Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Narapidana beragama Kristen dan Katolik turut mendapat bimbingan rohani di dalam penjara.
Proses ibadah selalu berlangsung ramai.
Para pastor dan pendeta tidak menuntut honor.
KEGEMBIRAAN bagi Romo Antonius Didit Soepartono adalah melihat pencandu narkotik pulih dari kecanduan. Sudah 15 tahun Romo Didit mengisi misa oleh Kelompok Kasih Tuhan, komunitas yang berfokus membantu rehabilitasi narapidana narkotik di lembaga pemasyarakatan. “Sebulan bisa empat kali ke penjara,” ujar pastor 51 tahun itu pada Jumat, 7 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awalnya ia mengaku takut berkhotbah di penjara karena membayangkan akan berhadapan dengan para pelaku kejahatan. Seiring dengan waktu berjalan, ketakutannya mengendur. Dia menjadi terbiasa memimpin misa sebanyak dua kali dalam sepekan, yakni pada Selasa dan Kamis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam khotbahnya, Didit selalu menyampaikan kasih Tuhan jauh lebih besar daripada dosa yang telah diperbuat. “Bila kita mau kembali, Allah pasti akan mengampuni. Tidak ada orang yang jelek di mata Tuhan,” katanya. Dia melakukan hal ini karena banyak para narapidana narkotik yang merasa ditinggalkan keluarga. Didit menyarankan untuk memaafkan.
Ia menyimpulkan, narapidana membutuhkan seseorang yang mau mendengar. Itu sebabnya sesi sakramen tobat menjadi bagian ibadah yang paling ditunggu. Di bilik pengakuan, Didit biasa mendengar pengakuan dosa dari para narapidana.
Ibadah yang digelar pun selalu ramai. Narapidana tampak antusias karena selalu bersorak memuji Tuhan saat khotbah berlangsung. “Entah motivasinya apa… mungkin karena setelah ibadah kami membawa makanan nasi boks,” ucap Didit, terkekeh.
Namun Didit juga melihat penderitaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Cipinang, Jakarta, penjara yang paling sering ia kunjungi. Dia kerap mendampingi warga binaan menjemput maut di bangsal Rumah Sakit Pengayoman Cipinang. Para narapidana umumnya dirawat karena mengidap HIV dan penyakit paru-paru. “Menderita sekali melihatnya,” ujarnya.
Kisah pilu lain kerap dialami John Lakollo, pendeta yang sudah berkhotbah di berbagai penjara sejak 1995. John mengatakan beberapa kali mendapat tugas mendampingi napi kasus narkotik yang divonis hukuman mati di LP Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Kepada narapidana itu, John selalu menyampaikan firman Tuhan mengenai pertobatan. “Dengan firman Tuhan, mereka kuat,” katanya.
Sekali dalam sebulan, John mendatangi penjara untuk memberikan layanan melalui yayasan penginjilan yang dibentuknya. Dengan bantuan dana dari donor, John dan yayasannya memberikan pelayanan di LP Pondok Bambu, Tangerang, Banten; LP Salemba, Jakarta Pusat; dan Rumah Tahanan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Uang donor digunakan untuk membeli makanan dan buat biaya transportasi. “Saya tidak digaji,” ujarnya.
Dalam setiap layanan, John menyampaikan kepada para narapidana untuk memperdalam Alkitab. Dia menghidupkan pembahasan dengan meminta peserta memberi pendapat mengenai satu topik dalam Kitab Suci. “Jadi tidak monolog, tapi dialog,” tuturnya.
Selain membahas Alkitab, John sering mengajak para napi melakukan konseling. Tapi ada tantangan. John mengatakan ia mengalami kesulitan melayani napi narkotik. Mereka sulit berfokus. Meski begitu, John mengatakan metodenya cukup berhasil. “Ada yang sudah berubah, ada pula yang tetap ikut pelayanan ketika sudah bebas.”
John melanjutkan pelayanan pasca-rehabilitasi dengan membentuk asosiasi yang menampung bekas pencandu untuk berkarya. Sebab, kata dia, banyak narapidana sebenarnya masih muda dan punya latar belakang pendidikan tinggi tapi kesulitan mencari pekerjaan setelah bebas.
Program kerohanian merupakan salah satu cara Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia merehabilitasi narapidana narkotik. Direktur Jenderal Pemasyarakatan Reynhard Saut Poltak Silitonga mengatakan program ini bagian dari terapi psikososial untuk para napi. Lembaganya akan terus berfokus mengembangkan metode ini. “Berdasarkan hasil evaluasi pada 2020, didapati peningkatan kualitas hidup peserta rehabilitasi,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo