Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menjaga Ketahanan Pangan dengan Kearifan Lokal

Komunitas adat yang tinggal di wilayah yang aman dari ancaman alih fungsi lahan mampu mempertahankan tradisi dalam menjaga ketahanan pangan mereka. Namun, selama masa pandemi, tak sedikit masyarakat adat yang terancam karena tidak lagi punya lahan untuk bercocok tanam.

15 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga beraktivitas di depan leuit atau lumbung padi di perkampungan adat Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi, Jawa Barat, 22 November 2020. TEMPO/Rommy Roosyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sebagian masyarakat adat menjaga swasembada pangan di wilayahnya.

  • Masyarakat adat yang menjadi korban konflik dan bencana banyak kehilangan lahan.

  • Aliansi Masyarakat Adat Nusantara membuat aneka program tanggap darurat pandemi.

Akhir pekan ini, warga kampung adat Kasepuhan Ciptagelar di Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, harus merayakan upacara adat Seren Taun dalam suasana berduka. Pasalnya, pada pertengahan Juli lalu, Emak Alit—istri Ketua Adat Kasepuhan Ciptagelar, Abah Ugi Sugriana Rakasiwi—meninggal. Rangkaian acara syukuran musim panen tahunan yang biasa digelar saban akhir Agustus itu pun dimajukan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Karena pada 24 Agustus nanti merupakan peringatan 40 hari meninggalnya Emak Alit," kata juru bicara Kasepuhan Ciptagelar, Yoyo Yogasmana, kepada Tempo, Kamis lalu. Pelaksanaan Seren Taun kali ini juga tak semeriah biasanya. Sejak tahun lalu, sesepuh kampung membuat kebijakan lockdown alias menutup pintu bagi para pendatang untuk berkunjung ke desa yang berada di pelosok antara Gunung Salak dan Gunung Halimun itu. Kebijakan ini diambil untuk mencegah penularan Covid-19.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Padahal pesta perayaan panen padi di Ciptagelar selalu dimeriahkan tamu dari dalam dan luar negeri. "Selama masa pandemi Covid-19 masih ada, kami merayakan Seren Taun secara internal saja," ujar Yoyo. Meski Seren Taun tahun lalu dan tahun ini lebih sepi daripada perayaan sebelumnya, kegembiraan tetap dirasakan warga Ciptagelar. Bagaimana tidak, hasil panen padi mereka terus meningkat dan melimpah.

"Panen padi kami setiap tahun rata-rata selalu surplus 40 ribu ton,” ujar Yoyo. Jumlah ini terus menambah pundi-pundi stok beras di lebih dari 8.000 lokasi leuit (lumbung padi) milik kampung. Tak mengherankan jika pada 2017 Abah Ugi Sugriana menyatakan stok pangan untuk sekitar 30 ribu warga Ciptagelar aman hingga 95 tahun mendatang. "Dengan panen yang setiap tahun selalu surplus, mungkin kecukupan stok pangan kami sekarang sudah sampai 100 tahun."

Seren Taun hanya satu dari sekian banyak tradisi yang berkaitan dengan produksi pangan di Ciptagelar. Mereka masih mempraktikkan sistem pertanian tradisional yang sudah berusia lebih dari 6 abad. Beberapa tradisi yang masih dilanggengkan antara lain penggunaan bibit padi lokal berbatang panjang. Saat mengolah lahan, warga pantang memakai pestisida kimia dan alat pertanian modern. Warga juga hanya menanam padi di lahan sekali dalam satu tahun dengan tujuan mengistirahatkan tanah atau menggunakannya untuk bercocok tanam komoditas lain.

Warga menampi beras di perkampungan Kesepuhan Cipta Gelar, Sukabumi, Jawa Barat. Dok. TEMPO/Aditia Noviansyah

Sepanjang proses bercocok tanam, warga Ciptagelar melakukan berbagai ritual yang bernilai penghormatan terhadap padi. Satu pekan sejak menanam benih, warga melaksanakan ritual sapang jadian pare ketika benih mulai tumbuh. Diikuti dengan upacara mapag pare beukah ketika padi siap dipanen. Lalu ada juga syukuran mipit pare yang dilakukan pascapanen. Disusul dengan upacara ngayaran berupa syukuran besar ketika hasil panen sudah dikonsumsi. Seren Taun adalah puncak rangkaian upacara itu.

Di luar berbagai upacara adat, nilai utama yang dipegang teguh warga Ciptagelar adalah memandang beras sebagai benda sakral. Hasil panen dari sawah, baik dalam bentuk padi, gabah, maupun beras, haram dijual. Saat hendak mengkonsumsinya, warga juga dilarang mengupas kulit gabah memakai mesin heler. Sampai saat menanak nasi pun, alat modern seperti magic jar tak boleh digunakan.  

Stok beras yang melimpah inilah yang membuat warga Ciptagelar tak merasa khawatir meski sudah hampir satu tahun tak menerima kunjungan wisatawan. "Toh, kedatangan wisatawan ke kampung kami bukanlah sumber penghidupan kami. Sumber kehidupan kami, ya, dari stok pangan yang kami miliki. Justru, ketika tamu datang ke sini, mereka ikut makan bersama kami," ujar Yoyo berseloroh.

Pemasukan dalam bentuk uang yang diterima dari tamu, ia menambahkan, tak dipandang sebagai sumber penghasilan. "Uang dari tamu ibaratnya hanya untuk lauk makan kami. Lagi pula, kami tak pernah mewajibkan tamu memberi uang saat berkunjung."

Memang, Ciptagelar tak rapat-rapat menutup pintunya. Sesepuh kampung masih membolehkan kedatangan tamu dengan kepentingan jelas. Misalnya petugas pemerintahan atau akademikus yang sedang melakukan penelitian. Itu pun harus dengan syarat bebas Covid-19. Tapi untuk wisatawan yang datang buat sekadar berfoto-foto, "Mohon maaf, lain kali saja," tutur Yoyo.

 

Warga membelah kayu bakar di pelataran rumahnya di Kampung Naga di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, 10 Juli 2021. TEMPO/Rommy Roosyana

Komunitas adat Kampung Naga di Tasikmalaya juga punya sistem ketahanan pangan untuk menjamin keberlangsungan hidup warganya. Di kampung berpenghuni hampir 300 jiwa ini, terdapat sistem Leuit. Sistem ini mewajibkan warga menyisihkan hasil panen sawahnya ke lumbung padi komunal.

Setiap usai panen, warga harus menyetorkan 30 persen hasil panen ke lumbung kampung. Sisanya atau 70 persen, boleh digunakan untuk konsumsi rumah tangga masing-masing. Saban panen, setiap kepala keluarga mampu menghasilkan rata-rata lima kuintal gabah dari satu petak sawah. Setiap petak berukuran 10 bata atau sekitar 140 meter persegi. Sistem ini juga menjadi cadangan pangan untuk menopang kekurangan jika terjadi kegagalan panen.

Varietas padi yang ditanam warga Kampung Naga hanya mengandalkan padi lokal, lantaran mereka yakin padi tersebut selalu membawa banyak berkah. "Alhamdulillah, di sini tidak pernah kekurangan padi setiap musim tanam. Semua warga juga tidak pernah gagal panen karena hama atau kekurangan air. Tidak pernah kekeringan meskipun kemarau panjang karena air melimpah," Juru Pelihara Kampung Naga, Ucu Suherlan.

Metode penanaman padi juga tak memakai pupuk dan pestisida kimia. Lalu, warga menerapkan metode tanam yang disebut "JanJul" alias Januari-Juli. "Pada periode ini, secara alamiah ada kelompok serangga pemakan hama wereng padi di sawah-sawah. Makanya, tak perlu takut padi rusak oleh hama," Ucu menjelaskan.

Padi hasil panen Sanaga —sebutan warga Kampung Naga— diolah dengan cara tradisional. Kaum perempuan Sanaga mengolah padi menjadi beras dengan cara ditumbuk menggunakan lisung. Proses penumbukan dilakukan di Saung Lisung, sebuah bangunan terbuka yang dibangun terpisah dari permukiman, seperti di pinggir atau di atas balong (kolam) yang ditanami bermacam-macam ikan.

Saung Lisung sengaja dibuat di pinggir atau di atas balong (kolam) supaya limbah dari ngalisung (penumbukan padi) berupa huut (dedak) dan beunyeur (potongan-potongan kecil beras) langsung masuk ke kolam dan menjadi makanan ikan. Dengan begitu, limbah Saung Lisung, baik debu maupun sampahnya tidak mengotori permukiman warga. Begitu juga dengan kandang ternak milik warga yang selalu ditempatkan jauh dari permukiman. Kandang-kandang ternak juga sebagian dibangun di atas kolam supaya limbah berupa kotoran hewan bisa langsung terbuang.

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Sekjen AMAN) Rukka Sombolinggi. Dok. AMAN

Kampung adat Kasepuhan Ciptagelar dan Kampung Naga menjadi contoh komunitas adat yang mampu menjaga kedaulatan pangan dan hampir tak terpengaruh pandemi Covid-19. Warga di sana bisa mempertahankan keutuhan wilayah adat serta masih setia menjalankan nilai-nilai dan praktik leluhur. Mereka masih memegang teguh musyawarah adat, gotong-royong, dan memanfaatkan kekayaan titipan leluhur secara bijaksana.

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, dalam pidatonya pada perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia, 9 Agustus lalu, mengatakan nilai-nilai itulah yang membuat masyarakat adat bisa bertahan di tengah krisis yang sedang berlangsung.

Rukka menjelaskan, masyarakat adat beserta wilayah adatnya yang masih bertahan sebagai sentra produksi dan lumbung pangan terbukti mampu menyelamatkan warga, sesama kelompok masyarakat adat, bahkan bangsa dan negara, dari ancaman krisis pangan. "Masyarakat adat tidak hanya memiliki kemampuan memenuhi pangannya secara mandiri, tapi juga mampu berbagi dengan komunitas-komunitas lain, bahkan ke kota-kota."

Contoh komunitas adat lain yang mampu mempertahankan wilayah adatnya adalah masyarakat Dayak Iban di Sungai Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Rukka mengatakan orang-orang Dayak Iban mampu menjaga keutuhan Sungai Utik, baik secara budaya maupun wilayah, meski digempur alih fungsi lahan perkebunan dan pertambangan. "Selama masa pandemi, kehidupan di Sungai Utik hampir tak terpengaruh. Covid-19 mengingatkan bahwa kita harus kembali ke akar."

Hal senada dikatakan Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid. Dalam acara yang sama, ia mengatakan ada sejumlah wilayah adat yang terjaga dan relatif baik, sehingga bisa mengikuti kebijakan lockdown. "Tapi sebagian lagi tidak punya kemewahan itu. Kita tahu bahwa sebagian lahan masyarakat adat bersinggungan dengan perkebunan, pertambangan, dan kota. Irisan itu akan membatasi kemampuan masyarakat adat untuk menerapkan mekanisme kendali yang ada secara efektif."

Hilmar menilai kearifan masyarakat adat dalam melihat dan mengatasi situasi krisis menjadi bekal terbaik yang mereka miliki. Masyarakat adat, kata dia, punya pemahaman terhadap konsep pandemi, memiliki ikatan sosial yang kuat, menaati otoritas, serta paham akan pengetahuan mengenai ketahanan pangan dan pengobatan tradisional. "Itu yang kita sebut ketahanan," ujarnya.

Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid. TEMPO/M. Taufan Rengganis

Namun, dari sekitar 2.000 lebih komunitas adat di Nusantara, sebagian menghadapi aneka krisis selama masa pandemi. Misalnya komunitas Dayak yang tersebar di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah, dan Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Awal 2021, mereka terkena dampak banjir besar yang menghanyutkan rumah dan ladang. Akibatnya, masyarakat adat di sana kesulitan memenuhi kebutuhan pangan mereka.

Ada juga masyarakat adat Besipae yang tergusur dari hutan adat Pubabu di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, sejak 2020. Sebab, di sana hendak dibuka proyek intensifikasi peternakan. Konflik serupa dialami sejumlah komunitas adat di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Di sana, masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta berjuang mendapatkan hutan adat yang biasa mereka garap. Kini hutan itu dikelola sebuah perusahaan perkebunan.

Untuk mengadvokasi dan membantu mereka selama masa pandemi, AMAN membuat program tanggap darurat guna memenuhi kebutuhan mereka. "Akibat bencana dan konflik, banyak warga dari komunitas adat yang kehilangan lahan dan sulit memenuhi kebutuhan pangan," kata Ketua Tim Tanggap Darurat AMAN, Annas Radin Syarif, kepada Tempo, Jumat lalu.

Tak hanya memenuhi kebutuhan pokok dan bahan pangan, AMAN membantu pembelian bibit serta alat pertanian agar masyarakat adat kembali produktif menanam. "Tergantung situasi dan kesulitan yang dihadapi setiap komunitas." Program ini juga menjangkau komunitas adat di wilayah yang relatif aman. "Kami memastikan produksi pangan mereka tetap stabil," Annas menambahkan.

Komunitas adat yang produksi pangannya lebih berlimpah pun berkontribusi dengan turut menyalurkan bantuan ke komunitas adat lain ataupun masyarakat sekitar. "Bentuknya macam-macam. Ada komunitas adat yang melakukan barter hasil bumi sesuai dengan kebutuhan. Seperti hal yang dilakukan sejumlah komunitas di Sumba. Warga pesisir membarter tangkapan ikan dengan hasil kebun warga di gunung," tuturnya.

Untuk menggerakkan kembali produksi pangan di tingkat komunitas, AMAN juga mengadakan gerakan Pulang Kampung bagi anak-anak dari komunitas adat yang bersekolah di kota. "Selama masa pandemi, hidup mereka juga susah. Kami fasilitasi untuk kembali ke kampung agar mereka bisa membantu kegiatan pertanian atau mengeksplorasi potensi obat-obatan tradisional."

PRAGA UTAMA | ROMMY ROOSYANA (TASIKMALAYA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Praga Utama

Praga Utama

Bergabung dengan Tempo sejak 2011 sebagai periset foto dan beralih menjadi reporter pada 2012. Berpengalaman meliput isu ekonomi, otomotif, dan gaya hidup. Peraih penghargaan penulis terbaik Kementerian Pariwisata 2016 dan pemenang lomba karya tulis disabilitas Lembaga Pers Dr Soetomo 2021. Sejak 2021 menjadi editor rubrik Ekonomi Bisnis Koran Tempo.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus