Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengolok Duterte, Menggunjingkan Rama X

Para kartunis di sejumlah negara Asia Tenggara terus berjuang menyampaikan kritik terhadap isu politik, pelanggaran hak asasi, dan belenggu kebebasan berpendapat. Menghadapi berbagai ancaman hingga perisakan di media sosial.

15 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RENTETAN unjuk rasa menentang rezim Perdana Menteri Prayuth Chan-o-cha melanda Thailand sejak awal tahun lalu. Aksi protes yang diikuti puluhan ribu orang—sebagian besar anak muda—itu juga menuntut reformasi di dalam Kerajaan Thailand. Gelombang aksi massa prodemokrasi yang terus berlangsung hingga kini tersebut membawa pengaruh besar kepada Nuttawat Suphannakul. “Masalah terkait dengan kebebasan berpendapat meningkat sejak pemerintah diktator ini berkuasa lewat kudeta 2014,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ilustrator asal Bangkok yang awalnya lebih banyak membuat pesanan ilustrasi untuk buku, majalah, dan grup band itu kian sering membuat karikatur atau gambar berisi kritik dan pesan politik. Dia juga membantu para aktivis mendesain poster-poster yang dibawa saat berunjuk rasa. “Saya juga membuat gambar tentang orang-orang yang dipenjara,” ujar Nuttawat lewat surat elektronik kepada Tempo pada Jumat, 7 Mei lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dennis Gasgonia, kartunis asal Filipina. Dok. Pribadi

Urusan gambar-gambar berisi kritik itu pernah membuat Nuttawat berselisih dengan teman dekatnya ketika situasi politik di Thailand memanas. Ditambah gerakan protes publik yang awalnya menyasar pemerintah merembet ke isu reformasi monarki. Rupanya, kawan Nuttawat tersebut adalah seorang loyalis alias pendukung kerajaan. “Padahal saya belum melakukan apa-apa soal itu, tapi dia marah dan mengancam saya,” ucapnya.

Pembahasan soal monarki adalah hal sensitif di Thailand. Negara itu memiliki aturan yang dikenal sebagai Seksi 112 atau lèse-majesté untuk melindungi monarki dan anggota keluarga kerajaan (Raja Thailand kini adalah Rama X Maha Vajralongkorn). Mereka yang berani menggunjingkan atau mengkritik monarki atau keluarga raja bakal ditangkap dan terancam hukuman penjara puluhan tahun. Sejak Perdana Menteri Prayuth kembali berkuasa pada Juli 2019, lebih dari 40 aktivis didakwa dengan aturan lèse-majesté karena terlibat demonstrasi dan menuntut reformasi monarki.

Aturan lèse-majesté membuat banyak seniman “tiarap” dan memilih menyensor karya-karya mereka. Menurut Nuttawat, ada seorang pelajar seni yang dilaporkan ke polisi gara-gara dituding melanggar aturan Seksi 112. Padahal gambar-gambar yang dibuatnya adalah karya abstrak dan tidak membahas langsung soal monarki. “Di Thailand, jika Anda dilaporkan melanggar Seksi 112, ada kemungkinan bisa masuk penjara bertahun-tahun meski pengadilan belum mengeluarkan putusan.”

Kartun berjudul "Pinakyu" karya Josua Cabrera.

Kartunis Thailand, Tanis Weerasakwong, menyebutkan masalah pelanggaran hak asasi di negaranya sangat buruk. Kala junta militer berkuasa, menurut Tanis, ada beberapa kartunis Thailand yang ditahan karena membuat gambar berisi kritik. Namun jumlah penulis dan jurnalis yang dipenjara lebih banyak. “Mengkritik lewat gambar, meme, simbol dalam kartun atau komik sepertinya masih lebih aman dibanding teks,” kata Tanis.

Bersama Nuttawat, Tanis berpartisipasi dalam pameran kartun daring tentang hak asasi manusia di Asia Tenggara yang dibuka pada Senin, 3 Mei lalu. “Saya juga ingin menyampaikan masalah hak asasi kepada warga Thailand dan dunia, membantu membuat situasi lebih baik,” tutur Tanis. Dimotori kartunis Malaysia, Zulkiflee Anwar Ulhaque alias Zunar, pameran itu menyoroti isu pelanggaran hak asasi manusia dan pembungkaman kritik yang masih marak terjadi di Asia Tenggara. Zunar sendiri kerap berurusan dengan polisi karena sering melontarkan kritik pedas kepada pemerintah lewat gambar-gambarnya.

Lewat gambar pula para kartunis Myanmar mengkritik pemerintah yang dikuasai junta militer sejak negara itu merdeka pada 1948. Ba Gyan adalah kartunis pionir dan paling populer di Myanmar. Banyak karyanya berisi kritik mengenai isu politik, ekonomi, dan sosial. Seperti dilaporkan media independen Myanmar, The Irrawaddy, Ba Gyan berani menolak tawaran pekerjaan dari pemerintah dan memprotes kebijakan pajak yang dinilai merugikan rakyat. Pada November saban tahun, ada pameran kartun digelar di Yangon sebagai penghormatan kepada kartunis yang meninggal pada 1953 itu.

Kartunis asal Filipina Josua Cabrera. Dok.Panitia

Lebih dari 70 tahun berkuasa, junta militer Myanmar kian represif. Pelanggaran hak asasi manusia makin sering terjadi. Kebebasan berpendapat dipangkas. Kartunis Myanmar, Kyaw Thu Yein, menggambarkan kekacauan di negaranya lewat kartun berjudul Trophies untuk pameran tentang kebebasan pers yang digelar Kedutaan Besar Belanda di Bangkok pada Desember tahun lalu. Kartun itu menggambarkan dua tokoh, satu berseragam seperti tentara dan satu lagi bertopeng dengan memanggul senjata bak penjahat. Mereka bersulang sambil nyengir di depan jajaran “trofi” berisi potongan tangan para jurnalis.

Kondisi memburuk ketika militer di bawah kendali Jenderal Min Aung Hlaing melancarkan kudeta pada 1 Februari lalu. Internet diblokir dan media massa dibredel. Tentara dan polisi memburu, menganiaya, dan menahan para demonstran. Namun gerakan melawan junta militer terus berlanjut.

Asosiasi Kartunis Myanmar dan para pekerja seni ikut bergabung dengan demonstran di jalanan. Mereka menggelar aksi protes menentang kudeta dan junta militer. “Seni tak hanya dapat dipakai sebagai alat melawan pemerintah, tapi juga merefleksikan situasi paling kini,” ucap pelukis asal Yangon, Khin Zaw Latt, seperti dilaporkan situs Artnet News. Khin Zaw Latt membuat kompilasi gambar tiga jari yang menjadi simbol aksi pembangkangan sipil terhadap junta militer.

Kartun berjudul "Justice" karya Nuttawat Suphanakul.

Akan halnya kondisi di Filipina, era Presiden Ferdinand Marcos yang represif adalah masa kelam bagi rakyat Filipina. Menurut kartunis Filipina, Josua Cabrera, masyarakat bisa menikmati kebebasan gerakan sipil prodemokrasi menjungkalkan Marcos pada 1986. Kala masih berkuasa, Presiden Marcos terlibat dalam banyak praktik pelanggaran hak asasi. Dia juga terlibat korupsi. Selain itu, Marcos memberangus kebebasan berpendapat dan membredel media massa. “Banyak kartunis dipenjara gara-gara membuat karikatur berisi kritik terhadap pemerintah,” ujar Cabrera.

Setelah Marcos pergi, dunia karikatur Filipina berkembang pesat. Mengkritik kinerja pemerintah lewat gambar menjadi hal yang biasa dilakukan para kartunis. Namun masalah kembali muncul ketika Presiden Rodrigo Duterte berkuasa pada 2016. Penangkapan sejumlah jurnalis dan aktivis politik serta tekanan terhadap media massa mengingatkan kembali pada teror yang dulu terjadi di era Marcos. “Belum ada tekanan langsung terhadap para kartunis, tapi adanya ancaman terhadap kebebasan berekspresi itu sudah nyata,” kata Cabrera.

Nuttawat Suphanakul. Dok. Panitia

Kartunis lain Filipina, Zach, menyebutkan mereka yang membuat karikatur berisi kritik terhadap pemerintah kerap dirisak para pendukung penguasa. Zach, yang bergabung dengan Cartoon Movement, situs publikasi karikatur yang memuat isu hak asasi, sosial, dan politik dari seluruh dunia, juga kerap dirisak karena membuat gambar berisi kritik terhadap pemerintah.

Zach pernah membuat karikatur yang mengkritik program Presiden Duterte dalam menumpas perdagangan narkotik dan penanganan wabah pandemi Covid-19 di Filipina yang dinilai tak transparan, mengintimidasi para pengkritiknya, dan penuh disinformasi. “Kebebasan berekspresi tidak bisa berkembang jika penyensoran dan penyebaran disinformasi terus terjadi,” tutur pria yang memilih Zach alih-alih nama aslinya sebagai identitas dalam gambarnya dengan alasan menjaga keamanan diri tersebut.

Zach, kartunis asal Filipina. Dok. Pribadi

Adapun Dennis Gasgonia menilai kartunis Filipina lebih beruntung dibanding para koleganya di sejumlah negara Asia Tenggara yang lain. Menurut pria asal Kota Cebu itu, para kartunis tetap bisa menggambar dan mempublikasikan sejumlah isu sensitif, seperti represi aparat keamanan, pelanggaran hak asasi manusia, dan korupsi. “Bisa menikmati kebebasan berpendapat dalam menggambar karikatur adalah sebuah kemewahan.”

GABRIEL WAHYU TITIYOGA, ISMA SAVITRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus