Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak beroperasi, bus Transjakarta berupaya meniru kesuksesan sistem busway TransMilenio di Bogota, Kolombia, yang dibangun hanya dalam waktu tiga tahun (1999-2002). Pada tahun kelima, Transjakarta dengan prestasi seperempat juta penumpang sehari tentunya masih jauh tertinggal dari pencapaian TransMilenio, yang mencatat lebih dari sejuta penumpang per hari.
TransMilenio dirancang berdasarkan model dari Bus Rapid Transit (BRT) di Curitiba, Brasil. BRT Curitiba dibangun sejak 1974 oleh Wali Kota Jaime Lerner dan timnya secara bertahap dengan penuh kesabaran selama lebih dari dua dekade. Sistem busway itu direncanakan berdasarkan rencana induk kota yang mengisyaratkan upaya menahan laju urban sprawl, menekan volume lalu lintas kendaraan bermotor yang masuk ke pusat kota, melestarikan bagian kota yang bersejarah, dan membangun sistem transportasi umum yang nyaman dan terjangkau. Prinsip utama yang dipegang oleh Jaime Lerner: pembangunan kota harus berorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia, dan bukan urusan mobil.
Untuk memastikan kesuksesannya, BRT dirancang seolah-olah seperti sistem kereta api bawah tanah (subway): melaju di jalur eksklusif tanpa hambatan. Jalur eksklusif tersebut steril dari kendaraan lain dan digunakan oleh busway dua arah. Jalur itu diapit oleh jalan kendaraan pribadi di kedua sisinya. Eksklusivitas jalur busway memiliki pengecualian demi kelangsungan kehidupan perkotaan dalam keadaan darurat. Koridor busway dapat digunakan oleh ambulans dan kendaraan polisi. Hal ini tidak menimbulkan masalah, karena koridor BRT merupakan jalur dua arah yang memungkinkan kendaraan menyalip.
Dengan pendekatan Transit Oriented Development (TOD), pembangunan berkepadatan tinggi kemudian dikonsentrasikan di sepanjang lima koridor linear yang menyebar ke arah luar pusat kota lama. Fungsi perumahan, perkantoran, pendidikan, dan kegiatan komersial diintensifkan pada koridor yang dilalui oleh arus pergerakan manusia yang mencapai angka 1,5 hingga 2 juta penumpang setiap harinya.
Alhasil, koridor itu berubah menjadi pusat kota yang linear (ribbon development). Di sisi lain, pusat kota lama diubah menjadi kawasan yang mengutamakan pejalan kaki. Fasilitas parkir kendaraan bermotor dikurangi untuk mendorong warga kota memanfaatkan busway. Di Curitiba, sistem busway dan tata guna lahan terintegrasi dengan baik dan menjadi dua elemen perkotaan yang saling menguatkan.
BRT Curitiba menggunakan tiga jenis bus untuk mengakomodasi volume penumpang yang sangat tinggi: bus berkapasitas penumpang 110 orang, kapasitas 160 orang, dan yang berkapasitas 270 orang (di Bogota menggunakan bus kapasitas 160 orang). Salah satu keunikan bus-bus tersebut adalah ketika berhenti dan pintu terbuka, papan pijakan dari bus ikut terbuka dan menutup celah antara lantai bus dan lantai halte. Desain seperti ini sangat aman untuk pergerakan keluar-masuk penumpang, khususnya bagi penyandang cacat, orang tua, dan anak-anak.
Sistem BRT sepanjang 72 kilometer sangat ditunjang oleh keberpihakan kota pada kepentingan pejalan kaki. Beberapa ruas jalan yang padat dengan pertokoan ditutup bagi kendaraan bermotor dan diubah menjadi daerah khusus untuk sirkulasi pejalan kaki saja (pedestrian mall). Melalui perencanaan yang matang, dipastikan pula bahwa calon penumpang dapat mencapai halte dalam jarak tidak lebih dari 400 meter. Proses pencapaian ke halte di median pun dibuat senyaman mungkin lewat zebra cross. Pembuatan jembatan penyeberangan yang tidak akrab bagi penyandang cacat dan orang tua dihindari. Halte satu dengan yang lain ditempatkan dalam jarak rata-rata 500 meter. Seiring dengan itu, dibangun pula jalur sepeda (bikeways) di sepanjang koridor busway (saat ini telah mencapai 130 kilometer).
Untuk menggairahkan penggunaan busway sekaligus melaksanakan program daur ulang sampah, pihak kota menyelenggarakan program pertukaran sampah yang telah dipilah dengan tiket busway. Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Kota bersih, penggunaan transportasi umum meningkat.
Pembangunan BRT Curitiba terbukti memerlukan waktu yang cukup lama, karena berupaya mengintegrasikan tata guna lahan dengan sistem transportasi kota secara komprehensif. Bukan pekerjaan yang mudah memang. Barangkali hal ini pula yang mendorong Jakarta untuk lebih memilih Bogota sebagai model yang dapat dibangun dalam waktu singkat dan tidak perlu memikirkan hubungan antara sistem transportasi kota dan tata guna lahan. Jika demikian, apakah masalah kemacetan di Jakarta dapat segera kita atasi kalau kita tidak memikirkan hubungannya dengan tata guna lahan? Barangkali jawabannya: tidak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo