Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebiasaan Firman, 43 tahun, sedikit berubah sejak dua tahun lalu. Warga Jagakarsa, Jakarta Selatan, itu tak lagi mengendarai Daihatsu Zebra-nya sampai pusat kota. Karyawan yang berkantor di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, ini tiap pagi cukup memarkir kendaraan roda empatnya di Ragunan, lalu naik bus Transjakarta menuju tempat kerjanya. ”Jadi lebih murah, efisien, dan enggak capek,” ujarnya singkat. Hal sama dirasakan Antonius Bardhono, 56 tahun, sejak koridor VI rute Ragunan-Dukuh Atas dibuka akhir Januari 2007. ”Saya terbebas dari frustrasi akibat kemacetan.”
Di shelter Ragunan memang tersedia tempat parkir mobil, motor, dan sepeda yang cukup luas—selalu penuh di hari-hari kerja. Sekitar 500 mobil bisa ditampung di sana. Karyawan yang tinggal di daerah Jakarta Selatan dan Depok tak perlu lagi memacu kendaraan di tengah kepadatan menuju tempat kerja mereka di pusat Kota Jakarta.
Tempo mencoba naik bus Transjakarta dari Dukuh Atas di kawasan Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, hingga Ragunan, yang berjarak lebih dari 13 kilometer, pada jam pulang kantor. Hanya butuh waktu 55 menit. Bandingkan dengan menggunakan kendaraan pribadi atau umum di jalur biasa: jarak yang sama di waktu sibuk bisa ditempuh dalam waktu lebih dari dua jam. Naik Transjakarta sungguh menjadi nikmat luar biasa di tengah perangkap kemacetan Jakarta yang memusingkan kepala. Apalagi bus berbahan bakar gas itu memiliki pendingin udara yang menyejukkan.
Setelah berjalan lima tahun, bus dengan jalur khusus yang beroperasi di tujuh koridor ini pun sudah memiliki penumpang setia. Bahkan para ”penikmat” Transjakarta itu membentuk komunitas pada 2004—lengkap dengan mailing list-nya—bernama Suara Transjakarta. Untuk memperingati ulang tahun kelima angkutan massal ini, mereka mengadakan acara bersih-bersih beberapa halte di Jalan MH Thamrin dan Sudirman pada Minggu dua pekan lalu. Mereka ingin menunjukkan bahwa warga pengguna setia bus Transjakarta adalah salah satu stakeholder yang benar-benar menghargai angkutan umum ini.
Aktivitas warga pengguna Transjakarta seperti bersih-bersih halte itu merupakan dampak positif kehadiran angkutan umum massal yang mereka sebut ”Si Tije” ini. Sedangkan shelter Ragunan dapat dipakai sebagai contoh—meski masih belum ideal—terbentuknya tempat transit bagi warga pengguna Transjakarta ke pusat kota. ”Itu konsep yang hendak kami dorong, berkaitan dengan transportasi massal,” ujar Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Muhammad Tauchid Tjakramijaya.
Menurut lulusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung ini, konsep yang disebut transit oriented development itu menjadikan tempat-tempat tertentu sebagai titik pertemuan fasilitas umum massal. ”Bisa didorong dengan pembangunan fasilitas umum sesuai dengan kebutuhan kota. Orang dapat datang menggunakan kendaraan umum,” ujarnya.
Tentu saja yang dimaksud Tauchid tak lepas dari cetak biru saat Transjakarta direncanakan masuk pola transportasi makro Kota Jakarta. Ada tiga strategi dalam pola itu: pengembangan angkutan umum massal, pembatasan lalu lintas, dan peningkatan kapasitas jaringan jalan. Bus dengan jalur khusus (busway) atau bus rapid transport hanyalah salah satu pengembangan angkutan umum massal, selain monorel dan kereta bawah tanah (subway).
Busway dipilih karena dianggap lebih terjangkau, infrastruktur jalannya sudah tersedia, serta pembangunan sarana dan prasarananya lebih cepat. Pengoperasian Transjakarta juga dianggap sebagai cara paling cepat untuk membiasakan publik antre dan tertib. Sampai 2010, rencananya ada 15 koridor yang dijangkau Transjakarta di seantero Ibu Kota—kini panjang jalur di 10 koridor yang ada sudah 179 kilometer. ”Tapi kami mencoba sampai 10 koridor dulu, sambil membenahi semua manajemen, operasionalisasi, dan lainnya,” kata Kepala Badan Layanan Umum Transjakarta Daryati Asrining Rini.
Yang segera beroperasi adalah koridor VIII, Lebak Bulus-Harmoni, yaitu pada medio Februari ini. ”Busnya sudah ada, tinggal dilaksanakan saja,” ujar Rini. Sedangkan untuk koridor IX dan X, bos pengelola Transjakarta itu mengaku belum bisa memastikan, walaupun sarana dan prasarananya sudah dibangun. ”Kami sedang mencari mekanisme supaya operasionalisasinya lebih baik, karena dari koridor-koridor sebelumnya ada plus-minusnya, seperti ribut dengan operator bus dan soal lelang,” kata Rini. ”Semuanya kami coba ramu, negatifnya dibuang.”
Untuk membuang yang negatif—seperti kata Rini—perlu kerja ekstrakeras. Sebab, faktanya, lima tahun operasi Transjakarta lebih banyak menghasilkan nilai merah ketimbang biru. Para pengguna bus tersebut, juga publik secara umum, bisa dengan lancar menyebut kekurangan Transjakarta: waktu tunggu (headway) yang terlalu lama dan tak pasti, penumpang menumpuk, dan banyak lagi.
Menurut survei yang dilakukan Institut Studi Transportasi, lembaga swadaya masyarakat di bidang kajian transportasi publik, kinerja Transjakarta selama lima tahun ini terus memburuk, dari pelayanan yang tak berkualitas—waktu tunggu, jumlah bus, banyaknya penumpang, dan lain-lain—hingga perencanaan yang terkesan tak jelas. Salah satu contohnya tertunda-tundanya pengoperasian koridor VIII, IX, dan X. Menurut Direktur Institut Studi Transportasi Darmaningtyas, ini karena tidak ada yang berani mengambil keputusan. ”Sudah jelas lebih menguntungkan jika dioperasikan sekarang, tapi mereka tetap tidak berani. Saling lempar,” katanya.
”Saat ini masyarakat menunggu kepastian. Koridor sudah terbangun, sudah ada jalurnya, halte, kenapa tidak segera dioperasikan? Ini membingungkan,” ujar ahli tata kota dari Universitas Trisakti, Jakarta, Yayat Supriyatna. Menurut Yayat, pemimpin wilayah Ibu Kota Jakarta ini kurang tegas. Padahal keberhasilan bus transportasi publik jalur khusus di Bogota, Kolombia—tempat contoh Transjakarta—tidak hanya karena faktor teknis, tapi juga dari kepemimpinan yang tegas dan berani mengambil risiko. ”Asalkan demi kepentingan masyarakat,” kata Yayat.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo membantah bila dia dianggap lamban dan ragu meneruskan kebijakan busway yang digagas pendahulunya, Sutiyoso. ”Jalur yang sudah ada dan direncanakan pasti kami kembangkan. Ini soal waktu saja,” ujarnya kepada Tempo dalam acara bersih-bersih halte Transjakarta di bundaran Hotel Indonesia. Menurut laki-laki berkumis yang akrab dipanggil Foke ini, kalaupun terkesan ”tak melakukan apa-apa”, itu karena pihaknya tidak ingin mengembangkan proyek ini dengan cara keliru. ”Kontrak harus benar, harus berpihak pada publik. Kalau enggak, nanti proyek berjalan, ada busnya, keren, enggak tahunya berhenti di tengah jalan karena prosedurnya melanggar hukum. Ini tidak saya inginkan,” ujarnya.
Pak Gubernur bersama timnya mengaku sedang sibuk berkutat dengan berbagai pembenahan sistem pengaturan Transjakarta. Banyak hal teknis, seperti soal status badan layanan umum yang mengurus Transjakarta, yang harus berupa badan layanan umum sepenuhnya. Ini agar lembaga tersebut bisa mandiri dan profesional mengelola Transjakarta, tanpa campur tangan dari pihak mana pun, termasuk perusahaan bus.
Mendengar penjelasan Fauzi, pemerintah Jakarta tampaknya memang bekerja keras membenahi Transjakarta. Sayangnya, publik tak melihat itu. Yang dirasakan adalah kemacetan yang makin menjadi, pelanggaran disiplin oleh mobil dan sepeda motor yang masuk busway, waktu tunggu yang lama, penumpang yang berdesakan, dan ketidaknyamanan lain.
Target pun tak terpenuhi. Rencana semula, Jakarta memiliki 14 koridor pada 2010 yang mampu mengangkut lima juta penumpang setiap hari. Namun, hingga akhir 2008, Transjakarta hanya memiliki tujuh koridor dan cuma melayani 230 ribu penumpang setiap hari.
Kondisi seperti ini makin menyedihkan bila ditambah dengan transportasi publik secara umum yang tidak berfungsi baik. Tauchid mengakui angkutan umum cuma lima persen dari semua kendaraan yang ada—95 persennya kendaraan pribadi. ”Tapi lima persen kendaraan angkutan umum itu melayani 52 persen penduduk. Namun, bila tidak ada keseimbangan atau kebijakan untuk menjaga keseimbangan, angkutan publik akan terdesak terus,” ujarnya
Sudah kepalang basah memang, Transjakarta sudah berjalan, tidak mungkin dilikuidasi. Pilihannya adalah pembenahan serius dan tak sepotong-sepotong. Menurut Yayat, sistem transportasi massal dalam tata ruang kota harus bisa mendukung akses pergerakan warga, termasuk dari tempat tinggal ke tempat kerja. ”Orang mudah bergerak ke mana saja,” ujarnya. ”Di Jakarta, untuk bisa berpindah dari satu titik ke titik lain, sulitnya luar biasa. Harus berpindah dari satu kendaraan ke kendaraan lain. Sebab, tidak ada integrasi antara rencana tata ruang dan rencana sistem transportasi.”
Akhirnya, orang pun tak punya pilihan. Walau banyak kekurangan, Transjakarta masih merupakan moda transportasi ternyaman, murah, dan tercepat. Izzul Waro, 27 tahun, karyawan swasta, yang sejak 2006 bekerja di Jakarta, merasa lebih aman dari tindak kejahatan dan kecelakaan dengan menggunakan Transjakarta. ”Sebelum busway beroperasi, saya hanya mempunyai pilihan taksi atau angkutan umum reguler. Kini saya punya opsi yang lebih baik,” katanya. Bagi Izzul—seperti juga bagi mantan Gubernur Sutiyoso—”Busway is my way.”
Ahmad Taufik, Iqbal Muhtarom, Agung Sedayu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo