dua pesawat itu dilengkapi radar pencari yang bisa mendeteksi benda mengapung di lautan," ujar Marsekal Muda Sri Pulung, Komandan Pangkalan Udara TNI Halim Perdanakusuma.
BERANGKAT menuju area pencarian, Hercules C-130 Alpha 1319 menyisir kawasan utara Pangkalan Bun. Berjam-jam berkeliling, mereka tak menemukan apa-apa. Dalam perjalanan pulang kembali ke Halim, barulah pesawat melihat jasad dalam posisi melambai. Pesawat putar arah dan melaporkan "temuan" itu ke posko gabungan di Halim.
Di saat bersamaan, CN-295 yang terbang delapan jam nonstop di selatan Tanjung Pandan melihat serpihan pesawat dan jasad korban. Setelah memastikan titik koordinat penemuan serpihan, pesawat mendarat di posko AirAsia Pangkalan Udara Iskandar, Pangkalan Bun. Mereka melaporkan titik temuan kepada Direktur Operasional Badan SAR Nasional Posko Pangkalan Bun, S.B. Supriyadi.
Helikopter Dauphin milik Basarnas segera berangkat. Pesawat itu dipilih karena mampu melakukan hoisting, menurunkan kru menggunakan tali. Namun angin bertiup kencang. Hoisting gagal. Kembali ke daratan, meski tanpa jasad, mereka mengirim laporan bahwa AirAsia jatuh di perairan Pangkalan Bun. Informasi itu dikabarkan ke pusat komando. Mereka minta salah satu kapal yang terdekat dengan lokasi penemuan merapat untuk melakukan evakuasi.
Kabar penemuan tersiar luas.
Kebetulan, KRI Bung Tomo asal Surabaya tengah berada di perairan yang sama dan tiba lebih cepat di lokasi. Mereka mengevakuasi satu jasad korban laki-laki menggunakan perahu karet. Jenazah langsung diterbangkan ke Pangkalan Bun pada Selasa petang. Inilah jenazah pertama yang dapat dievakuasi.
Sejak operasi penyelamatan hari ketiga, Basarnas memutuskan operasi penyelamatan dilakukan tim di laut, menggunakan perahu karet yang diluncurkan kapal besar. Jenazah dikumpulkan di kapal-kapal yang punya landasan helikopter, seperti KRI Bung Tomo dan KRI Banda Aceh. Dari kapal itu, jenazah dijemput dengan helikopter ke Pangkalan Udara Iskandar. Karena jasad tak mungkin langsung diterbangkan ke Surabaya, lokasi crisis center dan identifikasi korban dipindahkan ke Pangkalan Bun.
Hingga Jumat pekan lalu, 30 jenazah diangkat dari area pencarian. Tiga di antaranya terikat di kursi pesawat. Pencarian, menurut Kepala Basarnas Marsekal Madya Henry Bambang Soelistyo, diperluas menjadi 13 titik atau empat zona. "Tak sekadar mengevakuasi korban, tapi juga mencari bangkai pesawat," katanya.
Zona prioritas itu berada di kawasan Teluk Kumai. Ada 10 kapal pencari dan ada 14 kapal lain di sana. Kapal di zona prioritas, termasuk tim Komite Nasional Keselamatan Transportasi melalui KRI Baruna Jaya dan kapal Geo Survey, difokuskan mencari badan pesawat dan black box. Kedua kapal tersebut mempunyai sistem pencari bawah laut.
Agustina Widiarsi, Praga Utama, Linda Trianita, Tika Primandari, Robby Irfani, Moyang Kasih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo