Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Putri Latifa binti Muhammad al-Makhtum diculik dari kapal pesiar di perairan Goa, India.
Latifa kabur dari Dubai untuk mencari suaka ke Amerika Serikat.
Pelanggaran hak-hak perempuan di Emirat kembali jadi sorotan.
KEBERADAAN Putri Latifa binti Muhammad al-Makhtum, anak Syekh Dubai, masih gelap. Dia diculik aparat keamanan Uni Emirat Arab ketika hendak kabur dari negaranya pada 2018. Kasus mencuat ketika video berisi pengakuan Latifa bahwa dia telah dikurung dan disiksa oleh ayahnya sendiri pada Februari lalu tersebar. Pada akhir April lalu, pakar hak asasi manusia independen, termasuk pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk kekerasan terhadap perempuan, meminta pemerintah Emirat menunjukkan "bukti hidup" Latifa karena "tidak ada informasi konkret yang diberikan oleh pihak berwenang" negeri itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka menilai pernyataan Emirat bahwa Latifa sedang dirawat di rumah tidak cukup sebagai bukti. "Bukti hidup dan jaminan tentang kesejahteraannya sangat dibutuhkan," kata mereka dalam sebuah pernyataan. Mereka juga menuntut verifikasi independen dilakukan atas kondisi Latifa dan pembebasannya segera.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putri Latifa binti Muhammad al-Makhtum lahir pada 1984. Dia satu dari sekitar 30 anak Syekh Muhammad bin Rashid al-Makhtum, penguasa Dubai yang terkenal sebagai tokoh pengubah Dubai menjadi tujuan bisnis dan wisata terkenal. Syekh Muhammad menjabat Perdana Menteri Uni Emirat Arab. Dia pernah mengecap pendidikan di sekolah bahasa Inggris di Bell English, Inggris, menjalin hubungan dengan Ratu Inggris Elizabeth, dan mendirikan istal besar Godolphin di Inggris.
Latifa bersekolah di English Speaking School dan melanjutkan pendidikan di International School of Choueifat. Dia penerjun payung berpengalaman yang dilatih oleh juara terjun payung dunia, Stefania Martinengo. Dia juga bersahabat dengan Tiina Jauhiainen, pelatih kebugaran asal Finlandia.
Namun Latifa hidup tertekan di rumahnya sendiri. #Freelatifa, gerakan kampanye pembebasan Latifa, menyatakan, meskipun tumbuh dalam sangkar berlapis emas, Latifa diperlakukan, seperti kebanyakan perempuan lain di Emirat, sebagai anak-anak dalam pengawasan laki-laki, bukan orang dewasa yang leluasa memiliki pilihan sendiri. Dalam kampanye yang digalang Jauhiainen, Martinengo, dan teman-temannya itu disebutkan Latifa dan kakak perempuannya, Shamsa, dikurung dan disiksa atas perintah ayah mereka sendiri. "Saya tidak diizinkan mengemudi, saya tidak diizinkan bepergian atau meninggalkan Dubai sama sekali," ujar Latifa dalam video yang direkam sebelum dia melarikan diri.
Video yang dikirimkan Putri Latifa binti Muhammad al-Makhtum mengenai kondisinya. Youtube/BBC
Shamsa mencoba melarikan diri pada Juli 2000 saat sedang berlibur di vila keluarga di Surrey, Inggris. Syekh Muhammad melakukan pencarian tanpa memberi tahu polisi. Shamsa akhirnya ditemukan di Cambridge sebulan kemudian. Sejak itu, Shamsa tidak pernah terlihat lagi di depan umum.
Pada Juni 2002, saat berusia 16 tahun, Latifa berupaya melarikan diri untuk pertama kalinya dengan melintasi perbatasan Emirat ke Oman. Dia lantas ditangkap dan dikurung di rumahnya di Dubai selama tiga tahun.
Usaha kedua Latifa berlangsung pada Februari 2018, ketika dia bertemu dengan Tiina Jauhiainen di sebuah kedai kopi di Dubai. Dia dan Jauhiainen bermobil ke luar kota dan berhasil melintasi perbatasan ke Oman. Menggunakan jet ski, mereka menuju kapal pesiar Nostromo yang dikemudikan mantan perwira intelijen Prancis, Hervé Jaubert. Mereka berlayar ke Goa, India. Rencananya, Latifa mencari suaka ke Amerika Serikat.
Namun pada malam 4 Maret 2018, di lepas pantai Goa, militer India dan Emirat menyergap mereka. Menurut Jaubert, setidaknya lima kapal perang, lengkap dengan meriam dan rudal, serta dua pesawat terbang militer dan sebuah helikopter mengepung Nostromo. Jauhiainen menuturkan, kira-kira 15 orang dengan senapan mesin naik ke kapal dan melempar gas air mata. Para tentara meringkus semua orang di kapal. Latifa mencoba melawan dan menggigit seorang prajurit Emirat, tapi kemudian dibius dan tak sadarkan diri hingga tiba di Dubai.
Jaubert dan Jauhiainen dipaksa membuat pengakuan sesuai dengan instruksi otoritas Emirat. Bila menolak, mereka diancam menghadapi hukuman mati. Lalu mereka disuruh menandatangani dokumen dalam bahasa Arab yang tak mereka ketahui isinya.
Dua pekan kemudian Jaubert dan Jauhiainen dibebaskan, tapi mereka diperingatkan agar tetap diam. "Mereka mengatakan 'Syekh Muhammad bin Rashid al-Makhtum adalah salah satu orang paling berkuasa di dunia dan dia dapat menculikmu dari mana saja. Dia bisa mengambilmu bahkan di Finlandia'," tutur Jauhiainen seperti dikutip media Finlandia, Helsinki Times. "Setelah saya pulang, dinas rahasia Emirat menelepon saya untuk mengingatkan saya tentang dokumen yang saya tanda tangani dan memeriksa saya. Mereka akan mengadili saya bila kembali ke Dubai.”
Latifa kemudian dikurung di sebuah vila keluarga yang entah di mana. "Saya jadi sandera dan vila ini telah diubah menjadi penjara," ucap Latifa dalam video yang kemudian dirilis oleh BBC. "Semua jendela berjeruji tertutup. Saya tidak bisa membuka jendela apa pun.”
Latifa mengaku merekam video itu di kamar mandi, satu-satunya ruangan tempat dia bisa mengunci diri. "Saya membuat video ini karena ini bisa jadi video terakhir yang saya buat," katanya. "Sebentar lagi saya akan pergi entah…. saya 99 persen yakin (video) ini akan berhasil. Dan, jika tidak, video ini dapat membantu saya karena ayah saya hanya peduli pada reputasinya."
Pemerintah Dubai mengumumkan bahwa Latifa telah kembali ke rumah dengan selamat dan merayakan ulang tahunnya bersama keluarga. "Kami sadar dan sangat sedih dengan spekulasi media yang terus berlanjut mengenai Yang Mulia Latifa binti Muhammad al-Makhtum. Masalah pribadi keluarga ini telah menyebabkan kekecewaan dan kesusahan yang signifikan bagi semua pihak, terutama Putri Latifa," demikian pernyataan dari Istana Dubai.
Belakangan terungkap bahwa keterlibatan militer India dalam penyergapan Latifa berhubungan dengan kerja sama kedua negara. Perdana Menteri India Narendra Modi telah lama menjalin hubungan erat dengan Emirat di berbagai bidang. Salah satu kerja sama besarnya adalah eksplorasi minyak di Karnataka, India, oleh perusahaan minyak nasional Emirat dan perusahaan India membeli saham salah satu pemegang konsesi minyak lepas pantai terbesar Emirat.
Sumber-sumber diplomatik Asia dan Eropa di New Delhi mengungkapkan, sebagai imbalan dari penangkapan Latifa, Dubai mengekstradisi Christian Michel, tersangka kasus korupsi pengadaan helikopter militer India. Michel didakwa terlibat dalam korupsi pengadaan 12 helikopter mewah senilai 35 miliar rupee atau hampir Rp 7 triliun. Toby Cadman, pengacara hak asasi manusia internasional dari Guernica 37 yang membawa kasus Latifa ke PBB sekaligus penasihat keluarga Christian Michel, membenarkan dugaan terjadinya pertukaran tersebut. "Saya dapat mengkonfirmasi bahwa ada masalah serius dalam prosedur ekstradisi (Michel) dari Emirat ke India dan itu perlu diselidiki dengan cermat," tuturnya.
Namun, hingga kini, belum ada titik terang atas nasib Latifa. Awal Mei lalu, juru bicara Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Rupert Colville, telah bertemu dengan misi diplomatik Emirat di Jenewa, Swiss. Tapi, "Belum, belum ada (bukti soal itu)," ujarnya kepada BBC.
Sejak kasus Latifa mencuat, hak-hak perempuan di Emirat mendapat sorotan tajam. Komite Konvensi PBB untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) sebenarnya telah memberikan beberapa rekomendasi kepada Emirat untuk menjamin kesetaraan perempuan pada 2015. Namun kasus Latifa menunjukkan bahwa perbaikan itu belum cukup.
IWAN KURNIAWAN (Helsinki Times, Times of India, BBC)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo