Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Isu Politik di Pengajian Selasa

Tak hanya mengurus korban kekerasan seksual, Hanifah Muyasarah melalui Balai Perempuan Annisa ikut mendampingi perempuan pekerja migran. Menyelipkan berbagai isu dalam pengajian.

30 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Nyai Hanifah Muyasarah di Pondok Pesantren Al Ihya Ulumaddin, Kesugihan, Cilacap, Jawa Tengah, 23 April 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBELUM menginisiasi rumah aman bagi perempuan korban kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga, Hanifah Muyasarah, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin, membidani lahirnya Balai Perempuan Annisa pada 2002. Pendirian perkumpulan ini dilatari banyaknya persoalan yang dialami perempuan pekerja migran asal Cilacap, Jawa Tengah.

“Pendampingan ini penting karena Cilacap menjadi kantong pekerja migran terbesar di Jawa Tengah,” kata Muyasarah, Sabtu, 23 April lalu. Data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia menunjukkan jumlah pekerja migran dari Cilacap terbanyak ketiga setelah Indramayu, Jawa Barat, dan Ponorogo, Jawa Timur.

Muyasarah bercerita, ada banyak kasus yang menimpa buruh migran, seperti hilang kontak dengan keluarganya, mengalami kekerasan oleh majikan, dan dipekerjakan di bawah umur. Kasus itu juga banyak terjadi di Kecamatan Kesugihan, tempat pesantren itu berdiri. Lewat Balai Annisa, Muyasarah ingin menangani dan mencegah berbagai kasus yang menimpa pekerja migran.

Perempuan kelahiran Majenang, 19 Oktober 1969, ini juga mengajak para mantan buruh migran, pedagang, petani, hingga ibu rumah tangga di sekitarnya untuk mengaji. Pengajian ini sengaja digelar setiap Selasa siang di rumah Muyasarah.

Awalnya, pengajian itu kurang diminati karena warga sekitar pesantren menganggap kegiatan itu hanya untuk orang yang memiliki pengetahuan agama tinggi. “Kebanyakan dari mereka salat hanya sekali sehari,” ucap Muyasarah. Belakangan, anggota Balai Perempuan Annisa yang mengikuti pengajian bertambah, dari semula hanya 30 orang menjadi 150-an orang.

Persamuhan setiap Selasa itu tak melulu membahas isi kitab, tapi juga persoalan politik dan sosial. Misalnya, mereka belajar merumuskan kebutuhan penggunaan dana desa, isu kesetaraan gender, serta perlindungan terhadap anak-anak. Muyasarah juga menggelar berbagai pendidikan dan pelatihan untuk peserta pengajian.

Balai Perempuan Annisa juga menerima berbagai aduan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Siti Munawaroh, seorang pedagang pakaian di pasar, didapuk menjadi penanggung jawab pendampingan kasus KDRT. Perempuan 44 tahun itu menyatakan kebanyakan korban enggan melapor ke polisi karena takut tak bisa mencari uang jika berpisah dari suaminya.

“Saya kasih semangat saja bahwa perempuan harus mencari duit sendiri. Lalu rata-rata jadi pada berjualan,” kata Siti. (Baca: Bagaimana Kekerasan Seksual Terjadi di Pondok Pesantren Pamekasan)

Kiprah Balai Perempuan Annisa diakui Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah dan komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Theresia Iswarini. Tahun lalu, Rini—sapaan Theresia—pernah bertemu dengan Muyasarah dalam suatu forum yang mengadvokasi sunat perempuan. 

Menurut Rini, para nyai dan kiai di pondok pesantren menjadi garda depan yang menginformasikan kepada masyarakat agar tak mempraktikkan sunat perempuan yang ekstrem. Selain berbahaya dari sisi kesehatan, dalam perspektif hak asasi manusia, sunat perempuan adalah penaklukan dan kontrol terhadap tubuh bayi perempuan.

Mereka juga membicarakan progres kerja Balai Annisa, situasi buruh migran, dan kemiskinan yang terus ada di Cilacap. “Menurut saya, Nyai Muyasarah sangat concern pada isu-isu yang menurut dia dapat membantu perempuan,” tutur RiniSelasa, 26 April lalu. (Baca: Bagaimana Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas Mengatasi Kekerasan Seksual di Pesantren?)

Muyasarah dan Balai Perempuan Annisa tak berhenti mendampingi berbagai kasus kekerasan seksual dan KDRT. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Ihya Ulumaddin dan timnya itu tak pernah menolak berbagai laporan kekerasan itu. Ia kerap menghubungkan korban dengan lembaga yang bisa melindungi dan mendampingi korban. “Kami tidak bisa hanya diam,” ucap Muyasarah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Stefanus Pramono

Stefanus Pramono

Bekerja di Tempo sejak November 2005, alumni IISIP Jakarta ini menjadi Redaktur Pelaksana Politik dan Hukum. Pernah meliput perang di Suriah dan terlibat dalam sejumlah investigasi lintas negara seperti perdagangan manusia dan Panama Papers. Meraih Kate Webb Prize 2013, penghargaan untuk jurnalis di daerah konflik, serta Adinegoro 2016 dan 2019.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus