Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pondok Pesantren Kempek Cirebon menyediakan rumah aman bagi korban kekerasan seksual.
Merintis kesetaraan santri perempuan dan laki-laki untuk mempelajari kitab kuning.
Sempat ditentang pengajar lain.
HALIMATUS Sakdiyah masih tak dapat melupakan peristiwa yang terjadi pada Oktober 2016. Kala itu, ia menerima panggilan telepon dari pengasuh Pondok Pesantren Kempek Cirebon, Jawa Barat, Afwah Mumtazah. Awalnya, Halimatus mengira akan menerima kabar tentang putrinya yang sedang nyantri di Kempek.
Ternyata, Afwah meminta Halimatus menampung seorang bayi laki-laki. Halimatus seorang pengasuh Pondok Pesantren Yatim dan Dhuafa Manba’ul Khairaat, Bogor, Jawa Barat. Ibu sang jabang bayi adalah seorang mahasiswa. “Setelah dia melahirkan, Bu Nyai bingung bayinya mau dibawa ke mana. Ya sudah, bawa ke tempat saya saja,” kata Halimatus pada Selasa, 25 April lalu.
Afwah, 48 tahun—yang kerap disapa Nyai—membenarkan cerita ini. Ia mengisahkan sang ibu muda, Nina—bukan nama sebenarnya, ingin merampungkan kuliahnya di jurusan farmasi salah satu kampus di Malang, Jawa Timur. Halimatus setuju. Afwah membawa bayi laki-laki yang masih berusia sembilan hari itu ke pesantren Halimatus di Parung, Bogor.
Baca: Kisah Pengasuh Pondok Pesantren Menyadarkan Kesetaraan Gender Lewat Dakwah
Kisah di balik kelahiran bayi itu cukup menyedihkan. Ayah Nina enggan merawat sang cucu karena lahir di luar pernikahan. Ia bersama istrinya membawa Nina yang tengah hamil enam bulan ke Pesantren Kempek dalam kondisi kalut. “Kalau Nina tinggal di rumah, mereka khawatir tetangga jadi tahu. Ya sudah, tinggal di pondok saja,” ujar Afwah.
Halimatus dan Afwah kompak mengatakan alasan mereka menerima Nina dan bayinya adalah kemanusiaan. Apalagi Nina menolak dinikahkan dengan pria yang menghamilinya.
Menurut Afwah, Nina dan pria tersebut pertama kali bertemu di sebuah restoran di Malang, Jawa Timur. Setelah menyantap makanan, Nina merasa pusing. Ia dibawa ke suatu tempat lalu disetubuhi. “Dia dikasih obat supaya tidak sadar. Dia korban pemerkosaan,” kata Afwah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengasuh Pondok Pesantren Kempek Cirebon, Nyai Afwah Mumtazah, bersama santri kompleks Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat, 21 April 2022. TEMPO/Subekti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pondok Pesantren Kempek sempat digunjingkan gara-gara menampung Nina. Perutnya terlihat membesar saat wira-wiri di pondok. Afwah tetap merawat Nina hingga persalinan meski akhirnya dititipkan ke salah satu rumah kerabat di Desa Kempek. “Sekarang Nina sudah bekerja di apotek, punya suami dan anak,” ujar mantan Rektor Institut Studi Islam Fahmina Cirebon itu.
Ini bukan pertama kali Afwah menampung dan merawat korban kekerasan seksual. Pada 2014, ia pernah menampung Mia—bukan nama sebenarnya, seorang siswa kelas III sebuah madrasah aliyah di Cirebon.
Diantar oleh seorang tukang becak, Mia datang ke rumah Afwah dengan mengenakan seragam sekolah dan menenteng buku lembar kerja siswa. Sambil menangis, Mia bercerita dihamili pacar. Saat itu, usia kehamilannya sudah enam minggu. “Dia enggak mau pulang,” tutur Afwah.
Setelah diberi baju ganti dan menunaikan salat malam, Afwah mengajak Mia mengobrol. Mia ingin menikah dengan pacarnya. Berbekal nomor telepon dari Mia, Afwah menghubungi lelaki itu untuk datang ke pondok.
Tubuh pacar Mia dipenuhi tato dan telinganya bertindik. Afwah sempat ragu dan memastikan keinginan Mia untuk menikah. Mia berkeras ingin menikah. Keduanya kemudian menikah tapi tanpa kehadiran orang tua Mia.
Dua bulan berlalu, perut Mia membesar. Afwah merayu Mia agar mau menemui orang tua. Mia luluh dan memberikan nomor telepon kedua orang tuanya.
Setelah dihubungi, ayah dan ibu Mia girang bukan kepalang. Mereka datang ke Desa Kempek membawa beras dan barang lain. “Mereka bilang sudah mencari ke. mana-mana, alhamdulillah masuk ke pesantren,” ujar Afwah.
Tapi mereka tak tahu Mia sudah berbadan dua. Ibunya jatuh pingsan dan ayahnya marah. Mereka menganggap Mia telah mencoreng nama keluarga dan pesantren. Afwah berupaya menenangkan orang tua Mia dengan menjamin perawatan Mia jika berada di pesantren. Setelah bernegosiasi, kedua orang tua akhirnya menitipkan Mia ke rumah kerabat di Karawang.
Bagi Afwah, orang-orang seperti Mia dan Nina mesti diberi uluran tangan supaya memiliki harapan dan masa depan. Dia ingin pondok pesantrennya menjadi ruang aman, bukan hanya untuk santri, tapi juga bagi siapa pun termasuk korban kekerasan seksual. “Kami niatnya menolong. Kalau tidak ditolong, dia bisa ke mana-mana. Yang penting anak-anak ini aman,” tutur Afwah.
•••
DUA puluh santri perempuan meriung di ruangan yang jembar di Pondok Pesantren Kempek pada Kamis siang, 21 April lalu. Setiap Ramadan, pondok menggelar kajian selama satu jam setiap hari. Sesi mengajar ini kerap diisi oleh pengasuh pondok, Afwah Mumtazah.
Pada kajian di hari itu, mereka mempelajari kitab Qurratul Uyun bi Syarhi Nadzam Ibn Yamun karya Syekh Muhammad at-Tahami Ibnu Madani. Kitab itu mengulas pendidikan seks dan rumah tangga. Menurut salah seorang santri yang berasal dari Bengkalis, Riau, Siti Ashfiyatus Sholihah, pada hari itu Afwah meminta para santri membuka halaman 18 mengenai kewajiban istri terhadap suami.
Halaman tersebut menjelaskan hukuman kepada istri yang membelanjakan uang pemberian suami di luar kebutuhan rumah tangga. Istri tersebut bisa dihukum sebagai seorang pencuri. Tapi Afwah menyebutkan pria juga tetap dihukum jika melakukan hal yang sama.
Di kitab itu juga tertulis Nabi Muhammad membolehkan istri bersujud kepada suami. Namun Afwah menegaskan apa yang tertulis dalam kitab itu tidak bisa diterjemahkan secara langsung. “Ini bedanya mengaji dengan Umi Afwah. Beliau menjelaskan peristiwa yang melatari munculnya hadis itu,” ujar Siti Ashfiyatus.
Afwah menyampaikan bahwa ada konteks dan peristiwa yang melatari kemunculan hadis tersebut. Kala itu, seorang sahabat dari Persia mendatangi Rasul lalu bersujud. Rasul menanyakan alasan tindakan sang sahabat.
Ia beralasan Rasul adalah ciptaan Allah yang paling agung sehingga lebih layak disembah ketimbang seorang raja. Nabi Muhammad menjawab, kalau saja manusia dibolehkan bersujud ke manusia lain, ia akan memerintahkan istri bersujud kepada suami.
Pintu masuk Pondok Pesantren Kempek, Desa Kempek, Kecamatan Gempol, Kabapaten Cirebon, Jawa Barat, 21 April 2022. TEMPO/Subekti.
Dari kajian itu, Siti Ashfiyatus belajar bahwa hadis itu tidak boleh langsung menyimpulkan. “Sujud kepada suami bukan berarti istri jadi penurut sehingga tidak bisa kritis jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga,” ucap remaja berusia 17 tahun itu.
Santri lain, Almaidatul Maula, 20 tahun, mengatakan mempelajari kitab seperti Qurrotul Uyun dengan cara memahami konteks akan menambah pengetahuan dan menjadi bekal saat menjadi istri. “Setelah belajar kitab itu, jadi tahu perempuan diistimewakan. Jangan sampai merasa direndahkan.”
Afwah Mumtazah rutin menggelar kajian kepada santri perempuan sejak memimpin pondok pesantren pada 2004. Karena menjadi pengasuh pondok, ia kerap disapa dengan panggilan Nyai. Ia menyelipkan isu kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam setiap kajian.
Kyai Harun mendirikan Pondok Pesantren Kempek pada 1908. Kepemimpinan pondok berlanjut ke tangan mertuanya. Sejak berdiri, pondok tersebut memang terkenal sebagai pesantren salaf yang salah satu pendidikannya adalah kajian kitab-kitab kuning.
Dia datang ke pesantren pada 2001. Saat itu hanya santri laki-laki yang boleh memegang kitab kuning. “Santri perempuan hanya ikut mendengarkan,” ujar Afwah.
Awalnya, pesantren dihuni sekitar 2.000 santri. Namun jumlah santri berkurang menjadi 200-an orang saat ayah mertua Afwah meninggal pada 2001. Ibu mertuanya wafat pada 2004. Afwah kemudian diangkat menjadi Ketua Yayasan Pondok Pesantren Kempek.
Di awal memimpin pondok, Afwah memodifikasi sistem pendidikan di Pesantren Kempek. Dia merintis Madrasah Takhosus Lil Banat, sekolah yang membolehkan santri perempuan belajar kitab kuning. “Awalnya banyak guru yang menolak. Untuk apa perempuan diajari materi laki-laki?” ujar Afwah menirukan ucapan para guru kala itu.
Menurut dia, santri perempuan ataupun laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk belajar materi di kitab kuning dengan mengerti asal-usul isinya. “Mereka harus kritis. Kalau ternyata ada kitab yang isinya tidak memanusiakan manusia, tidak menjunjung tinggi nilai universal, patut dicurigai. Jangan diikuti,” tutur Afwah.
Dia juga menginisiasi sekolah formal pendidikan anak usia dini hingga menengah atas di Pondok Pesantren Kempek. Sebelumnya, para santri yang ingin menempuh pendidikan formal menumpang di sekolah milik yayasan Pondok Pesantren KHAS Kempek, milik sepupu suami Afwah.
Dengan berbagai pemikiran dan terobosan itu, Afwah kerap dijuluki oleh sesama ibu-ibu di lingkungan pesantren di Cirebon dan daerah lain sebagai Nyai Gender. Padahal Afwah selalu menghindari istilah gender, feminis, dan lainnya.
Ia ingin menghindari polemik dalam mewujudkan pendidikan yang setara bagi santri laki-laki ataupun perempuan. “Gender perspektif Islam itu ada di kitab kuning, bukan menurut perspektif Barat,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo