Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cendekiawan & fundamentalis

Kaum cendekiawan, pewaris budaya arab yang luhur, mempunyai nasib sama dengan kaum fundamentalis. terkucil & terancam posisinya. mereka menghadapi berbagai tantangan yang membatasi ruang gerak langkahnya.(sel)

7 September 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA suatu pagi yang cerah, begitu cerita orang, Mahmud Mohammad Taha digantung di depan umum di halaman penjara Kober, dekat Khartum. Ia, kata hukum, seorang "murtad". Taha, yang berusia 70 tahun, pernah mengedarkan selembar pamflet, yang nadanya menentang hukum Islam diberlakukan di Sudan. Menurut pendapatnya, pemotongan anggota badan, pemukulan, serta hukuman kejam lainnya terhadap penjahat telah merusakkan jiwa Islam, dan juga merusakkan martabat Sudan di mata dunia. Tahun lalu, polisi Syria menangkap Mohammad Noor Saleh, seorang profesor pada Universitas Aleppo. Mengapa? Menurut keterangan keluarganya, ia bukan anggota salah satu kelompok politik terlarang dan juga tidak aktif secara politis. Nyatanya, memang, tidak ada tuduhan resmi yang dikenakan kepadanya, seperti juga tidak ada alasan penangkapan sekitar 130 ilmuwan, wartawan, dan cendekia lainnya - menurut Organisasi Arab untuk Perjuangan Hak-Hak Asasi yang berkedudukan di Kairo, mereka ditangkap selama dua tahun terakhir ini. Bulan lalu, sebuah mahkamah Mesir menghukum denda tiga orang pedagang buku. Mereka dituduh melanggar hukum, perihal pornografi, karena menjual buku terbitan baru kisah "Seribu Satu Malam" yang tidak disensor. Pejabat Mesir juga menyita 3.000 kopi buku kisah klasik Arab itu. "Kita ingin menghapus kata-kata kotor dari buku itu,yang mempunyai pengaruh buruk pada kaum remaja dan bisa mendorong mereka ke arah pengabaian dan korupsi," kata Brigadir Adly el-Kosheiry, kepala sebuah departemen di Kementerian Dalam Negeri yang mengusut perkara itu. Kejadian-kejadian itu menunjuk kepada kenyataan bahwa cendekiawan Arab - ahli waris sebuah peradaban berusia 1.300 tahun, yang pernah tanggap akan berbagai peradaban lainnya, dan sangat menyanjung para pujangga, pemikir, dan ilmuwannya - kini kian terkucil dan terancam. Sebabnya berbeda-beda dari negeri ke negeri. Tetapi pada dasarnya cendekiawan Arab menghadapi seteru yang serupa. Terutama sekali para ulama penganut paham fundamentalisme, yang menafsirkan ajaran Islam secara harfiah. Syekh-syekh ultrakonservatif itu menjadi kaum inquisitor (badan pengusut agama di Eropa pada Abad Pertengahan) gaya baru, mengaku satu-satunya penunjuk jalan ke "al-Siratal Mustaqim", atau "Jalan Lurus" - ungkapan dari surat pembuka Alquran. Menentang atau mempertanyakan "Jalan Lurus" itu membuka peluang untuk dicap sebagai seorang murtad. Maka, sedikit sekali orang yang berani berbuat begitu. Dan paham fundamentalisme nyatanya tidak hanya menolak kultur dan nilai-nilai Barat, juga aliran dan tradisi modernistik dalam tubuh Islam sendiri. Cendekiawan Arab masih mempunyai seteru lain. Di negara Arab "sosialis", seperti Syria, Irak, Libya, dan Yaman Selatan, para pernimpin yang mengumandangkan asas revolusioner telah menegakkan suatu "Jalan Lurus" hasil godokan pandangan otoriter dan keduniaan mereka sendiri. Harga yang harus dibayar jika menyimpang dari ini lebih mengerikan: pembuangan, dipenjarakan, penganiayaan - atau bahkan kematian. Musuh berbobot lainnya ialah "kultur petrodolar" dari Arab Saudi dan negara-negara Teluk Arab lainnya. Para pemimpin Arab berhaluan konservatif beku - meskipun bukan jenis ekstrem seperti Ayatullah Khomeini di Iran - memanfaatkan laba minyak mereka untuk menyebarkan gagasan agama dan politik konservatif mereka, antara lain, membungkam para pengkritik bangsa Arab atas rezim mereka. "Di Dunia Arab saat ini cendekiawan dibasmi dengan pentungan atau dirayu dengan wortel," berkata Fuad Ajami, guru besar ilmu politik kelahiran Libanon pada Universitas John Hopkins. Ia, seperti halnya banyak cendekiawan Arab, memilih tinggal di Amerika Serikat, tempat yang lebih bebas untuk menyatakan diri. "Tetapi yang sudah dibeli oleh kaum hartawan lebih banyak daripada yang dibasmi oleh kaum berpedang," ujarnya lagi. Ia menambahkan, seorang cendekiawan harus dapat melawan keseragaman masyarakat Arab yang menjemukan, bertahan terhadap pantangan yang ditaati secara luas untuk tidak membahas soal seks, pimpinan negara, dan, di atas segalanya, Tuhan. Penderitaan cendekiawan Arab bertambah besar akibat jurang bahasa dengan Barat. Mempelajari bahasa asing tampaknya kian kendur, padahal banyak buku ilmu eksakta dan ilmu sosial tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Maka, tunas cendekiawan Arab hampir-hampir terkucil dari perkembangan baru yang penting di bidang mereka. Di kalangan cendekiawan wilayah itu lalu berjangkit suatu perasaan ragu diri yang cukup mencekam. "Apa artinya cendekiawan di sebuah negeri seperti Mesir, yang 70% rakyatnya buta huruf dan teramat miskin?" gumam Boutros Ghali, salah seorang pejabat tinggi Mesir yang mencoba "menggunakan" pikirannya untuk memahami keadaan. Mesir memang salah satu negeri Arab tempat pertanyaan seperti itu masih sering diketengahkan serta dibahas. Bahkan dalam kenyataan tidak ada cara yang lebih tepat untuk memahami krisis terdini dalam alam pemikiran Arab daripada merunut kemerosotan intelektual di negeri ini - yang pernah menjadi pusat kultur Dunia Arab. Cendekiawan Mesir sudah mempunyai tradisi yang panjang dan gemilang - dan juga getir. Hampir semuanya pernah ditahan dalam penjara, paling tidak selama 20 tahun terakhir. Beberapa di antara mereka bahkan dibuang. Di bawah Presiden Husni Mubarak kini memang berembus angin demokrasi yang baru. Namun, kebebasan yang lebih banyak itu hanya mempertegas rasa kehilangan dalam diri cendekiawan Mesir. "Dulu Kairo suatu tempat yang senantiasa merangsang," kata Youssef Idris, penulis drama dan buku Mesir yang sangat dikagumi dunia internasional. "Ia merupakan kiblat kultural bagi dunia Arab," tambah Idris. Penulis itu terkenang pada suatu peristiwa: beberapa waktu lalu, seorang temannya, penyair, datang ke Kairo dan ingin berjalan-jalan. Ia, cerita Idris, mengusulkan menonton sebuah drama baru yang baik atau film Mesir yang baru atau pergelaran musik yang baik. "Tetapi dalam kota berpenduduk 14 juta jiwa ini tidak ada sesuatu yang patut dilihat. Tahukah Anda di mana akhirnya kita kandas?" tanya Idris. "Di sebuah klub malam." "Dunia Arab pernah merupakan kultur kata-kata," kata Profesor Ajami menyimpulkan. "Kini yang ada hanya kesunyian, bahkan di jantung Kairo sekalipun. Bagaimana hal ini dapat kita jelaskan?" Di bawah penjajahan Inggris (1914-1922) dan di bawah Raja Fuad dan Farouk, setelah kemerdekaan di tahun 1922, Kairo merupakan pusat kultur yang penuh gairah. Ketika itu - 1925 - sebuah universitas nasional (kini Universitas Kairo) didirikan dan mencakup tujuh fakultas utama. Menjelang akhir tahun. 1930-an, terdapat hampir 200 surat kabar dan majalah berbahasa Arab di Mesir, tambah lagi 65 buah dalam bahasa asing. Para penulis lalu menuntut kebebasan politik yang lebih besar, pelonggaran pembatasan gerak bagi kaum wanita, pembagian sumber daya alam negeri yang lebih adil. Surat kabar setempat suka menceritakan berbagai kisah menarik tentang segala pertikaian antara orang Inggris, istana, dan Wafd - partai politik utama yang memperjuangkan gagasan dan nilai-nilai liberal. Persoalan sehari-hari dengan hangatnya diperbincangkan di kedai-kedai minum dan di tempat pertemuan lainnya. Drama Mesir mendominasi panggung Dunia Arab. Film Mesir menjadi kegemaran utama. Kairo merupakan pusat penerbitan Dunia Arab, yang setiap tahun menerbitkan dan mengimpor ribuan buku dalam bahasa Arab, Prancis, dan Inggris. Kendati begitu, kehidupan intelektual itu hanya dapat dinikmati sejumlah kecil golongan elite. Bagian terbesar dari rakyat, kaum fellaheen atau kaum tani, hidup dalam keterbelakangan dan kemiskinan. Lalu, revolusi Mesir memelatuk di tahun 1952. Dan terbuka harapan bagi suatu kehidupan yang lebih baik bagi semua orang Mesir - impian yang terutama merangsang kelompok cerdik cendekia. Sampai hari-hari ini banyak cendekiawan masih membicarakan dengan penuh rasa nostalgia dan pujian bagi gebrakan Gamal Abdel Nasser, bapak kesatuan politik Arab dan pelopor Revolusi 1952. Perjuangannya untuk memisahkan urusan agama dengan urusan dunia menaikkan popularitasnya di kalangan cendekiawan. Bentuk baru kesenian populer Mesir muncul menyusul Revolusi 1952 itu. Kairo tidak hanya menjadi tuan rumah Kelompok Balet Bolshoi, tapi juga membentuk Kelompok Tari Folklor Reda. Dunia Arab pun terpukau pergelaran konser Penyanyi Umi Kahlzoum yang disiarkan setiap malam Jumat. Karya-karya arsitektur Hassan Fati, yang berakar pada gaya dan bahan alamiah Mesir, menjadi tersohor diseluruh dunia. Surat kabar terkemuka Mesir, Al-ahram, yang dipimpin editor cemerlang Mohammad Hassanein Heikal, teman karib dan kepercayaan Nasser. Heikal sempat menghimpun suatu staf penulis yang mengagumkan: Nagiub Mahfouz, Tawfik Al-Hakim, Louis Awad, Ahmed Baba el-Din, Youssef Idris, Mohammed Sid Ahmed, dan banyak lagi yang lain. Tapi pengkritik dan korban zaman Nasser itu beranggapan bahwa ledakan kegiatan kebudayaan itu terutama berupa suatu reaksi berlebihan atas penindasan politis. Kebudayaan itu menjadi berfungsi ganda: pertama, untuk menyebarkan pandangan ortodoks Nasser melalui lembaga yang disponsori negara dan, kedua, sebagai suatu katup pengaman. "Kebangkitan kebudayaan kita itu sejalan dengan perkosaan jiwa," begitu pendapat Magdi Wahab, pembantu menteri urusan kebudayaan di zaman Nasser. Kini ia seorang profesor di Universitas Kairo yang sedang menyusun sebuah kamus bahasa Inggris-Arab. Nasser pada kenyataannya juga memberangus penentangnya tanpa kenal ampun. Ia mengaktifkan sistem sensor yang sebelumnya lumpuh dan acak-acakan, menangkap dan menyiksa ratusan pengkritik dari golongan kiri serta golongan Muslim fundamentalis, dan membuang para pengkritik liberal yang menentang rezim militernya. Upaya nasionalisasi melumpuhkan industri film, penerbitan buku, serta kegiatan lembaga kultural lain. "Ia menyuruh para birokrat militer memimpin perusahaan film," tutur Fatah Hamama, sutradara film Mesir yang tersohor karena filmnya yang bermutu. "Mereka menyodorkan skenario yang memuakkan. Akhirnya, untuk menenangkan suasana, saya membuat satu film. Setelah saya melihatnya, saya yakin tak akan pernah membuat film yang lain lagi. Saya tidak dapat mempertanggung-jawabkannya pada diri sendiri," ujarnya. "Tak dapat dibayangkan suasana penuh takut yang berlaku di waktu itu," katanya. Hamama meninggalkan Mesir selama beberapa tahun. Di tahun 1967, Perang Arab-Israel mencanangkan akhir dari zaman Nasser. Naiknya Presiden Anwar Sadat setelah matinya Nasser di tahun 1970 meredakan ketegangan politik, yang berarti pula munculnya iklim intelektual yang jauh lebih longgar. Namun, nyatanya sedikit saja cendekiawan yang menghargai Sadat. Menurut Louis Awad, salah satu pengkritik dan penulis Mesir yang terbaik, masa Sadat itu menyebabkan kemerosotan mutu kultural. "Klub malam menggantikan gedung konser," katanya. "Frank Sinatra menggantikan La Scala." Menurut Awad serta sejumlah orang kiri lainnya, "Ekonomi Hilton" Mesir - julukan untuk masa pengusiran orang Rusia dan masuknya kepentingan bisnis Barat - tak menyediakan tempat bagi kultur atau cendekiawan, yang kebanyakan tergolong kaum kiri. Perjalanan historis Sadat ke Yerusalem di tahun 1977, yang melontarkannya sebagai pahlawan di mata dunia Barat, membuat gelombang kejutan di kalangan cendekiawan Mesir - dan Dunia Arab. "Para cendekiawan Mesir mempunyai pasaran Arab," ujar salah seorang redaktur surat kabar yang tak ingin disebut namanya. Maka, boikot negara-negara Arab secara intelektual, ekonomi, dan politik terhadap Mesir setelah upaya perdamaian Sadat dengan Israel di tahun 1979 merupakan pukulan khusus bagi mereka. Mereka terkucil dari sumber emas: wilayah Teluk. Di Mesir, dana dan pasaran terlalu kecil untuk bisa menunjang mereka. Reaksi Sadat sangat tidak enak terhadap kritik mereka yang semakin menjadi. Ia menjalankan aksi pembersihannya tersendiri. Surat-surat kabar oposisi, yang semula ia restui kehadirannya, kini korban pertama. Menyusul kemudian penangkapan masal - lebih dari 1.000 pengkritik dari segala lapisan ditahan. Semua itu terjadi, September 1981, kurang dari sebulan menjelang Sadat dibunuh oleh kelompok Islam fundamentalis militan, yang semula pernah ia kerahkan untuk menghadapi golongan kiri serta musuh lainnya. Hanya sedikit cendekiawan Mesir yang menyesali kematian Sadat. "Kaum cendekiawan membenci Sadat bukan karena ia menentang mereka," kata Profesor Wahab menjelaskan, "tetapi karena ia tidak menghiraukan mereka. Nasser pernah memberikan mereka suatu peranan mereka dijadikan pelopor kesatuan Arab, sosialisme Arab, pengabdi negara. Mereka tidak pernah memaafkan Sadat karena ia membuat mereka kaum yang tidak berguna." Rasa kecewa terhadap sikap Sadat menunjukkan beda tradisi kaum cendekiawan Arab dengan rekan-rekan mereka di Barat. Pemikir Barat cukup bahagia jika ia dibiarkan oleh pemerintahnya, atau kadang-kadang mendapat bantuan beasiswa atau sumbangan dana pemerintah. Ia hampir tak peduli peluangnya akan didengar atau diakui masyarakat. Cendekiawan Arab sebaliknya. Sudah lama mereka berperan sebagai semacam penggerak pendapat bangsa, kepentingan nasional, dan kepentingan negaranya. Bahkan ketika masih di abad ke-19, banyak pujangga Mesir serta kaum cendekiawan lainnya merangkap sebagai pejabat pemerintah. Presiden Husni Mubarak di masa kini melancarkan suatu arus demokrasi di Mesir, menyerupai yang pernah dilancarkan Sadat tapi kemudian ditinggalkan. Sejak memegang tampuk kekuasaan di tahun 1981, Mubarak kembali mengizinkan pendirian partai politik oposisi, dan menandaskan dukungannya pada iklim yang punya kebebasan berpendapat. Tanda-tanda kembalinya kegiatan kultural bermunculan. Pers oposisi mulai menunjukkan kemauan untuk menanggulangi berbagai masalah yang sulit. Dalam bukunya yang baru terbit, Before the Fall, Farag Foda - seorang aktivis politik sekuler muda dengan cekatan menyerang fundamentalisme Islam di Mesir sebagai suatu produk kekayaan minyak dari Arab Saudi. Ia menuduh aliran itu sebagai pengkhianatan terhadap tradisi Mesir. Buku itu, yang terbit dua bulan lalu, menjadi suatu best seller. Tetapi analisa yang seberani itu masih teramat jarang. Orang Mesir berpendapat bahwa tahun-tahun Nasser yang penuh penindasan dan tahun-tahun Sadat yang mengabaikan bertanggung jawab atas kehampaan kultural intelektual di masa kini. "Diperlukan 20 tahun untuk membentuk suatu generasi baru kaum intelektual," kata Awad, "Mereka yang tua sudah telanjur letih, atau telah diusir." Ahmed Baha el-Din, seorang kolomnis surat kabar Mesir yang terkemuka, mengatakan, kaum cendekiawan Mesir kini dihinggapi sutu warisan lain tahun-tahun Nasser yang telah merusakkan kehidupan kultural: tekanan dari masyarakat, dari massa! Awalnya, Nasser membuka semua sekolah dan universitas bagi semua orang Mesir, tetapi ia tidak cukup menambah dana bagi sekolah, guru, ataupun bukunya. Revolusi itu nyatanya mengkhianati rakyat banyak dengan menghasilkan jutaan orang yang tanggung meleknya. Baha el-Din menandaskan, "Pendatang baru jni, berpendidikan ala kadarnya, berdatangan ke Kairo, terpukau tetapi penuh ketakutan oleh apa yang mereka saksikan di sana. Mereka tidak dapat menikmati ataupun memiliki apa yang disajikan Kairo. Mereka telah dilibatkan ke dalam sistemnya, dan mereka menyebabkan nilai-nilai menjadi merosot." Banyak dari ekstremis Islam yang paling tangguh berasal dari golongan ini, kata Baha el-Din. Tanda-tanda kemacetan kultural cukup banyak. Industri penerbitan Kairo menyusut hingga seperempat dari kebesarannya yang dulu di zaman pra-Nasser. Kini, kebanyakan orang cuma membaca kembali buku-buku klasik atau pengarang dari tahun 1950-an atau bahkan lebih awal lagi. Menurut para penulisnya sendiri, surat kabar Al-Ahram berubah menjadi penyambung lidah pemerintah yang steril. "Kita terutama membacanya untuk melihat siapa orangnya yang meninggal," kata Idris, sang penulis drama. Di masa jayanya industri film satu generasi lalu, Mesir setiap tahun menghasilkan lebih dari 100 film yang diputar di sekitar 450 gedung bioskop. Kini, perkumpulan video bagi golongan kaya dan menengah berkembang, dan bioskop di negeri itu menyusut hingga 150 gedung. Dan hanya 50 film rata-rata dibuat dalam setahun. "Lebih mengkhawatirkan lagi ialah kemerosotan mutunya," ujar Fateh Hamama, sang sutradara. "Apa yang ditampilkan di layar bioskop atau televisi sungguh keterlaluan - kekerasan, kekotoran, lelucon yang tidak lucu, dan pentas murahan." Banyak dari produksi itu, menurut orang Mesir, menyebabkan film seri Dallas dan Dynasty seolah-olah film serius. Universitas di kota besar memang dibanjiri mahasiswa. Tapi karena kurangnya tenaga pengajar dan dana, universitas itu menghasilkan lulusan yang hampir-hampir tak menguasai bahasa asing apa pun. Buku terlalu mahal sehingga tak terbeli oleh kebanyakan mahasiswa. Pada televisi dan film negara masih terdapat sensor resmi, dan banyak kaum cendekiawan mendukungnya - walau pada media cetak tidak ada lagi sensor. Mohammed Sid Ahmed, bangsawan yang menulis komentar politik untuk surat kabar kiri Al-Ahali, berkata, "Pers kini lebih bebas daripada waktu mana saja sejak Farouk." Tapi, berkata Martin Ochs, profesor jurnalistik pada Universitas Amerika di Kairo, "Sensor luar digantikan oleh pedoman tidak resmi serta penyensoran diri sendiri." Meskipun pihak oposisi mengkritik pemerintah dan kebijaksanaannya, jarang sekali menyerang Mubarak secara pribadi. Hampir tidak pernah juga menyerang fundamentalis Islam. "Boleh dikatakan," kata Ochs, "menyensor diri sendiri mungkin bahkan lebih buruk." Di bawah sistem sensor yang lama, para penulis tahu - melalui apa yang diterbitkan apa yang diizinkan dan apa yang terlarang. Di bawah sistem yang baru, para penulis, karena tidak pasti tentang apa yang diizinkan pemerintah, sering terlalu berhati-hati - agar aman. Para cendekiawan Mesir berkeinginan mengucapkan perasaan mereka, tapi mereka penuh ragu, takut kalau penindasan hari-hari lalu kembali lagi. Jadinya, mereka terus menerus memonitor isyarat politik yang dikirimkan presiden untuk menjamin kesatuan pikiran dengan kesepakatan masa kini. Hasan Hanafi, guru besar filsafat asal Mesir, yang kini tinggal di Marokko, berpendapat bahwa tahun-tahun penindasan di Mesir dan negara Arab lainnya menghasilkan suatu schizofrenia intelektual Arab. "Kita telah belajar menghayati kehidupan berganda kita hidup di satu tingkat dan berbicara di lain tingkat," katanya. Larisnya pasaran minyak pada 1970-an, mempunyai efek mencekik langsung cendekiawan Arab. Karena harta kekayaan yang luar biasa itu di tengah kemerosotan relatif ekonomis Mesir, Arab Saudi dan negara Teluk Arab lainnya seperti merasa berhak menentukan jadwal politik dan kebudayaan Dunia Arab. Profesor Hanafi, antara lain, mempertanyakan penukaran peranan ini. Ia berpendapat, kemiskinan Mesir terutama bertanggung jawab atas "kekacauan pemikiran nasional Arab" yang kini. Sepanjang sejarah, katanya, pemikir Arab yang terpaksa memilih antara "kebenaran dan sepotong roti". Kebanyakan terpaksa memilih yang belakangan itu. Tetapi dengan membanjirnya petrodolar dari Teluk Arab, pilihannya sekarang antara sepotong roti dan "bistik panggang di restoran, bujukan kehidupan mewah, prestise, kedudukan empuk, junkets, dan pengobatan sinus". Dalam prosesnya, kata Hanafi, kebenaran telah disingkirkan, kecerdasan menjadi "barang dagangan", dan "kata-kata menjelma menjadi pelacur dengan harga murah". Dampaknya, hal itu sangat terasa di universitas dan di kalangan pers yang secara tradisional merupakan surga kaum cendekiawan Arab. Para profesor di Mesir berpenghasilan 150-300 per bulan, kasarnya US$ 200-400. "Profesor taksi," sebutan bagi yang mengajar pada lebih daripada satu universitas, berpenghasilan US$ 4.000-5.000 sebulan. Sedikit saja orang Mesir yang mampu menolak tawaran untuk mengajar di Arab Saudi atau di universitas dan sekolah baru di wilayah Teluk Arab. Bahkan kenyataannya terdapat suatu daftar menunggu selama lima tahun di Mesir dari guru-guru yang mencari pekerjaan di wilayah Teluk itu. Di bidang jurnalistik, banyak penulis Mesir mencari tambahan penghasilan dengan bekerja sambilan bagi majalah milik Saudi atau wilayah Teluk lainnya. Pers di Kuwait relatif hidup dan agak bebas, tapi surat kabar Saudi jarang sekali mengizinkan apa pun, kecuali garis politik keluarga yang berkuasa, masalah mendesak tentang pemerintahan agama dan sosial sama sekali tidak dibahas di depan umum. Hampir tidak ada orang Mesir yang berani mengkritik Arab Saudi secara terbuka karena banyak di antara mereka menulis untuk majalah yang dibiayai Saudi atau negara minyak lainnya dan terbit di London atau Paris. Al Sarq al-Awsat (The Middle East), majalah yang dibiayai Saudi dan terbit di London, membayar pembantu tetap mereka sekitar 3.000 sebulan - hampir sebanding dengan gaji satu tahun seorang wartawan di Mesir. Seorang Mesir yang secara tetap menulis bagi sebuah majalah Saudi yang terbit di Paris mengaku bahwa ia sebenarnya membenci majalah itu. "Tetapi saya mempunyai anak," katanya. "Mereka kelak harus membeli tempat tinggal di Kairo. Dalam satu tahun, saya bisa membayar uang sekolah mereka serta membayar uang panjar bagi sebuah flat." Kekayaan minyak juga memperkuat rasa antipati yang hakiki dari kaum cendekiawan Arab dan Mesir terhadap Israel. Arab Saudi dan negara-negara Teluk secara konsisten menolak persetujuan perdamaian Mesir dengan Israel. Ada orang Mesir yang merasa bahwa setiap bentuk hubungan dengan Israel, bahkan setiap aktivitas politik, akan segera mendiskualifikasikan seorang Mesir dari peluang kerja di negara-negara Teluk atau menulis di surat kabar Saudi. Tetapi, tanpa rasa permusuhan Saudi dan negara-negara Teluk lainnya terhadap Israel sekalipun, kaum cendekiawan Arab memang sulit menerima perdamaian dengan negara Zionis itu. Kaum cendekiawan Arab, khususnya mereka yang di Mesir, merupakan pelopor gerakan antikolonial, persatuan Arab serta nasionalis pada 1930-an dan 1940-an. "Kemenangan Israel dan Zionisme begitu dalam dibenci karena, di bawah sadar, itu lagi-lagi dirasakan sebagai kemenangan bagi Barat," ujar seorang profesor Mesir. Ini, menurut dia, menyebabkan rongrongan keyakinan diri Arab terhadap peradaban mereka sendiri, yang sudah sangat rapuh karena kemerosotan berabad-abad akibat kolonialisme Barat. Sebagai kebanyakan orang, kaum cendekiawan Arab lebih suka menghindar dari sebab-sebab hakiki penderitaan mereka, atau menyalahkan pihak lain. Israel sering merupakan kambing hitam yang terlalu gampang. Keengganan melakukan suatu introspeksi mendalam sangat nyata di Pusat Pengkajian Politik dan Strategi Ahran di Kairo. Sayed Yasin, direktur pusat pengkajian itu, adalah salah satu orang Mesir yang tidak mengakui adanya suatu krisis pemikiran di Dunia Arab. Anggapan itu, katanya, berpangkal pada pandangan Zionis, yang anti-Arab." "Israel bukanlah problem utama Mesir ataupun dunia Arab," kata Maona Makram-Ebeid, sosiolog dari Universitas Amerika di Kairo dan salah satu analis kebekuan kultural yang paling sering bicara. "Tetapi itu sukar dinilai dari apa yang ditulis dalam pers Arab. Pertumbuhan kekuasaan negara yang semakin mencekam jauh lebih menentukan. Begitu juga kenyataan bahwa lebih dari 50% makanan yang dimakan orang Mesir ialah hasil impor." Suatu hal yang sama mencemaskan ialah kian berkembangnya kekuatan Islam fundamentalis di Mesir. Banyak yang melihat masa depan Mesir sebagai suatu pertarungan antara kekuatan agama dan duniawi. Namun, kaum Muslim yang saleh menolak gambaran seperti ini. Mereka lebih suka menggambarkan pertarungan itu sebagai suatu pertarungan antara aliran Islam liberal dan golongan yang mendorong Mesir melalui "siratulmustakim" menuju masa lampau. Fundamentalisme berkembang, berkata kaum cendekiawan dan para wartawan, karena "isme" lain terbukti gagal di Dunia Arab. Dalam waktu 40 tahun Mesir sudah mencoba bentuk kerajaan, kolonialisme, pan-Arabisme, sosialisme dan kapitalisme Sadat. Semuanya sudah gagal dalam ciri utamanya. Sebagai tandingan muncul argumentasi fundamentalisme, dengan kembali ke asal mula Islam, seseorang akan memulihkan kewibawaan Arab dan memecahkan problem mendesak yang dihadapi masyarakat Arab. Kekuatan duniawi dan modernisme Islam kini cenderung merosot, kata Baha el-Din, sang kolomnis. Awad, yang beragama Koptik, berpendapat bahwa Eropa Nasrani memerlukan 600 tahun untuk mencapai keduniawian. Pertarungan itu di Dunia Arab mungkin akan lebih lama dan lebih berdarah, ia mengingatkan. Tetapi jika Mesir dan kaum cendekiawannya tidak bangkit menghadapi kaum reaksioner beragama, mereka akan gagal karena kesalahan. Saat ini, sejumlah kecil orang yang berani menentang kaum fundamentalis menanggung risikonya sendiri. "Tidak ada orang di masyarakat Islam yang ingin dituduh anti-lslam," kata ahli sejarah P.J. Vatikiotis yang tinggal di London. "Quran itu mengandung titah Allah dan karenanya sempurna." Ia melanjutkan, "Itu tidak dapat dipertanyakan sudah tersusun pola sempurna alam semesta. Siapa saja yang tak mengikutinya adalah seorang murtad, dan itu merupakan tuduhan yang dahsyat terhadap seorang Muslim." Said Al-Ashmawi, seorang hakim tinggi, di tahun 1981, mulai secara terbuka menentang tuntutan fundamentalis akan pelaksanaan syariat, atau hukum Islam di Mesir. Ia berdalih bahwa itu didasarkan salah tafsir dari ajaran Islam dan konsep syariat. Sejumlah syekh kemudian menjawab keberanian itu dengan menyatakan bahwa darahnya itu halal - artinya membunuh Ashmawi bukanlah suatu dosa. Hakim Ashmawi pantang mundur walau beberapa anggota keluarganya sendiri menjauhinya kini. Louis Awad juga menebus kejujuran intelektual dengan cukup mahal. Pada tahun 1981, ia berhenti dari Al-Ahram setelah surat kabar itu menolak mencetak sejumlah artikelnya tentang Jamal Al-din al-Afgani, ahli filsafat perombak ajaran Islam pada abad ke-19. Dosa Awad ialah anggapannya bahwa Afgani berasal dari Iran, bukan dari wilayah Afgan seperti yang digambarkan namanya. Dan bahwa ia seorang Syiah, aliran dalam Islam yang dibenci oleh kebanyakan kaum Suni, kelompok Muslim yang dominan di Mesir dan kebanyakan negara Arab. Serangan itu dijawab para pengkritik dengan mempertanyakan keahlian Awad. Dan mereka juga menentang haknya sebagai orang Kristen untuk menulis tentang masalah Islam. Selama satu tahun tidak ada yang mau menerbitkan tulisan Awad yang lain. Untung, ia hidup dari pensiunnya. Akhirnya, ia tertolong, setelah Al Mussawar, sebuah majalah mingguan kecil, yang belakangan menonjol karena sering memuat tulisan penulis provokatif, memintanya untuk menulis. Kebanyakan partai oposisi politik menghindar berkonfrontasi dengan fundamentalisme. Dalam pemilihan parlemen musim semi lalu, Wafd - partai oposisi yang terkenal karena masa lalunya yang nasionalistis duniawi bergabung dengan Persaudaraan Muslim yang sudah lama dilarang. Pusat partai duniawi sayap kiri, Tagamu, di Kairo, musim rontok lalu dihiasi lampu warna merah dan putih, menghormati hari lahir Nabi Muhammad. Surat kabarnya, Al-Ahali, satu-satunya surat kabar sayap kiri di Dunia Arab, menyediakan satu halaman penuh untuk "Berita Islam". Media yang dikontrol pemerintah di Mesir itu berusaha memperoleh keagungan religius dengan cara membanjiri udara dengan siaran-siaran agama. Sebuah program pelayanan kesehatan umum yang muncul di televisi setiap hari bernama "Lima Menit bagi Kesehatan Anda", memberi nasihat kepada para penonton untuk menyikat gigi mereka dan tidak merokok. Biasanya siaran itu berakhir dengan anjuran agar para penonton berdoa meminta kesehatan yang baik. Egypt Air, perusahaan penerbangan nasional negeri itu, yang sedang sekarat, kini tidak lagi menyediakan minuman keras karena sebuah mahkamah memihak kepada seorang pilot Muslim yang berpendirian bahwa ia merasa tidak aman menerbangkan sebuah pesawat yang di dalamnya terdapat orang Muslim sedang minum alkohol. Tapi perkembangan baru yang barangkali paling menakjubkan ialah vonis bebas sebuah mahkamah Mesir, September lalu, atas hampir separuh dari lebih dari 300 ekstremis Islam yang dituduh membunuh 87 orang, termasuk 66 anggota polisi, dalam huru-hara di Kota Asyut, setelah pembunuhan Sadat di tahun 1981. Beberapa intelektual Mesir menduga bahwa keputusan hakim itu dipengaruhi - atau bahkan takut - kecaman-kecaman bahwa Mesir tidak diperintah sesuai dengan hukum Allah. Mesir tampaknya terguncang oleh berbagai pendapat tentang bagaimana cara menangani militansi Islam itu. Banyak orang Mesir, termasuk sejumlah cendekiawan terkemuka, berpendapat bahwa kaum fundamentalis seharusnya diperlakukan dengan keras sebagai isyarat bagi yang lain bahwa kekerasan dan ekstremisme, sekalipun bertopeng agama, tidak diperkenankan. "Fundamentalisme itu berkembang dan menjadi mantap bila pemerintahan pusat dianggap lemah," berkata seorang pejabat Mesir senior. Namun, Presiden Mubarak yakin bahwa hanya pemantapan lembaga-lembaga demokrasi yang dapat mencegah penyebaran "kanker" militansi Islam itu. Dengan menindas kekuatan Islam yang paling ganas, ia berusaha menggabungkan kekuatan Islam yang lebih moderat ke dalam proses poiitik untuk mencegah mereka masuk ke bawah tanah, tempat mereka dapat membusuk, berkembang biak, dan menjadi keras. Sementara, strategi itu tampaknya berhasil. Sedikit sekali pergolakan antara kecenderungan duniawi dan kekerasan di Mesir sekarang. Tetapi yang dikhawatirkan para analis adalah ketidakmampuan pemerintah mengambil sikap yang jelas dan menyeluruh menghadapi seruan memperlakukan hukum Islam di negeri yang beraneka suku bangsa itu. Banyak pihak merasa bahwa kaum cendekiawan jauh lebih berdosa daripada pemerintah - bahwa keengganan mereka menghadapi kekuatan Islam yang reaksioner merupakan suatu pengkhianatan peranan dan dari cita-cita Arab yang mereka dukung. Cendekiawan Mesir kini memiliki suatu kebebasan yang hampir tidak dimiliki rekan Arab mereka lainnya: Mereka bebas meneliti asal usul penderitaan mereka. Jika gagal melakukan ini, mereka akan menjadi rekanan bisu, yang di kemudian hari bisa menjadi alat penindas - termasuk kalangan mereka sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus