Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kekerasan militer terhadap masyarakat sipil masih terus terjadi hingga kini.
Kekarasan militer terhadap masyarakat sipil sering terjadi di Papua.
JAKARTA – Amarah prajurit TNI di berbagai daerah kepada anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat, Effendi Simbolon, mengingatkan kembali agenda reformasi TNI yang digulirkan pada 1998. Peneliti hak asasi manusia dan sektor keamanan di Setara Institute, Ikhsan Yosarie, menilai agenda reformasi TNI selama dua dekade setelah reformasi justru stagnan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indikasinya, kata dia, semakin banyak terjadi kasus kekerasan militer terhadap masyarakat sipil serta peran militer di ranah sipil yang justru menguat. "Kasus pelanggaran HAM yang melibatkan personel TNI, khususnya yang terjadi di Papua, menjadi potret stagnansi tersebut. Kasus kecaman TNI terhadap anggota DPR Effendi Simbolon baru-baru ini juga menunjukkan indikasi serupa," kata Ikhsan, Ahad, 18 September 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sesuai dengan catatan Setara Institute, dekade pertama reformasi cukup memperlihatkan agenda reformasi yang progresif. Misalnya, penghapusan dwifungsi ABRI dan penarikan Fraksi ABRI dari parlemen. Lalu diundangkannya Ketetapan (Tap) MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, Tap MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Penetapan Peran TNI dan Polri, serta adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Keempat peraturan tersebut menjadi landasan hukum dalam agenda mereformasi TNI.
Selama dekade pertama reformasi juga mulai menyasar rencana pengambilalihan bisnis TNI. Misalnya, membentuk tim kementerian untuk menyelesaikan pengambilalihan bisnis TNI. Langkah itu sejalan dengan larangan TNI berbisnis sesuai dengan Pasal 2 dan 76 UU TNI.
Setara Institute juga mencatat, pada dekade pertama reformasi, terjadi kekerasan militer di berbagai daerah, dari Aceh hingga Papua. Saat pembahasan RUU Pemilu pada 2004, sempat menguat usulan agar anggota TNI dan Polri mempunyai hak memilih dan dipilih dalam pemilu.
Catatan Setara Institute pada dekade kedua reformasi justru menggambarkan buramnya agenda reformasi TNI. Agenda penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu justru mandek hingga kini. Pembahasan RUU Peradilan Militer juga tak kunjung menemukan titik temu. Urusan peradilan militer ini tak kunjung tuntas dalam dua dekade reformasi.
"Pada dekade kedua ini, reformasi TNI seperti berada di jalan sunyi, nyaris tanpa rencana yang presisi dan capaian yang impresif karena ketiadaan roadmap yang mampu mengantisipasi stagnasi dan kemunduran reformasi TNI," kata Ikhsan Yosarie.
Menurut Ikhsan, ada beberapa peristiwa yang justru menggambarkan kemunduran agenda reformasi TNI. Misalnya, kata dia, catatan beberapa lembaga menunjukkan pelanggaran HAM yang melibatkan militer terus terjadi. Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan mencatat ada 31 kasus kekerasan TNI terhadap perempuan sepanjang 2016.
Lalu Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mencatat 57 persen kasus penggusuran paksa yang melibatkan aparat TNI sepanjang 2016. Dari 90 kasus penggusuran paksa, sebanyak 53 kasus di antaranya mengerahkan aparat TNI. Pada tahun sebelumnya, sebanyak 65 dari total 113 kasus penggusuran paksa melibatkan TNI.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) juga mencatat 138 tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang melibatkan anggota TNI selama 2016-2017. Bentuk kekerasan itu mencakup penganiayaan, penembakan, penyiksaan dan intimidasi, serta penculikan dan penangkapan secara sewenang-wenang. Pada umumnya korban kekerasan itu adalah masyarakat sipil.
TNI melakukan patroli di Nduga, Papua, Maret 2019. TEMPO/Stefanus Teguh Pramono
Kekerasan militer terhadap masyarakat sipil paling sering terjadi di Papua. Bahkan kekerasan militer di sana masih terjadi hingga saat ini. Insiden terakhir adalah pembunuhan disertai mutilasi terhadap empat warga Mimika, Papua, pada akhir Agustus lalu. Pelakunya adalah prajurit TNI bersama masyarakat sipil.
Ikhsan menegaskan, semakin ironis karena peran militer di ranah sipil justru menguat belakangan ini. Misalnya, operasi penumpasan Organisasi Papua Merdeka justru melibatkan TNI. Padahal Papua dan Papua Barat bukan berstatus daerah operasi militer. Bantuan militer ini biasanya hanya didasari memorandum of understanding (MoU) dan aturan parsial lainnya. Padahal Pasal 7 ayat 3 UU TNI menegaskan bahwa pelibatan militer dalam operasi militer harus melalui keputusan politik negara. Kondisi ini terjadi diduga karena tidak ada ketentuan rinci yang mengaturnya.
"Misalnya perbantuan kepada Polri ataupun pemerintah daerah, batasannya seperti apa? Aturan mainnya belum ada sehingga berimplikasi pada semakin luasnya peran militer di ranah sipil," ujar Ikhsan.
Catatan Imparsial hampir serupa dengan Setara Institute. Peneliti Imparsial, Hussein Ahmad, mengatakan sejumlah negara yang mengusung demokrasi sudah membuat aturan yang jelas mengenai perbantuan militer. Britania Raya, misalnya, menetapkan batasan perbantuan militer hanya dilakukan ketika otoritas sipil setempat tidak ada ataupun kurang memiliki kemampuan dalam menangani situasi kedaruratan.
"Pengaturan ruang lingkup tugas perbantuan militer ini sangat penting. Sebab, kelenturan definisi ruang lingkup akan rentan untuk dimanipulasi dan dipolitisasi," kata Hussein.
Ia mengatakan aturan seperti itu belum ada di Indonesia. Berbagai aturan yang lahir pada masa reformasi ini dianggap bersifat parsial dalam mengatur pelibatan militer.
Hussein mencontohkan pelibatan militer di ranah sipil di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Saat ini pemerintah semakin mengukuhkan militer di lembaga sipil. Teranyar, pengangkatan tentara aktif menjadi penjabat kepala daerah.
Peserta Aksi Kamisan menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM, di depan Istana Merdeka, Jakarta, 14 Maret 2019. TEMPO/Amston Probel
Adapun Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat ada 41 MoU TNI dengan berbagai kementerian di berbagai bidang. Ketua Umum YLBHI, Muhamad Isnur, mengatakan kebijakan tersebut semakin memberi ruang pelibatan anggota TNI di ranah sipil dan keamanan dalam negeri.
Dalam kurun waktu Oktober 2020 sampai September 2021, setidaknya ada enam pengangkatan perwira aktif pada jabatan sipil, seperti komisaris BUMN hingga staf ahli kementerian. Lalu Kepala Badan Intelijen Negara Daerah Sulawesi Tengah, Brigadir Jenderal Andi Chandra As'aduddin, ditunjuk menjadi penjabat Bupati Seram Bagian Barat, Maluku.
"Selain menabrak sejumlah aturan, kami menilai hal tersebut telah melecehkan agenda reformasi sektor keamanan dan semangat penolakan dwifungsi militer," kata Kepala Divisi Hukum Kontras, Andi Rezaldy.
Ia mengingatkan agar hubungan sipil dengan militer mesti dijaga dengan baik untuk mencapai keseimbangan dalam kehidupan berdemokrasi. Kejadian di Myanmar, di mana junta militer kembali berkuasa setelah mengkudeta pemerintahan sipil, seharusnya tidak terjadi di Indonesia.
Peneliti senior dari Imparsial, Al Araf, berpendapat, dalam sistem negara demokrasi, relasi yang dibutuhkan adalah kontrol sipil obyektif. "Kontrol sipil yang obyektif pada dasarnya menginginkan agar relasi sipil-militer dibangun dalam kondisi di mana elite sipil diharapkan meminimalisasi intervensi politik yang terlalu dalam ke tubuh militer, dan intervensi militer dalam politik diminimalisasi atau ditiadakan," kata Al Araf dalam catatan "Evaluasi Dua Dekade Reformasi TNI" yang diterbitkan Imparsial.
DEWI NURITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo