Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEDUNGOMBO, 19 tahun silam. Usai meresmikan penggunaan waduk di Jawa Tengah itu, seperti biasanya, Presiden Soeharto menggelar temu wicara. Puluhan warga desa duduk ketakzim-takziman, mendengarkan petuah Soeharto. Setelah menjelaskan panjang-lebar ihwal pentingnya waduk itu, Soeharto melemparkan kecamannya kepada penduduk yang tak mau pindah dari lokasi waduk. Ia menyebut mereka mbeguguk ngutho waton (berkepala batu), seraya mengimbau jangan sampai menjadi kelompok mbalelo.
Waduk Kedungombo menyimpan cerita duka bagi ribuan penduduk yang sebelumnya berdiam di sana. Ketika waduk yang mampu menampung 723 juta meter kubik air itu diresmikan, masih ada 600 kepala keluarga yang bertahan di daerah genangan. Mereka tak mau pindah karena ganti rugi yang diberikan pemerintah terlalu kecil dan diputuskan tanpa musyawarah.
Pembangunan Kedungombo dimulai pada 1985. Ketika itu, selain untuk menciptakan pembangkit listrik berkekuatan 22,5 megawatt, air waduk ini juga diniatkan memenuhi kebutuhan sekitar 70 hektare lahan pertanian. Untuk membangun bendungan ini pemerintah mendapat kucuran dana US$ 156 juta dari Bank Dunia, dan US$ 25,2 juta dari Bank Exim Jepang—antara lain.
Untuk mewujudkan waduk seluas 6.000 hektare itu, pemerintah harus memindahkan sekitar 5.000 kepala keluarga yang tersebar di 37 desa di tiga kabupaten—Boyolali, Grobogan, dan Sragen. Selain menelan lahan puluhan desa yang terserak di tiga kecamatan, waduk itu juga ”memakan” 304 hektare tanah negara dan 1.500 hektare lahan Perhutani.
Pada 1983, Gubernur Jawa Tengah, Ismail, mengeluarkan surat keputusan ganti rugi pembangunan Kedungombo. Ganti rugi tanah tertinggi ditetapkan Rp 700 per meter persegi. Ada warga yang menerima, ada yang menampik. Mereka yang menerima ganti rugi diberi pilihan pindah ke tempat yang disediakan pemerintah: Kayen (Purwodadi), Kedungmulyo, Kedungrejo (Boyolali), atau bertransmigrasi ke luar Jawa.
Yang tak menerima memilih bertahan. Pemerintah pun berang. Ketika itulah kekerasan, teror, dan intimidasi dilancarkan. Tak hanya dipaksa memberi cap jempol sebagai tanda setuju ganti rugi, penduduk yang tak mau pindah juga diberi stempel ”PKI”. Penduduk kemudian mengadukan teror dan intimidasi ini ke DPRD Jawa Tengah, Lembaga Bantuan Hukum, hingga Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam. Teror dan kekerasan memang mereda. Tapi perundingan penggantian lahan tetap buntu.
Pada 14 Januari 1989, kendati masih ada sekitar 1.000 kepala keluarga yang belum pindah, Menteri Pekerjaan Umum Radinal Mochtar meresmikan Waduk Kedungombo. Sejak itu, setiap hari permukaan air naik setinggi 20 hingga 50 sentimeter. Air yang terus meninggi ini membuat sebagian warga menyerah, pindah dari kampung halaman mereka. Sejumlah warga terus melawan.
Pada 1990, 34 warga yang tak mau beranjak dari lokasi waduk, lewat Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, menggugat Gubernur Jawa Tengah. Mereka menilai ganti rugi yang ditetapkan gubernur menyalahi ketentuan. Walau di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi kalah, Mahkamah Agung pada 1994 memenangkan gugatan ini. Pemerintah diwajibkan membayar ganti rugi Rp 50 ribu per meter persegi untuk tanah dan bangunan, dan Rp 30 ribu per meter persegi untuk tanaman. Harga ini lebih tinggi dibanding permintaan warga yang Rp 10 ribu per meter persegi.
Gubernur Ismail mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan ini —dan menang. Mahkamah menyatakan gugatan warga tidak dapat diterima, dan majelis hakim kasasi keliru karena membuat putusan melebihi yang dituntut penggugat. Sejak itu, jalur hukum yang ditempuh warga buntet. Menurut Ketua Majelis Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Hendardi, pembangunan Waduk Kedungombo memang sarat dengan pelanggaran hak asasi manusia. ”Ini merupakan catatan hitam dalam sejarah republik ini,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo