Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Calon Doktor Belia dari Britania

Setiap tahun, ribuan mahasiswa menempuh pendidikan dari tingkat sarjana hingga doktoral di berbagai kota di Inggris. Ribuan mahasiswa ini, termasuk mahasiswa dari Indonesia, memberi keuntungan ekonomi yang tidak sedikit bagi Inggris. Pada 2012, nilai ekonomi dari pendidikan tinggi di Inggris menyumbang angka hingga Rp 1.232 triliun atau hampir 2,8 persen dari pendapatan Inggris. Tapi, setelah referendum yang memutuskan Inggris keluar dari Uni Eropa, muncul kekhawatiran pendidikan tinggi di negara tersebut bakal terimbas.

Pada akhir November lalu, Kedutaan Besar Inggris di Jakarta dan Garuda Indonesia mengundang Tempo dan empat wartawan lain menyambangi kampus-kampus di London, Birmingham, Oxford, hingga beberapa kota di Skotlandia, seperti Glasgow, Stirling, dan Edinburgh. Kami menemui pelajar Indonesia dan mendiskusikan kehidupan akademik dan perjuangan mereka menyelesaikan kuliah. Termasuk sejumlah anak cerdas pertengahan 20-an yang sedang menyelesaikan pendidikan doktoral di kampus prestisius Oxford.

12 Desember 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ida Bagus Mandhara Brasika, mahasiswa pendidikan master jurusan lingkungan di Imperial College, London, tampak berdiri celingukan di depan Ruskin School of Arts, University of Oxford, Sabtu ketiga November lalu. Pagi itu cuaca tak terlalu bersahabat. Hujan yang turun sejak subuh belum sepenuhnya reda. Meskipun sudah mengenakan jaket tebal bertudung rambut beruang, Mandhara, yang akrab dipanggil Nara, tetap menggigil kedinginan.

Tak jauh dari tempatnya berdiri di Queen¡©¡¯s Lane Coffee House, Sandoko Kosen, Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) cabang Oxford, sedang mengambil pendidikan doktor tentang condensed matter physics, Departemen Fisika University of Oxford, tengah sarapan. Queen's Lane dan Ruskin School hanya dipisahkan High Street, jalan selebar 20 meter yang dipenuhi aneka bangunan bercorak klasik. Tergopoh-gopoh dia menerobos rinai hujan, menyeberang jalan yang memang tak ramai.

"Lho, ketemu lagi," kata Nara saat melihat Sandoko. Keduanya tertawa sembari bersalaman dan saling menepuk bahu. Nara tahun depan melanjutkan ke jenjang doktor jurusan climate physics di Fakultas Atmospheric Oceanic and Planetary Physics University of Oxford (di Oxford, doktor bergelar DPhil atau PhD di universitas lain). Saban bulan dia mesti menemui profesor untuk mendiskusikan topik riset.

Nara dan Sandoko merupakan dua dari total 14 persen mahasiswa asing yang berkuliah di Inggris. Sejak referendum memutuskan Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit), muncul kekhawatiran mengenai nasib pendidikan tinggi di Inggris. Kepala Hubungan Eksternal Universitas di Inggris, Miranda Thomas, mengatakan, sejak Brexit diputuskan, ada tanda tanya tentang nasib mahasiswa mancanegara. Apalagi ada anggapan mengenai mahalnya biaya sekolah di Inggris. Belum lagi ditambah isu sulitnya memperoleh visa untuk pelajar. "Namun itu hanya persepsi," ucap Miranda.

Pemerintah Inggris, kata Miranda, membuat beberapa kebijakan mengantisipasi Brexit. Misalnya, dia mencontohkan, melindungi hak-hak imigrasi warga negara Eropa lainnya. Mereka juga tetap berpartisipasi dalam riset negara-negara Eropa melalui Horizon 2020. Prioritas lain adalah mengatur ulang tata kelola keuangan untuk mahasiswa dari negara Uni Eropa lain.

Inggris patut khawatir karena pendidikan tinggi memegang peran penting. Saat ini terdapat 161 institusi pendidikan tinggi di negara Ratu Elizabeth tersebut. Jumlah mahasiswa di semua jenjang mencapai 2,3 juta orang, 17 persennya merupakan mahasiswa internasional. Jumlah pengajar mencapai 395 ribu, 24 persen berasal dari berbagai negara. "Kami tujuan terfavorit kedua setelah Amerika Serikat," ujar Miranda.

Di sektor ekonomi, pendidikan tinggi memiliki peran signifikan. Pada 2011-2012, pendapatan langsung dari sektor pendidikan tinggi sebesar 23 miliar pound sterling (sekitar Rp 393 triliun). Pada periode yang sama, pendidikan tinggi di Inggris membawa nilai ekonomi 72 miliar pound (setara dengan Rp 1.232 triliun) dan menyumbang 2,8 persen dari total pendapatan Inggris.

Menurut Miranda, untuk ukuran Asia Tenggara, Indonesia bukan negara terbesar penyumbang jumlah mahasiswa. Angka terbesar disumbang Malaysia, yakni sekitar 10 ribu mahasiswa. Tahun ini jumlah mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan master dan doktoral sebanyak 2.972. Angka ini belum termasuk penerima beasiswa Chevening dan yang berangkat atas biaya sendiri. "Terbanyak belajar di bidang teknologi dan sains," kata Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI London, Aminuddin Aziz.

Di sisi lain, banyaknya mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan tinggi bukannya tak mendatangkan kritik. Irwanda Laory, asisten profesor di Jurusan Teknik University of Warwick, mendesak pemerintah membuat skema baru untuk penerima beasiswa ke luar negeri. Dia mencontohkan Brunei Darussalam. Kalau mereka tidak mencapai nilai A, ada ancaman pengurangan uang beasiswa. "Mereka juga mesti melapor ke negara setelah menyelesaikan pendidikan," kata Irwanda, yang meraih gelar sarjana di Institut Teknologi Bandung.

Irwanda menuturkan, ada sejumlah keuntungan saat semakin banyak mahasiswa cerdas Indonesia bersekolah di luar negeri. Pertama, mahasiswa doktoral bakal membuat publikasi di jurnal internasional. Akibatnya, secara global peringkat kampus bakal naik signifikan. Keuntungan berikutnya adalah kampus tujuan akan memperoleh tenaga riset secara gratis. "Mahasiswa doktoral disuruh apa pun oleh profesor pasti tak bisa menolak," kata Irwanda.

Dampak paling signifikan untuk negara tujuan adalah besarnya keuntungan finansial dari biaya tahunan. Di Inggris, rata-rata biaya untuk pendidikan master selama setahun adalah 18-22 ribu pound sterling. "Ini belum termasuk biaya bulanan mahasiswa," kata Irwanda.

Dia mengatakan pemerintah Indonesia mesti lebih ketat memberikan beasiswa. Jangan sampai, menurut dia, dampak positif hanya dinikmati universitas tujuan. Situasi ini belum ditambah jika mahasiswa cerdas di luar negeri yang bingung sekembali ke Indonesia. Irwanda menyarankan pemerintah, mahasiswa, dan industri duduk bersama untuk merumuskan agar ilmu selama kuliah di luar negeri tak sia-sia. "Mereka tak tahu mesti ngapain," ujar Irwanda.

Oxford merupakan bagian dari Oxfordshire, sebuah county (setara dengan provinsi) di tenggara Inggris. Kota Oxford bisa ditempuh dalam waktu dua jam perjalanan dari London menggunakan kendaraan roda empat. Oxford merupakan kota yang tenang, dipenuhi gedung college bercorak klasik. Karena tak sehiruk-pikuk London, suasana akademik amat terasa di kota ini.

Pusat kota, disebut City Center, berupa kawasan yang terdiri atas beberapa blok toko pakaian dan restoran, terletak di tengah-tengah kampus. Karena relatif kecil, tidak banyak kendaraan roda empat di kota ini. Bus beroperasi sejak pagi hingga malam. Untuk mobilitas, mahasiswa Oxford memilih berjalan kaki atau menggunakan kereta angin alias sepeda.

Tak ada data pasti kapan Oxford didirikan. Namun metode pengajaran telah berlangsung sejak 1096 dan berkembang dengan cepat seabad kemudian. Berbeda dengan kampus lain di seluruh dunia, tradisi yang tetap dipertahankan adalah sistem Collegiate. Oxford memiliki 38 college dan mahasiswa akan bertempat tinggal dan berkuliah di dalam college. Model ini sama seperti kisah Harry Potter di Hogwarts, yang siswanya ditempatkan di asrama, yakni Gryffindor, Slytherin, Hufflepuff, dan Ravenclaw.

Tekad Nara menembus University of Oxford telah tertancap di kepala sejak merampungkan gelar sarjana pada 2014. Lulus dari Jurusan Meteorologi ITB, mula-mula dia melamar di University of Nottingham dan Oxford. Lamarannya ditolak. Bukannya kapok, dia nekat menaikkan target, mencari sekolah doktoral. Informasi kiri-kanan dia kumpulkan. Ternyata tamatan sarjana bisa langsung melanjutkan ke jenjang doktor. Syaratnya, ada profesor yang bersedia menjadi supervisor. Dia pun mulai mengirimkan e-mail ke sejumlah profesor di Oxford. "Tipnya, bilang kita sudah membaca buku dan risetnya," kata Nara.

Upaya Nara membuahkan hasil. Seorang profesor menjawab surat elektroniknya dan menanyakan latar belakang pendidikannya. "Dia bertanya apakah saya sudah membaca semua bukunya," kata Nara. Dia sempat gelagapan karena tak membaca penelitian si profesor. Riset pun dilakukan demi mencari dan membaca buku karya profesornya.

Sampai akhirnya, lewat satu surat elektronik, sang profesor bersedia menjadi supervisornya dan ingin naik ke tahap selanjutnya, yakni tes wawancara. Sang profesor tertarik pada proposal risetnya tentang revisiting atmospheric timescale. Saat menerima undangan ini, Nara merasa jalan menuju kampus berbahasa Inggris tertua di Britania Raya tersebut semakin lancar.

Nara menyatakan akan menghitung ulang model iklim yang ada. Berdasarkan perhitungan itu, iaingin memprediksi durasi suatu iklim berlangsung. Perhitungan model ini akan bermanfaat untuk mengantisipasi bencana seperti kekeringan dan banjir serta menghitung masa tanam ataupun menurunkan emisi karbon. "Prediksi yang akurat bisa mencegah itu semua," katanya. Rupanya, sang profesor tertarik pada risetnya dan dia pun memperoleh surat penerimaan.

Nara merupakan satu dari 314 mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan doktor di Inggris. Di Tanah Britania, pendidikan S-3 ditempuh dalam kurun tiga-empat tahun. Jika semuanya lancar, pria kelahiran 1991 ini bakal bergelar doktor pada usia 29 tahun. Nara bukan satu-satunya anak Indonesia yang bakal meraih doktor di usia belia.

Di Queen Mary University, Tempo bertemu dengan Ryan Kasyfil Aziz, yang memasuki tahun kedua pendidikan doktor di bidang matematika. Umurnya masih 26 tahun. Risetnya tentang representation theory of quantum algebra atau teori representasi aljabar kuantum. Riset ini merupakan penelitian lanjutan setelah ia menempuh pendidikan magister di Kanazawa University pada 2013-2014. "Di Queen Mary, saya satu-satunya yang belajar aljabar kuantum," katanya.

Sains merupakan bidang favorit kedua mahasiswa Indonesia di Inggris setelah teknologi. Bidang ini juga yang diambil Sandoko Kosen. Riset alumnus National University of Singapore dan Ecole Polytechnique Prancis ini adalah tentang teori fisika menggunakan gelombang spin.

"Apa pentingnya riset tersebut untuk kehidupan manusia?" ujar Sandoko. "Ini untuk memahami teori fisika baru." Dia menjelaskan, riset-riset fundamental yang dia kerjakan tak secara langsung dapat diaplikasikan. Dia mencontohkan teknologi yang bernama Internet. Riset tentang soal ini sudah ditemukan pada 1969 oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat. "Namun baru dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas hampir setengah abad kemudian," kata Sandoko.

Dia mengatakan ada banyak riset bertujuan mematahkan teori yang sudah ada. Sandoko menerangkan, penemuan baru dalam hidup manusia justru datang dari riset-riset fundamental. Menurut pria lulusan SMA Sutomo 1 Medan ini, penemuan di bidang teknologi tidak selalu karena ada peningkatan nilai guna sebuah benda. "Misalnya listrik tidak datang dari peningkatan fungsi lilin," katanya.

Sehari-hari Sandoko menghabiskan waktu di laboratorium untuk melakukan berbagai macam penelitian. Mahasiswa PhD menyebut kampus mereka sebagai kantor. Sebab, kata Sandoko, daripada disebut berkuliah, kegiatan mereka lebih mirip orang bekerja kantoran. "Kantor" Sandoko adalah Departemen Fisika, bersebelahan dengan Departemen Teknik Mesin dan Departemen Ilmu Komputer di antara Banbury Road dan Park Road. Gedungnya terbilang modern untuk ukuran Oxford.

Meskipun mengambil jurusan sains, jangan bayangkan Sandoko dan Nara sosok superserius. Kami ke Summertown House, akomodasi untuk mahasiswa Oxford. Di sini, sejumlah mahasiswa Indonesia yang sudah berkeluarga tinggal. Saban pekan mahasiswa Indonesia mengajari anak-anak mengaji. Sebagai Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia, Sandoko juga sibuk mempromosikan segala sesuatu yang berbau Indonesia. Saat kami datang, PPI Oxford menyelenggarakan Tempe X Oxford, mendatangkan Amadeus Driando, pendiri Indonesian Tempe Movement di St John's College. Sandoko juga mengundang kami ke Indonesia Cooking Workshop. Hari itu mereka menghadirkan pegawai BBC Oxford, Yani Purnomo, yang memperagakan pembuatan nasi dan tempe goreng kepada sejumlah mahasiswa asing.

Di tengah mendung yang menggelayut dan angin sore yang berembus kencang, Sandoko mengajak jalan-jalan ke beberapa ikon Oxford. Salah satunya The Bodleian Library, yang muncul dalam tiga seri film Harry Potter, yakni The Philosopher's Stone, The Chamber of Secrets, dan The Goblet of Fire. Salah satu ruang baca tertua di perpustakaan ini, Duke Humfrey's Library, merupakan tempat syuting perpustakaan Hogwarts. Lantai pertama bangunan ini disebut The Divinity School. "Ini menjadi infirmary (rumah sakit) Hogwarts," kata Sandoko.

Tempat legendaris lain di Oxford adalah Radcliffe Camera, yang lokasinya bersisian dengan The Bodleian Library. Saat kami datang, ratusan wisatawan berkerumun di depan bangunan klasik yang berfungsi sebagai perpustakaan ini. Untuk masuk ke perpustakaan, pengunjung mesti melewati jalan di atas padang rumput sejauh 10 meter. Menurut Sandoko, jika ada yang masuk ke sana, itu artinya pasti mahasiswa Oxford. "Kadang bangga juga menjadi tontonan wisatawan," katanya sembari tergelak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus