Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah pendapa dengan pintu hijau. Sebuah meja bundar marmer berkaki kayu dengan secangkir teh panas dan sehelai koran pagi. Seorang perempuan muda berkebaya, berkain batik tulis, dan bersanggul rapi, dengan kulit wajah yang mulus bak sutra, duduk menghirup teh dan membaca koran itu. Lantas saja teras tersebut diisi dengan tamu demi tamu berselang-seling mengganggu ketenangan sang Nyonya, atau Nyai, yang pada masa kolonial itu adalah sebuah kedudukan yang selalu menjadi salah satu bahan penulisan novel, studi akademis, dan kini: film terbaru Garin Nugroho.
Dalam beberapa detik pertama, Garin menayangkan sebuah disclaimer: cerita film ini diadaptasi dan terinspirasi dari lima novel: Njai Isah (1904) karya F. Wiggers, Seitang Koening (1906) karya R.M. Tirto Adhisoerjo, Boenga Roos dari Tjikembang (1927) karya Kwee Tek Hoay, Nyai Dasima (1960) karya S.M. Ardan, dan Bumi Manusia (1980) karya Pramoedya Ananta Toer.
Tapi sesungguhnya kerangka cerita film dengan pendekatan teater ini adalah kerangka Bumi Manusia sepenuhnya. Bahwa kemudian ada belokan-belokan dari sosok Nyai, saya kira itu adalah khas Garin, bukan karena persoalan pengaruh novel Nyai Dasima.
Direkam dengan satu shot—satu take dengan durasi 85 menit—ini sebuah eksperimen yang menurut pengakuan Garin merupakan salah satu perayaan 35 tahun ia berkarya. Eksperimen pertama adalah film bisu Setan Jawa, film hitam-putih dengan iringan live musik gamelan, yang menuai puja-puji para penontonnya, dan kedua film Nyai. Berhasilkah eksperimen kedua ini?
Merekam dengan satu shot tentu saja mengandung beberapa tantangan. Dengan cerdas Garin memilih konsep teater yang menggunakan joglo sebagai sebuah panggung. Setting adalah tahun 1927, ketika Indonesia masih belum bernama Indonesia dan Tjokroaminoto sedang terbentuk menjadi bapak dari para pemimpin bangsa ini. Tiga puluh empat tokoh keluar-masuk. Hampir semuanya ingin menemui Nyai atau suaminya, lelaki Belanda, Meneer William, yang tengah dalam keadaan sakit dan ringkih—keluar-masuk panggung didorong di atas kursi roda. Karena si Tuan begitu sakit, sesekali ada penghibur penari dan orkes dengan musik Timur Tengah; ganti-berganti dengan penari Jawa yang kemudian dijawil-jawil oleh si Tuan William yang tiba-tiba saja lupa akan penyakit yang dideritanya, yang membuat sang Nyai ngambek membanting pintu.
Dialog dan monolog Nyai ganti-berganti tema: dari soal pengaduan masalah tanah dan upah buruh sampai soal masa lalu Nyai, yang pada masa kecilnya dijual ayahnya sendiri kepada si Meneer, yang kemudian diisinya dengan pendidikan bagi diri sendiri: dia banyak membaca dan belajar mengelola perusahaan si Meneer.
Persis seperti nasib Nyai Ontosoroh, mereka didatangi pengacara Belanda yang menyatakan seluruh kekayaan dan aset yang mereka kelola menjadi milik istri Belanda William, sesuai dengan undang-undang Belanda.
Merasa kenal dengan cerita ini? Tentu saja. Garin memang menggunakan novel Bumi Manusia sebagai kerangka utama film ini. Bagi mereka yang sudah membaca novel itu atau menyaksikan pertunjukan Bunga Penutup Abad arahan Wawan Sofwan yang diadaptasi dari novel Pramoedya tersebut, film Nyai ini sebetulnya tak terlalu jauh dari petilan yang diangkat Wawan. Tapi Garin tentu saja bukan Garin jika tak memasukkan erotisme dalam karyanya.
Nyai versi Garin, yang juga dipengaruhi novel-novel 1920-an lainnya, tentu punya kekasih Indonesia. Saat si kekasih—yang mengaku sebagai seorang novelis—datang, segalanya berubah. Serta-merta Nyai, yang baru saja mengepalkan tangan protes terhadap kekejian kolonialisme, lumer seperti mentega kena api karena rayuan sang novelis. Kebaya perlahan jatuh. Tali kutang menggelincir. Ketika Nyai masuk ke kamar disusul si novelis, kita hanya membayangkan apa yang terjadi.
Delapan puluh lima menit yang dominan dengan kehadiran tokoh Nyai tentu membutuhkan seorang aktris yang tidak hanya cantik—ya, tentu dia sangat jelita—tapi juga seseorang yang bisa membuat kita terpaku pada segala yang diucapkannya, yang ditangisinya, atau yang dikutuknya. Dalam hal ini, Annisa Hertami belum memenuhi persyaratan itu.
Tapi dia sangat terbantu oleh keluwesan Cahwati Sugiarto dan Gunawan Maryanto, yang berperan sebagai pembantu setia yang terkadang beralih menjadi seperti punakawan dalam wayang: bijak, lucu, sekaligus loyal. Cahwati dan Gunawan justru seperti dua tokoh yang tak dicangkok serta menjadi bagian alamiah dari pendapa dan jagat yang diciptakan Garin.
Di luar itu semua, eksperimen Garin adalah salah satu cara tepat untuk merayakan perkawinan film dan teater. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo