Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Su-En, Jason, dan Lilin-lilin Kecil

Undisclosed Territory, sebuah festival seni performance, digelar untuk kesepuluh kalinya di Studio Plesungan, Karanganyar. Jaringan semakin luas.

12 Desember 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Su-En mengelilingi semangka. Lalu penari Butoh asal Swedia itu berbaring dan meregangkan kaki, seakan-akan ada sesuatu yang hendak keluar dari selangkangannya. Wajahnya menunjukkan ekspresi kesakitan. Tubuhnya menegang dan meronta, sembari kakinya menggelindingkan semangka yang ada di sekitarnya. Sajian selama sekitar 40 menit itu berakhir saat Su-En berdiri dan melempar-lemparkan semangka hingga pecah terbentur lantai.

Semangka yang sudah tidak berbentuk itu menjadi suguhan bagi para penonton Undisclosed Territory kesepuluh di Studio Plesungan, Karanganyar, Jawa Tengah, Sabtu malam, 3 Desember lalu. Selama lima tahun, Su-En belajar Butoh di kelompok Tomoe Shizune & Hakutobo. Kelompok itu dulu didirikan oleh Tatsumi Hijikata, yang merupakan salah satu pelopor Butoh. Dia juga digembleng langsung oleh Yoko Ashikawa, yang pernah menjadi asisten Hijikata. "Sebuah latihan yang tegas, keras, dan menyakitkan," katanya.

Pada 1994, dia kembali ke Swedia dan mendirikan sebuah studio Butoh. Bercerita tentang realitas kehidupan menjadi salah satu ciri pertunjukan Butoh dari aliran Ankoku yang dipelajari. Karena itu, dalam pementasannya di Studio Plesungan, dia menempatkan unsur-unsur kehidupan yang disimbolisasi melalui batu, bunga, tanah, hingga buah.

Selain Su-en, lebih dari 20 seniman dari dalam dan luar negeri tampil dalam acara yang berlangsung tiga hari tersebut. Rekan senegara Su-En, Elin Lundgren dan Petter Petterson, mementaskan dua karya sekaligus. Pertama Sirkus, yang melibatkan 25 seniman lokal, sebagian merupakan anggota teater mahasiswa. Dia membagi kelompok yang terdiri atas 25 orang itu dalam empat kelompok. Masing-masing adalah kelompok pembawa bendera, pembawa balon, peniup trompet, dan penonton. Mereka maju ke tengah panggung secara bergantian.

Karya lain, The Harmonica Boy and the Island, digelar di pelataran bawah Studio Plesungan. Dalam karya tersebut, Petter Petterson berjalan dengan masker yang menutup seluruh kepalanya, kecuali kedua mata. Dia meletakkan harmonika di dalam masker dan memainkannya dengan mulutnya. Adapun 25 orang lain berjalan berkelompok dengan pelan. Mereka menggunakan penutup kepala serupa.

Akan halnya seniman dari Jakarta, Ragil Dwi Putra, mementaskan sebuah karya berjudul Refleksi. Dia memilih tempat pementasan di panggung utama pada malam terakhir. Ragil duduk di tengah panggung. Tubuhnya tertutup cermin ukuran besar yang diapit oleh kedua kakinya. Dia mementaskan karyanya itu dalam kegelapan, tanpa satu pun lampu tata cahaya yang dinyalakan.

Dari balik cermin, tangannya sibuk menyalakan sebatang lilin. Sesekali tangannya terlihat menjulur terkena cahaya api, memasang lilin di lantai depan cermin. Perlahan, dia menyalakan batang-batang lilin lainnya dan memasangnya di lantai. Duduknya terus beringsut mundur, seiring dengan banyaknya lilin yang dipasang di lantai. Sesekali dia menggerakkan cerminnya, menunjukkan bayangan lilin yang terpantul ke arah penonton. Melalui pentasnya selama 30 menit itu, Ragil ingin menunjukkan sebuah realitas dan bayangan. "Terkadang keduanya sulit dibedakan," kata Ragil seusai pentas. Beruntung, malam itu cuaca cukup bersahabat, tidak hujan dan angin hanya bertiup pelan.

Cuaca berbeda terjadi saat seniman asal Singapura, Jason Lim, menggelar pentas semalam sebelumnya. Dia sama-sama menggunakan properti lilin sebagai alat pentasnya. Pada malam itu angin bertiup kencang setelah hujan turun. Padahal lilin yang digunakan lebih kecil, seperti lilin yang biasa digunakan untuk kue ulang tahun. Serupa dengan Ragil, Jason hanya menggunakan nyala lilin sebagai pencahayaan pentasnya. Dalam pentas berjudul The Cycle itu, Jason hanya berdiri di tengah panggung. Dia meletakkan lilin di telapak tangannya dalam posisi berdiri. Di tengah tiupan angin, cukup sulit baginya untuk melindungi api agar tidak padam.

Namun Jason berhasil melakukannya. Dia menggunakan tangan satunya untuk melindungi api dari arah datangnya angin. Lilin kecilnya masih tetap menyala hingga pementasannya usai. Rupanya, justru cuaca seperti itulah yang diharapkan Jason. Dia ingin bercerita tentang unsur dasar kehidupan, yaitu air, angin, logam, dan bumi.

Penggagas Undisclosed Territory, Melati Suryodarmo, menyebutkan seniman yang terlibat dalam acara tahun ini lebih banyak dibanding tahun-tahun sebelumnya. Keterlibatan banyak seniman itu agaknya buah dari hasil kenekatan Melati menggelar festival performance art selama 10 tahun terus-menerus tanpa henti di halaman rumahnya di Plesungan itu. "Jumlah seniman dalam negeri yang terlibat juga bertambah. Dan mereka cukup percaya diri untuk tampil bersama seniman performance art tingkat dunia," katanya. AHMAD RAFIQ

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus